Catatan Perang Arab-Israel 1973, Anwar Sadat: Saya Menginginkan Perdamaian

Senin, 16 Oktober 2023 - 14:40 WIB
loading...
Catatan Perang Arab-Israel 1973, Anwar Sadat: Saya Menginginkan Perdamaian
Presiden Mesir Ketiga (1970-1981) Muhammad Anwar el-Sadat. Foto: Arab News
A A A
Perang Arab-Israel pada 1973 dikenal sebagai Perang Oktober atau Ramadan atau Perang Yom Kippur. Menurut Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019), seperti dalam Perang Atrisi sebelumnya, tujuan negara-negara Arab adalah mendapatkan kembali wilayah yang diduduki oleh Israel sejak Perang 1967.

Negara-negara Arab itu gagal, namun bencana politik yang disebabkan oleh perang tersebut mengakibatkan terjadinya kehebohan dalam aktivitas diplomatik oleh Amerika Serikat yang berakhir pada 1979 dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir . "Perang itu berlangsung dari 6 Oktober hingga 25 Oktober 1973," ujar Paul Findley.

Kala itu, Perdana Menteri Israel Golda Meir mengatakan sejak Perang [1967] tidak ada perubahan besar yang terjadi dalam penolakan Pemerintahan negara-negara Arab, yang diketuai oleh Mesir, untuk mencapai suatu perjanjian perdamaian dengan Israel.



"Itu omong kosong," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).

Faktanya, ujar Paul Findley, dalam waktu tiga bulan setelah menjadi presiden Mesir pada musim gugur 1970 setelah kematian Gamal Abdel Nasser, Anwar Sadat mengirim sebuah pesan rahasia yang mendesak kepada Presiden Nixon: "Saya menginginkan perdamaian; cepatlah bergerak."

Gedung Putih mengabaikan pesan itu, terutama karena penasihat keamanan nasional Henry Kissinger sepakat dengan perkiraan Israel bahwa Sadat bukanlah seorang pemimpin yang serius dan tidak akan lama bertahan di pucuk kekuasaan.

Sepanjang 1971, Anwar Sadat secara terbuka dan berulang kali meminta penarikan mundur Israel, dengan memperingatkan bahwa itu merupakan "tahun penentuari' --Israel akan mundur dengan damai atau dipaksa untuk mundur.

Israel secara terang-terangan mencemooh ancaman-ancaman Sadat dan tanpa segan-segan menyatakan: "Israel tidak akan mundur ke perbatasan sebelum 5 Juni 1967."



Pada 1972 Sadat mengambil langkah dramatis dengan mengusir para penasihat Soviet dari Mesir. Meskipun Uni Soviet adalah pendukung utama Mesir, Sadat berharap dapat memperoleh bantuan Washington untuk mencapai perdamaian dengan Israel. Namun Kissinger tidak dapat memahami keseriusan Sadat dan menganggap isyaratnya sebagai tanda ketidaksabaran.

Pada awal 1973, Sadat memprakarsai pembicaraan rahasia antara Kissinger dengan seorang pejabat tinggi Mesir untuk mendapatkan solusi damai. Namun Kissinger masih meragukan kemampuan-kemampuan Sadat dan tidak melakukan gerakan apa pun hingga berlangsungnya pemilihan di Israel, yang dijadwalkan berlangsung pada 30 Oktober.

Akibat adanya jalan buntu yang panjang ini maka dikenal periode tidak-perang/tidak-damai, seperti yang diinginkan Israel. Sebagaimana dikemukakan Kissinger, salah satu tujuan utama Perdana Menteri Golda Meir adalah "mengulur waktu, sebab semakin lama tidak terjadi perubahan dalam status quo, semakin mantap pemilikan Israel atas wilayah-wilayah pendudukan."

Kissinger cukup senang mendukung Israel untuk mencapai tujuannya ini sebab dia percaya bahwa suatu jalan buntu akan menimbulkan tekanan pada negara-negara Arab agar membuat kelonggaran-kelonggaran.

Analis William Quandt, yang bekerja sebagai ahli Timur Tengah dalam pemerintahan Carter di Dewan Keamanan Nasional, menyimpulkan: "Sepanjang tahun 1972, kebijaksanaan Timur Tengah Amerika Serikat memberikan lebih sedikit dari sekadar dukungan terbuka untuk Israel... Diperlukan sebuah Perang Oktober [1973] untuk mengubah kebijaksanaan Amerika Serikat."

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1372 seconds (0.1#10.140)