3 Bagian Ilmu Agama Menurut Guru Sufi Abu Nasr as-Sarraj
loading...
A
A
A
Abu Nasr as-Sarraj dalam Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf mengatakan di antara bermacam-macam pengetahuan, ilmu agama terbagi menjadi tiga: ilmu Al-Qur’an , ilmu hadis, dan penjelasan atau pengetahuan tentang realitas-realitas keimanan.
"Semua ilmu agama itu tak akan keluar dari tiga kategori tersebut, yakni ayat-ayat kitab Allah Azza wa Jalla, hadis yang datang dari Rasulullah SAW , atau hikmah-hikmah yang terbersit dalam hati nurani para wali Allah," ujarnya.
Adapun dalil yang memperkuatnya, ujar Abu Nasr as-Sarraj, adalah “hadis tentang keimanan”, di mana Jibril as bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang tiga ajaran agama. Yakni, tentang penyerahan diri (islâm), keimanan (imân), dan spiritualitas (ihsân) — yang masing-masing merujuk kepada ajaran lahiriah/eksternal, internal/batin dan realitas spiritual tertinggi.
Dengan demikian, Islam itu bersifat lahiriah, iman itu bersifat lahiriah dan batiniah, sedangkan ihsân merangkum ketiga dimensi tersebut.
Nabi SAW berkata bahwa ihsân adalah “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Akan tetapi, bila engkau tak sanggup melihat-Nya, maka sesunguhnya Dia (selalu) melihatmu.” Lalu Jibril membenarkannya.
Ilmu itu selalu berjalin berkelindan dengan amal, sedangkan amal dengan keikhlasan. Ikhlas artinya si hamba hanya menginginkan keridhaan Allah Azza wa Jalla dengan ilmu dan amalnya.
Sedangkan tiga kelompok manusia tersebut berbeda kadarnya dalam ilmu dan amal. Tujuan dan derajat mereka pun berbeda-beda.
Allah telah menerangkan tingkat perbedaan keutamaan dan derajat mereka sebagaimana dalam firman-Nya, "…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dalam beberapa derajat." ( QS Al-Mujadalah [58] : 11); dan juga firman-Nya, "Dan bagi masing-masing mereka derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." ( QS Al-Ahqaf [46] : 19); juga firman-Nya, "Dan lihatlah bagaimana Kami muliakan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain).” ( QS. Al-Isra [17] : 21).
Rasulullah SAW bersabda, “Manusia itu semuanya sama, berjajar laksana gerigi sisir. Tak ada kelebihan yang satu atas yang lain kecuali dalam ilmu dan takwa.”
Barangsiapa mendapatkan kesulitan tentang pokok-pokok dan cabang-cabang ajaran agama, implikasi-implikasi hukumnya, makna-makna spiritualnya, sanksi dan stipulasinya, baik secara lahiriah maupun batinnya, hendaknya selalu merujuk kepada tiga golongan tersebut: ahli hadis, ahli fiqih, dan kaum Sufi.
Masing-masing golongan memiliki ciri khusus dalam teori dan praktik, hakikat dan keadaan spiritual tertentu. Masing-masing memiliki penafsiran tentang pengetahuan dan amal, tingkatan dan ekspresi spiritual, pemahaman mendalam dan kedudukan, pengertian dan pendekatan yang mendalam dalam menafsirkan sumber-sumber yang ada.
Hal-hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang belajar dalam masing-masing sekolah, dan yang bodoh tidak mengerti apa-apa. Tidak satu pun kelompok sanggup menguasai seluruh teori dan praktik serta tingkat-tingkat spiritual. Tiap-tiap mereka memiliki kedudukan tertentu yang telah Allah sediakan, dan yang Allah telah letakkan baginya.
Abu Nasr as-Sarraj sendiri merupakan pesuluk dan syaikh (guru) Sufi yang lahir di Tus, Iran dan wafat pada 988 M (377 H). Semasa hidupnya, Sarraj kerap berkelana dan menetap di berbagai kota di dunia Islam seperti Tabriz, Naishapur, Kairo, Ramla, Damaskus, Baghdad, dan Basra.
"Semua ilmu agama itu tak akan keluar dari tiga kategori tersebut, yakni ayat-ayat kitab Allah Azza wa Jalla, hadis yang datang dari Rasulullah SAW , atau hikmah-hikmah yang terbersit dalam hati nurani para wali Allah," ujarnya.
Adapun dalil yang memperkuatnya, ujar Abu Nasr as-Sarraj, adalah “hadis tentang keimanan”, di mana Jibril as bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang tiga ajaran agama. Yakni, tentang penyerahan diri (islâm), keimanan (imân), dan spiritualitas (ihsân) — yang masing-masing merujuk kepada ajaran lahiriah/eksternal, internal/batin dan realitas spiritual tertinggi.
Dengan demikian, Islam itu bersifat lahiriah, iman itu bersifat lahiriah dan batiniah, sedangkan ihsân merangkum ketiga dimensi tersebut.
Nabi SAW berkata bahwa ihsân adalah “engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Akan tetapi, bila engkau tak sanggup melihat-Nya, maka sesunguhnya Dia (selalu) melihatmu.” Lalu Jibril membenarkannya.
Ilmu itu selalu berjalin berkelindan dengan amal, sedangkan amal dengan keikhlasan. Ikhlas artinya si hamba hanya menginginkan keridhaan Allah Azza wa Jalla dengan ilmu dan amalnya.
Sedangkan tiga kelompok manusia tersebut berbeda kadarnya dalam ilmu dan amal. Tujuan dan derajat mereka pun berbeda-beda.
Allah telah menerangkan tingkat perbedaan keutamaan dan derajat mereka sebagaimana dalam firman-Nya, "…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dalam beberapa derajat." ( QS Al-Mujadalah [58] : 11); dan juga firman-Nya, "Dan bagi masing-masing mereka derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." ( QS Al-Ahqaf [46] : 19); juga firman-Nya, "Dan lihatlah bagaimana Kami muliakan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain).” ( QS. Al-Isra [17] : 21).
Rasulullah SAW bersabda, “Manusia itu semuanya sama, berjajar laksana gerigi sisir. Tak ada kelebihan yang satu atas yang lain kecuali dalam ilmu dan takwa.”
Barangsiapa mendapatkan kesulitan tentang pokok-pokok dan cabang-cabang ajaran agama, implikasi-implikasi hukumnya, makna-makna spiritualnya, sanksi dan stipulasinya, baik secara lahiriah maupun batinnya, hendaknya selalu merujuk kepada tiga golongan tersebut: ahli hadis, ahli fiqih, dan kaum Sufi.
Masing-masing golongan memiliki ciri khusus dalam teori dan praktik, hakikat dan keadaan spiritual tertentu. Masing-masing memiliki penafsiran tentang pengetahuan dan amal, tingkatan dan ekspresi spiritual, pemahaman mendalam dan kedudukan, pengertian dan pendekatan yang mendalam dalam menafsirkan sumber-sumber yang ada.
Hal-hal ini hanya bisa diketahui oleh mereka yang belajar dalam masing-masing sekolah, dan yang bodoh tidak mengerti apa-apa. Tidak satu pun kelompok sanggup menguasai seluruh teori dan praktik serta tingkat-tingkat spiritual. Tiap-tiap mereka memiliki kedudukan tertentu yang telah Allah sediakan, dan yang Allah telah letakkan baginya.
Abu Nasr as-Sarraj sendiri merupakan pesuluk dan syaikh (guru) Sufi yang lahir di Tus, Iran dan wafat pada 988 M (377 H). Semasa hidupnya, Sarraj kerap berkelana dan menetap di berbagai kota di dunia Islam seperti Tabriz, Naishapur, Kairo, Ramla, Damaskus, Baghdad, dan Basra.
(mhy)