Sejarah Zionis Lahir dari Modernitas yang Berakar pada Nafsu Syahwat

Rabu, 25 Oktober 2023 - 20:10 WIB
loading...
Sejarah Zionis Lahir dari Modernitas yang Berakar pada Nafsu Syahwat
Zionis memanfaatkan modernitas untuk menguasai Palestina dan memancarkan pengaruhnya di dunia. Foto/Reuters
A A A
Irawan Santoso Shiddiq
Dai yang Juga Penulis Buku Kembalinya Hukum Islam

Zionisme. Ini bermula dari gerakan kesukuan, tentang bersatunya kaum Yahudi. Modernitas telah memberikan mereka peluang. Masa Romawi, klan Yahudi luluh lantak. Masa kedigdayaan Gereja Roma di Eropa, kaum Yahudi juga masih terasing. Mereka belum memiliki kekuasaan dan wilayah. Dan ketika Islam hadir, Yahudi juga berada dalam 'anak bawang'. Klan yang seolah terpinggirkan.

Perang Salib, perebutan antara muslimin dan Nasrani soal Yerusalem, klan Yahudi seolah tak ikut dalam pertarungan. Karena klan itu tengah porak poranda. Berabad-abad, klan dan agama itu, seolah tak lagi menemukan masa kejayaan. Tapi Yahudi kerap memegang mitos kejayaan. Tentang era Nabi Daud Allaihisalam dan Sulaiman Allaihisalam. Karena kaum Yahudi selalu memegang mitos, suatu saat pasti akan kembali kejayaan untuk mereka.

Siapa yang Menguasai Terusalem, Dialah Penguasa Dunia
Dan sejarah telah berkata, sesiapa yang menguasai Yerusalem, dialah penguasa dunia. Simaklah dari era Romawi klasik hingga masa Romawi Nasrani. Yahudi tak pernah memegang kendali atas kota itu. Islam hadir, kendali kemudian beralih. Islam memegang kendali.

Sejak era Sayyidina Umar bin Khattab, sempat kemudian lepas di tangan Dinasti Fatimiyya yang Syiah. Lalu direbut kaum Nasrani dalam kerajaan Baldwin. Tapi kemudian hadir Sultan Salahuddin al Ayyubi dan kaum muslimin yang kuat. Setelah mereka kembali pada ajaran yang sahih.

Amalan tassawuf, berkat pengajaran Imam Al-Ghazali, Syaikh Abdalqadir al-Jilani dan para suyukh lainnya, menghasilkan generasi Amal Ahlul Madinah, yang mewarisi kekuatan Dinul Islam. Disitulah Yerusalem kembali ke tangan muslimin. Hingga kemudian periode Daulah Utsmaniyyah berjaya. Yerusalem dan seisinya masih dalam kekuasaan Islam. Yahudi masih tersingkirkan. Tapi mereka terlindungi dengan apik. Masa Islam itulah masa ketenangan.

Tapi klan Yahudi yang terserak, mereka seolah tak memiliki rumah. Maka mitos "tanah yang dijanjikan" pun menggema. ini menjadi misi utama klan Yahudi. Menciptakan sebuah rumah bagi klan itu. Abad pertengahan, mereka belum menemukan formula. Tapi era modernisme, sejak itulah peluang dan arah telah tertera. Modernitas telah menjadi batu tunggangan apik kaum Yahudi.

Misi "tanah yang dijanjikan" seolah bisa terwujud. Tapi musuh besar masa itu adalah muslimin, yang masih memegang kendali kekuasaan. Di bawah Daulah Utsmaniyyah tentunya. Modernitas inilah yang harus dilihat. Ketika kaum Eropa memulainya dengan "rennaisance". Ini yang disebut pencerahan.

Dua pandangan berbeda dalam melihat kata itu. Tassawuf memiliki makna utuh tentang pencerahan. Tentang tersingkapnya ilmu Laduni, berkat totalitas dalam penghambaan. Maka di situlah pencerahan akan tertoreh. Di situ pula manusia insan kamil akan merasakan bagaimana kembali ke Alamul Qubro, alamul Allastu.

Tentang wilayah perjanjian antara manusia dan Allah Subhanahu wa ta'ala, sebelum ditiupkan ruh ke dunia. "Allastu bi Rabbikum?" (Bukankah Aku Tuhanmu?). Ruh menjawab. Di situlah kala mampu menyingkap tabir alam materi (alamul mulki), maka manusia akan mengalami yang disebut pencerahan. Dan merasakan bagaimana Tajjali, pancaran. Itulah kekuatan untuk kehidupan selama di alam dunia.

Tapi filosof memiliki defenisi berbeda. Pencerahan ala rennaisance berarti manusia menyingkap segala sesuatu (being) berlandas rasionya semata. Dan kaum rennaisance mengutipnya dari fase mu'tazilah, kala filsafat menggema dalam Islam. Dari sanalah pencerahan menyeberang dari Andalusia menuju Italia. Melahirkan pencerahan kosmosentris, tentang alam semesta. Dan ternyata rennaisance itu menjadi senjata ampuh untuk melawan dogma Gereja Roma, yang kala itu menjadi sentral kekuasaan kaum Eropa barat. Copernicus, Galileo hingga Bruno menjadi bukti nyata.

Masa Rennaisance, Yerusalem Masih dalam Kekuasaan Islam
Masa rennaisance, Yerusalem tentang masih dalam kekuasaan Islam. Proyek gagal perang Salib, sebuah gerakan merebut Yerusalem kembali, telah terhenti. Raja Inggris, King Richard berjuluk "the Lion", tetap tak mampu menaklukan kelembutan Sultan Salahuddin dan pasukan muslimin. Alhasil Eropa menemui kebuntuan. Rennaisance dianggap sebagai pilihan jalan. Karena di sana juga terpatri tentang kekecewaan. Rasionalisme menjadi kata kunci untuk perlunya pembaharuan. Agama yang perlu diperbarui.

Rennaisance kemudian tak lagi sekadar menteorikan kosmosentrisme. Melainkan juga perlihal kekuasaan. Siapa yang berhak menjadi Raja? Benarkah Raja itu wakil Tuhan? Dari mana datangnya kekuasaan. Machiavelli memulai. "Il Principe", kitabnya beredar sembunyi-sembunyi. Tentang perlawanan atas dogma Vox Rei Vox Dei (suara Raja suara Tuhan). Karena dulu, kekuasaan, perihal siapa yang berhak menjadi Raja, mutlak tafsir tinggal dari agamawan. Maka kekuasaan pun harus dicerahkan.

Diteorikan, dengan rasionalitas. Plato dan Aristoleles pun mewarnai. Tentang idea dan konsepsi. Semuanya haruslah diteorikan, buah dari penyelidikan akal manusia. Itulah yang disebut "pencerahan". Kaum Yahudi mulai melirik rennaisance. Karena mereka merasakan ada peluang. Untuk sekaligus memukul dua entitas besar: Nasrani dan Muslim.

Dinamika di belantara Eropa menggeliat. Karena Eropa mengalami kisruh, bak dunia Islam kini. Perang antar kerajaan, antara Perancis dan Inggris, antara Jerman dan Perancis dan lainnya. Padahal mereka dalam satu area yang sama. Sementara Daulah Utsmaniyya makin perkasa. Makin menguatkan kekuasaan Islam, membentang dari Eropa timur hingga nusantara.

Pertanda kuatnya pengaruh Islam –yang bukan mu'tazilah apalagi salafisme, melainkan dengan tassawuf— atas kehidupan dunia. Pancaran dengan tajjaliyyat membahana. Ma'rifatullah menjadi bahasan hingga pelosok Eropa. Hingga John Wolfgang Goethe, pujangga Jerman, pun terkesima. Dan dia menghembuskan nafas akhir di dunia sebagai muslim.

Masa Goethe itu pula Islam menjadi mercusuar dunia. Sultan Sulaiman al Qanuni, begitu menjadi idola. Sekaligus dibenci kaum Eropa. Karena kedigdayaan Islam, dengan pengajaran tassawuf yang menembus batas-batas alam. Itulah buah pancaran bersifat Laduni. Bukan pancaran produksi akal manusia.

Tapi rennaisance memiliki banyak pengikut. Filsafat makin dikagumi. Soal kekuasaan pun diteorikan ulang. Karena filsafat –inilah rennsaince—meletakkan "qudrah dan iradah" berada pada manusia. Bukan pada Tuhan. Karena akal, dianggap sebagai jalan mengungkap Kebenaran. Maka, siapa yang berkuasa, juga harus dikonsepsi dan diteori-kan. Lahirlah filosof penteori seperti Jean Bodin, John Locke, Hobbes hingga Rosseau. Mereka menteorikan, bahwa kekuasaan bukanlah kehendak Tuhan. Melainkan kehendak manusia.

Ini dimulai dari teori cogito ergo sum-nya Descartes. Yang memulai era modernitas. Cartesius resmi mengeliminasi Kebenaran ala Wahyu. Filsafatnya berbeda dengan Aquinas, yang masih mengakui tweez warden theorie (kebenaran dua belah pedang). Aquinas mengutip Al-Farabi, tentang teori emanasi, kebenaran ganda. Kebenaran ala Wahyu dan Kebenaran ala akal. Descartes mengeliminasinya. Kebenaran, katanya, hanya bisa sahih jika merujuk pada rasionalitas semata. Tak lagi merujuk kitab suci.

Muncul lagi teori baru dari Immanuel Kant, Ration scripta tentang empirisme. Kebenaran, katanya, hanya sahih jika telah diuji dalam sebuah hasil pengalaman. Itulah yang melahirkan penelitian, yang kini menjadi pakem kaum rasionalitas dalam menentukan kebenaran.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2939 seconds (0.1#10.140)