Catatan Perang Arab-Israel 1973: Kegagalan Intelijen Militer Israel Paling Besar

Senin, 16 Oktober 2023 - 15:00 WIB
loading...
Catatan Perang Arab-Israel 1973: Kegagalan Intelijen Militer Israel Paling Besar
Pasukan Israel selama Perang Arab-Israel. Dari buklet Presiden Nixon dan Peran Intelijen dalam Perang Arab-Israel 1973. Ilustrasi: National Geographic Indonesia
A A A
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan kesombongan Israel terhadap bangsa Arab telah menyesatkan bukan hanya dunia melainkan juga diri mereka sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian, Israel mengalami salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika mereka tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir - Syria terhadap pasukan pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973.

"Padahal bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan negara-negara Arab," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).



Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan, kurang dari dua bulan sebelum perang, berkata pada staf umum: "Keseimbangan kekuatan terlalu menguntungkan kita sehingga hal itu akan menetralkan pertimbangan-pertimbangan dan motif-motif Arab untuk memperbarui permusuhan."

Jenderal Ariel Sharon juga menyatakan bahwa "tidak ada sasaran antara Baghdad dan Khartoum, termasuk Lybia, yang tidak dapat direbut oleh angkatan bersenjata kita."

Dia meyakinkan orang-orang Israel bahwa "dengan perbatasan-perbatasan kita sekarang ini, kita tidak menghadapi masalah keamanan."

Begitu besarnya rasa percaya diri Israel sehingga pada 15 Juli ia memutuskan memotong tiga bulan masa wajib militer yang berlangsung tiga tahun, sejak tahun berikutnya.

Paul Findley mengatakan kegagalan intelijen Israel adalah akibat kepercayaan diri yang berlebihan pada kekuatan sendiri serta sikapnya yang meremehkan semangat Arab.

Sejak akhir perang 1967, pasukan Israel telah menduduki wilayah Arab, dan menolak untuk menarik diri di bawah ketentuan Resolusi PBB 242. Dalam suatu kunjungan ke Gedung Putih bersama Presiden Nixon pada Maret 1973, Perdana Menteri Israel Golda Meir berkata: "Kami belum pernah berada dalam keadaan yang begitu baik."



Meir berkata bahwa dia bersedia mengadakan pembicaraan damai namun meninggalkan kesan kuat bahwa dia tidak tergesa-gesa untuk melihat adanya suatu inisiatif diplomatik. Ketika Meir kembali ke tanah air, dia berkata "tidak ada dasar atau alasan untuk mengubah kebijaksanaan kita."

Menteri Pertahanan Moshe Dayan mendesak orang-orang Israel agar menetap di wilayah-wilayah pendudukan sebab tidak ada harapan akan adanya perundingan-perundingan Arab-Israel dalam waktu "sepuluh hingga lima belas tahun."

Pada waktu yang hampir bersamaan, sebuah poll menunjukkan bahwa mayoritas orang Israel tidak bersedia mengembalikan sebagian besar wilayah-wilayah pendudukan.

Pada April 1973, Presiden Mesir Anwar Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan... Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di muka saya oleh Israel --dengan restu Amerika... Telah tiba waktunya untuk sebuah kejutan... Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi."

Namun, kala itu, tidak ada pejabat tinggi di Israel atau Amerika yang menaruh perhatian.



Omong Kosong

Perdana Menteri Israel Golda Meir mengklaim memenangkan perang itu. "Kami memenangkan Perang Yom Kippur," ujarnya.

Paul Findley mengatakan itu omong kosong. Faktanya, Israel "memenangkan" perang 1973 sebagaimana Lyndon Johnson "memenangkan" Tet Offensive pada 1968 di Vietnam yang membawa bencana.

Negara-negara Arab mendapatkan kembali sebagian besar kehormatan diri mereka dari hasil-hasil awal mereka di medan perang. Ini benar terutama dalam kaitannya dengan tindakan Mesir yang secara spektakuler melintasi Terusan Suez, yang oleh hampir semua tokoh militer di seluruh dunia diyakini tidak mungkin dapat dilakukan mengingat kubu Israel yang demikian kuat sepanjang tepi timur terusan.

"Tentu saja pasukan Israel berjaya, meski semudah yang mereka katakan di kemudian hari," tutur Paul Findley. "Namun besarnya perang dan ujungnya yang menimbulkan konfrontasi langsung yang menegangkan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa perhatian dunia beralih pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang melandasi konflik Arab-Israel."

Hampir dengan suara bulat masyarakat dunia menyimpulkan bahwa Mesir dan Syria berhak untuk merebut kembali tanah mereka yang hilang dan bahwa Israel telah melakukan kesalahan karena mengabaikan Resolusi PBB 242 dan menolak untuk menyerahkan wilayah taklukannya pada 1967.



Kecaman-kecaman datang dari negara-negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara Eropa, Afrika, Asia-hampir semuanya kecuali Amerika Serikat.

Menurut Paul Findley, meskipun Israel dan para pendukungnya menyatakan bahwa masyarakat dunia dimotivasi oleh kekhawatiran akan boikot minyak Arab --atau, kalau tidak, oleh sentimen anti-Semitisme yang "kuno" itu-- kenyataannya kebanyakan pengamat yang objektif menganggap Israel lebih tertarik untuk mempertahankan tanah-tanah Arab daripada berdamai.

Kini jelaslah bahwa negara-negara Arab terjun ke medan perang dikarenakan kenekatannya untuk mendapatkan kembali tanah mereka, bukan, sebagaimana dikatakan Israel, untuk menghancurkan negara Yahudi.

Paul Findley mengatakan yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa perang 1973 berlangsung, seperti juga Perang Atrisi sebelumnya, hanya di tanah Arab yang diduduki. Tidak ada pertempuran yang terjadi di dalam wilayah Israel.

Bahkan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin telah mengakui: "Perang Yom Kippur tidak dilancarkan oleh Mesir dan Syria untuk mengancam eksistensi Israel. Itu adalah upaya habis-habisan dari kekuatan militer mereka untuk mencapai suatu tujuan politik terbatas. Yang diinginkan Anwar Sadat dengan melintasi terusan adalah mengubah realitas politik dan, dengan cara demikian, memulai suatu proses politik dari titik yang lebih menguntungkan baginya daripada yang sekarang. Dalam hal ini, dia berhasil."'

Dalam kata-kata Presiden Mesir Anwar Sadat, "Kami hanya tidak bisa membiarkan situasi berlanjut seperti sebelum Oktober --tidak ada perdamaian, tidak ada perang. Kedua adidaya membekukan pertikaian Timur Tengah dan menyimpannya di dalam kulkas. Orang-orang Amerika melihat kami sebagai mayat beku sejak perang enam hari pada 1967. Ini lebih buruk daripada perang."

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1797 seconds (0.1#10.140)