Sejarah Zionis Lahir dari Modernitas yang Berakar pada Nafsu Syahwat
loading...
A
A
A
Cartesius dan Kantian ini begitu mempengaruhi Eropa. Hingga Hobbes pun menteorikan tentang kekuasaan. Siapa yang berhak menjadi raja, adalah berdasarkan kehendak manusia. Karena Tuhan didudukkan sebagai pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Dari Hobbes, muncul juga Jean Bodin, yang menteorikan ulang tentang republik, yang berbeda dengan apa yang diutarakan Cicero dan Plato.
Puncaknya berada pada Jean Jacques Rosseau. Dia berteori, kekuasaan itu murni kehendak rakyat. Karena manusia yang menentukan, siapa yang layak menjadi penguasa. Dari "le contract sociale", lahirlah konstitusi. Hukum ala manusia. Inilah eliminasi atas kitab suci.
Modernitas Melahirkan Dinamika Panjang di Eropa
Gejolak modernitas, melahirkan dinamika panjang di Eropa. Yahudi mulai melirik. Karena di tengah gempuran pertarungan antara dogma dan filsafat, kaum Yahudi ternyata setia sebagai pebisnis. Mereka menguasai lini penggandaan uang. Dari sudut pelabuhan Venezia, Italia, mereka memulai dengan bisnis Banco, cikal bakal bank. Banco inilah pebisnis penitipan uang Dinarius (emas) dan Dracham (perak). Lalu memberikan pinjaman.
Mereka tak sibuk berfilsafat atau mematuhi dogma. Karena cita-cita tentang "tanah yang dijanjikan" tadi. Banco pun menggeliat. Dari nasabah hanya orang per orang, kemudian mereka memiliki nasabah seorang Raja.
Dan itu dimulai kala Revolusi Inggris meledak, 1668. Kerajaan Inggris berhasil lepas dari kekuasaan imperium Gereja Roma. Karena buah perang aqidah antara pengikut Gereja Roma, yang disebut Katolik, melawan pengikut Marthin Luthern dan John Calvin, yang sempat divonis sebagai bid'ah. Karena kedua tokoh Nasrani itu memulai tentang pembaharuan dalam tubuh Nasrani. Dan "pembaharuan" itu bergandengan dengan pencerahan ala rennaisance.
Maka mereka pun bertemu. Revolusi Inggris berhasil menyingkirkan pengikut Gereja Roma. Maka Inggris pun dikuasai kaum Protestan. Puncaknya, Raja William of Orange, Raja Inggris, didapuk menjadi Raja. Tapi kemudian diberi pinjaman modal oleh kaum bankir, para penguasa Yahudi yang bersatu dalam banco tadi. Mereka memberikan pinjaman pada sang Raja sebesar 25 juta Poundsterling, kala itu masih dalam emas. Tapi dengan utang berbunga. Itulah "utang nasional" pertama di dunia. Itulah catatan pertama, kaum Yahudi berhasil mengkooptasi sebuah kerajaan.
Karena utang itu melahirkan kesepakatan, "Kalian boleh jadi raja, tapi kami yang mengatur keuangannya," kata sang banco. Inggris pun beralih kendali. Dulu di bawah kekuasaan Gereja Roma. Tapi pasca Revolusi, beralih di bawah kekuasaan Banco.
Kekuasaan Yahudi Makin Menguat
Satu abad kemudian, kekuasaan Yahudi makin menguat. Selepas mengendalikan Inggris dan Belanda, mereka mulai merebut kerajaan terkuat di Eropa: Perancis. Maka meluncurlah Revolusi Perancis. Polanya serupa. Kaum modernitas –buah dari rennaisance—menyatu dengan ordo banco. Inilah ordo Bankir, yang dikomandani kaum Yahudi tadi. Atas nama pembaharuan, mereka melancarkan revolusi di Paris. Robbispierre, memimpin revolusi menggunakan teori Rosseau.
Bahwa kekuasaan haruslah ditangan manusia, bukan Tuhan. Maka liberte, fraternite, egalite pun menjadi semboyan. Liberte (merdeka) dari apa? Dari kekuasaan Tuhan. Fraternite (persaudaraan) ialah sesama kaum modernitas. Musuhnya adalah pengikut Gereja Roma. Egalite (keadilan), tentang kesetaraan antar sesama manusia, tak ada lagi diskriminasi antara agamawan dan bangsawan yang kebal hukum. Ini menjadi bahasan utama.
Paris pun menggelora. Kaum agamawan dan bangsawan di kudeta. Disitulah menggema modern state kali pertama. Setelah dikudeta, maka lahirkan constutitio sebagai buah dari manusia yang berhak membuat hukum. Hukum rasio. Hukum ala manusia. Kitab suci di eliminasi.
Robbispierre kemudian dikudeta. Setelah berhasil memenangkan revolusi. Diangkatlah Napoleon Bonaperte. Siapa yang mengangkatnya? Ternyata 25 kaum bankir dari Nantes. Mereka telah berkumpul, untuk mendapuk Napoleon sebagai Kaisar Republik Perancis. Napoleon dijadikan pemimpin, dengan modal utang dari bankir senilai 75 juta Franc (emas). Yang dibayar dengan bunga saban tahun. Itulah utang nasional, turun temurun. Perancis merdeka, sejak itu pula mereka dibawah kendali kaum Banco. Di situlah Yahudi mulai berkuasa, memegang kendali atas Eropa. Merambah hingga seantero Eropa.
Seabad kemudian, revolusi serupa dilancarkan. Kali ini sasarannya adalah Daulah Utsmaniyyah. "Pembaharuan Islam" diluncurkan. Atas nama modernitas tadi. Atas nama rennaisance tadi. Islam pun seolah perlu diperbarui. Lahirlah fiqih kontemporer. GH Jansen dalam Islam Militant menyebut, eksponen gerakan ini muncul dari Jamaluddin al Afghani, Rasyid Rida, Abduh. Mereka meluncurkan pembaharuan yang melahirkan, seolah Islam harus disesuaikan jaman. Intinya, disesuaikan dengan kehendak kaum Eropa baru tadi. Gerakan ini menyatu dengan salafisme yang berasal dari Arabia, dengan tokohnya Abdul Wahab. Apa yang diungkapkan Jansen, memang sepenuhnya benar.
Tanzimat pun meluncur di Utsmaniyyah. Reformasi. Utsmani mengganti hukum. Tak lagi merujuk syariat, melainkan merujuk pada konstitusionalisme ala Perancis. Bank-bank pun berdiri di Istanbul. Sultan mengeliminasi Syaikhul Islam, sang Mursyid, yang selama ini mendampingi. Tapi kemudian mendengarkan nasehat dari bankir.
Dari sinilah Zionisme mulai membahana. Hingga kemudian Theodore Hezrl berani menawarkan harga tanah Yerusalem pada Sultan Abdul Hamid II. Tapi Sang Sultan masih perkasa. Tanah Yerusalem bukan diperjual belikan. Melainkan itu tanah milik kaum muslimin.
Gagal pada Sultan Abdul Hamid II, Zionisme tak menyerah. Mereka mendidik modernis Turki menjadi pemimpin. Bak Napoleon dalam Perancis. Muncullah Attaturk, yang jenazahnya konon tak diterima bumi. Attaturk bertindak mengikuti kemauan tuannya. Tassawuf dilarang. Syaikhul Islam dibubarkan. Dan Utsmaniyyah pun dibubarkan. Turki berubah menjadi republik. Berubah menjadi nation state. Maka, Yerusalem pun dengan mudah diambil alih Yahudi. Karena Attaturk telah diberikan utang berbunga, dalam memimpin Turki. Sejak itulah, Turki melemah, dan Yerusalem lepas dari pangkuan kaum muslimin. Karena “pembaruan Islam” telah merubah fiqih, telah mengubah tradisi tentang ke-Islam-an.
"Islam tak perlu diperbarui, tapi kita-lah yang harus menyesuaikan diri kembali dengan Islam," kata Syaikh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa.
Zionisme Menemukan Bentuknya
Zionisme menemukan bentuknya. Yahudi seolah menemukan "tanah yang diperjanjikan". Tapi pola mereka merebut Yerusalem, bukan dengan pedang. Melainkan dengan membangkitkan nafsu syahwati manusia. Mulanya rasionalitas disodori. Tapi kemudian rasio mudah bergeser. Seperti pesan Imam Ghazali, "Akal tak sepenuhnya benar, jangan sekali-kali mengambil hakekat ajaran agama darinya," katanya dalam Tahafut al Falasifah.
Dan modernitas telah membuktikan bagaimana rennaisance tak lagi melahirkan Kebenaran. Melainkan pembenaran. Ini yang disebut Martin Heidegger bahwa filsafat tak lagi melahirkan kebenaran eksistensialisme. Melainkan kebenaran essensialisme. "Dan itu bukan Kebenaran," katanya dalam Being and Time.
Zionisme tentu mereguk untung dengan pertemuan antara modernitas dan syahwati manusia. Karena modernitas telah berganti menjadi gerakan hawa nafsyu. Hubbud-dunya membahana. Inilah buah dari filsafat. Karena saintifistik, tak membuat Andalusia perkasa. Melainkan mudah dikalahkan musuh, yang bahkan belum mengenal kopi.
Dari sini, kita mahfum bagaimana membebaskan Yerusalem. Seperti kala Sultan Salahuddin al Ayyubi hadir dengan ribuan muslimin, yang bukan produk mu'tazilah. Mereka merupakan produk pengajaran tassawuf, yang kembali mengajarkan pencerahan yang berujung pada Ma'rifatullah. Model insan kamil inilah yang bisa mengelak dari sihir Banco tentang pemberian uang bak kepada Napoleon maupun Attaturk tadi.
Puncaknya berada pada Jean Jacques Rosseau. Dia berteori, kekuasaan itu murni kehendak rakyat. Karena manusia yang menentukan, siapa yang layak menjadi penguasa. Dari "le contract sociale", lahirlah konstitusi. Hukum ala manusia. Inilah eliminasi atas kitab suci.
Modernitas Melahirkan Dinamika Panjang di Eropa
Gejolak modernitas, melahirkan dinamika panjang di Eropa. Yahudi mulai melirik. Karena di tengah gempuran pertarungan antara dogma dan filsafat, kaum Yahudi ternyata setia sebagai pebisnis. Mereka menguasai lini penggandaan uang. Dari sudut pelabuhan Venezia, Italia, mereka memulai dengan bisnis Banco, cikal bakal bank. Banco inilah pebisnis penitipan uang Dinarius (emas) dan Dracham (perak). Lalu memberikan pinjaman.
Mereka tak sibuk berfilsafat atau mematuhi dogma. Karena cita-cita tentang "tanah yang dijanjikan" tadi. Banco pun menggeliat. Dari nasabah hanya orang per orang, kemudian mereka memiliki nasabah seorang Raja.
Dan itu dimulai kala Revolusi Inggris meledak, 1668. Kerajaan Inggris berhasil lepas dari kekuasaan imperium Gereja Roma. Karena buah perang aqidah antara pengikut Gereja Roma, yang disebut Katolik, melawan pengikut Marthin Luthern dan John Calvin, yang sempat divonis sebagai bid'ah. Karena kedua tokoh Nasrani itu memulai tentang pembaharuan dalam tubuh Nasrani. Dan "pembaharuan" itu bergandengan dengan pencerahan ala rennaisance.
Maka mereka pun bertemu. Revolusi Inggris berhasil menyingkirkan pengikut Gereja Roma. Maka Inggris pun dikuasai kaum Protestan. Puncaknya, Raja William of Orange, Raja Inggris, didapuk menjadi Raja. Tapi kemudian diberi pinjaman modal oleh kaum bankir, para penguasa Yahudi yang bersatu dalam banco tadi. Mereka memberikan pinjaman pada sang Raja sebesar 25 juta Poundsterling, kala itu masih dalam emas. Tapi dengan utang berbunga. Itulah "utang nasional" pertama di dunia. Itulah catatan pertama, kaum Yahudi berhasil mengkooptasi sebuah kerajaan.
Karena utang itu melahirkan kesepakatan, "Kalian boleh jadi raja, tapi kami yang mengatur keuangannya," kata sang banco. Inggris pun beralih kendali. Dulu di bawah kekuasaan Gereja Roma. Tapi pasca Revolusi, beralih di bawah kekuasaan Banco.
Kekuasaan Yahudi Makin Menguat
Satu abad kemudian, kekuasaan Yahudi makin menguat. Selepas mengendalikan Inggris dan Belanda, mereka mulai merebut kerajaan terkuat di Eropa: Perancis. Maka meluncurlah Revolusi Perancis. Polanya serupa. Kaum modernitas –buah dari rennaisance—menyatu dengan ordo banco. Inilah ordo Bankir, yang dikomandani kaum Yahudi tadi. Atas nama pembaharuan, mereka melancarkan revolusi di Paris. Robbispierre, memimpin revolusi menggunakan teori Rosseau.
Bahwa kekuasaan haruslah ditangan manusia, bukan Tuhan. Maka liberte, fraternite, egalite pun menjadi semboyan. Liberte (merdeka) dari apa? Dari kekuasaan Tuhan. Fraternite (persaudaraan) ialah sesama kaum modernitas. Musuhnya adalah pengikut Gereja Roma. Egalite (keadilan), tentang kesetaraan antar sesama manusia, tak ada lagi diskriminasi antara agamawan dan bangsawan yang kebal hukum. Ini menjadi bahasan utama.
Paris pun menggelora. Kaum agamawan dan bangsawan di kudeta. Disitulah menggema modern state kali pertama. Setelah dikudeta, maka lahirkan constutitio sebagai buah dari manusia yang berhak membuat hukum. Hukum rasio. Hukum ala manusia. Kitab suci di eliminasi.
Robbispierre kemudian dikudeta. Setelah berhasil memenangkan revolusi. Diangkatlah Napoleon Bonaperte. Siapa yang mengangkatnya? Ternyata 25 kaum bankir dari Nantes. Mereka telah berkumpul, untuk mendapuk Napoleon sebagai Kaisar Republik Perancis. Napoleon dijadikan pemimpin, dengan modal utang dari bankir senilai 75 juta Franc (emas). Yang dibayar dengan bunga saban tahun. Itulah utang nasional, turun temurun. Perancis merdeka, sejak itu pula mereka dibawah kendali kaum Banco. Di situlah Yahudi mulai berkuasa, memegang kendali atas Eropa. Merambah hingga seantero Eropa.
Seabad kemudian, revolusi serupa dilancarkan. Kali ini sasarannya adalah Daulah Utsmaniyyah. "Pembaharuan Islam" diluncurkan. Atas nama modernitas tadi. Atas nama rennaisance tadi. Islam pun seolah perlu diperbarui. Lahirlah fiqih kontemporer. GH Jansen dalam Islam Militant menyebut, eksponen gerakan ini muncul dari Jamaluddin al Afghani, Rasyid Rida, Abduh. Mereka meluncurkan pembaharuan yang melahirkan, seolah Islam harus disesuaikan jaman. Intinya, disesuaikan dengan kehendak kaum Eropa baru tadi. Gerakan ini menyatu dengan salafisme yang berasal dari Arabia, dengan tokohnya Abdul Wahab. Apa yang diungkapkan Jansen, memang sepenuhnya benar.
Tanzimat pun meluncur di Utsmaniyyah. Reformasi. Utsmani mengganti hukum. Tak lagi merujuk syariat, melainkan merujuk pada konstitusionalisme ala Perancis. Bank-bank pun berdiri di Istanbul. Sultan mengeliminasi Syaikhul Islam, sang Mursyid, yang selama ini mendampingi. Tapi kemudian mendengarkan nasehat dari bankir.
Dari sinilah Zionisme mulai membahana. Hingga kemudian Theodore Hezrl berani menawarkan harga tanah Yerusalem pada Sultan Abdul Hamid II. Tapi Sang Sultan masih perkasa. Tanah Yerusalem bukan diperjual belikan. Melainkan itu tanah milik kaum muslimin.
Gagal pada Sultan Abdul Hamid II, Zionisme tak menyerah. Mereka mendidik modernis Turki menjadi pemimpin. Bak Napoleon dalam Perancis. Muncullah Attaturk, yang jenazahnya konon tak diterima bumi. Attaturk bertindak mengikuti kemauan tuannya. Tassawuf dilarang. Syaikhul Islam dibubarkan. Dan Utsmaniyyah pun dibubarkan. Turki berubah menjadi republik. Berubah menjadi nation state. Maka, Yerusalem pun dengan mudah diambil alih Yahudi. Karena Attaturk telah diberikan utang berbunga, dalam memimpin Turki. Sejak itulah, Turki melemah, dan Yerusalem lepas dari pangkuan kaum muslimin. Karena “pembaruan Islam” telah merubah fiqih, telah mengubah tradisi tentang ke-Islam-an.
"Islam tak perlu diperbarui, tapi kita-lah yang harus menyesuaikan diri kembali dengan Islam," kata Syaikh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa.
Zionisme Menemukan Bentuknya
Zionisme menemukan bentuknya. Yahudi seolah menemukan "tanah yang diperjanjikan". Tapi pola mereka merebut Yerusalem, bukan dengan pedang. Melainkan dengan membangkitkan nafsu syahwati manusia. Mulanya rasionalitas disodori. Tapi kemudian rasio mudah bergeser. Seperti pesan Imam Ghazali, "Akal tak sepenuhnya benar, jangan sekali-kali mengambil hakekat ajaran agama darinya," katanya dalam Tahafut al Falasifah.
Dan modernitas telah membuktikan bagaimana rennaisance tak lagi melahirkan Kebenaran. Melainkan pembenaran. Ini yang disebut Martin Heidegger bahwa filsafat tak lagi melahirkan kebenaran eksistensialisme. Melainkan kebenaran essensialisme. "Dan itu bukan Kebenaran," katanya dalam Being and Time.
Zionisme tentu mereguk untung dengan pertemuan antara modernitas dan syahwati manusia. Karena modernitas telah berganti menjadi gerakan hawa nafsyu. Hubbud-dunya membahana. Inilah buah dari filsafat. Karena saintifistik, tak membuat Andalusia perkasa. Melainkan mudah dikalahkan musuh, yang bahkan belum mengenal kopi.
Dari sini, kita mahfum bagaimana membebaskan Yerusalem. Seperti kala Sultan Salahuddin al Ayyubi hadir dengan ribuan muslimin, yang bukan produk mu'tazilah. Mereka merupakan produk pengajaran tassawuf, yang kembali mengajarkan pencerahan yang berujung pada Ma'rifatullah. Model insan kamil inilah yang bisa mengelak dari sihir Banco tentang pemberian uang bak kepada Napoleon maupun Attaturk tadi.