Tafsir Kodang Ini Dimasuki Israiliyyat, Adz-Dzahabi: Agar Lebih Mudah Dibaca
loading...
A
A
A
As-Sayyid Muhammad Ali Iyazi dalam kitabnya berjudul "Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhazuhum" mengatakan israiliyyat telah masuk ke dalam tafsir generasi awal umat Islam . "Ini jika dirunut lebih dalam," tulisnya.
Dia lalu menyebut tafsir yang sudah dimasuki israiliyyat itu antara lain tafsir Muqâtil bin Sulaiman (w. 150 H), tafsir Abdur ar-Razâq ash-Shan'ânî (126-211 H), tafsir Imam athThabarî (224-310 H) tafsir Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî (240-327 H).
"Kala itu corak tafsir bil ma'tsur masih bersandar kepada riwayat-riwayat dan terkadang kurang memperhatikan isi dan kandungan riwayat tersebut," ujarnya.
Pada fase selanjutnya ketika tafsir mulai berubah, dengan banyaknya riwayat-riwayat yang diringkas tanpa disandarkan kepada rawinya sehingga bercampurlah antara yang baik dan buruk.
Muhammad Husein Adz-Dzahabi dalam "At-Tafsir wal Mufassirun" menambahkan bahwa hal ini dilakukan agar kitab tafsir lebih mudah untuk dibaca.
Dia lalu menyebut seperti yang tampak pada tafsir al-Khâzin (678-741 H) Lubâb at-Ta'wîl Fî Ma'anî at-Tanzîl yang merupakan ringkasan dari tafsir Imam al-Baghawî Ma'alim at-Tanzîl (w. 516 H) yang juga merupakan ringkasan dari tafsir as-Tsa'labî anNaysâbûrî (w. 427 H) Al-kasyfu wa al-Bayân'an Tafsîr Al-Qur'an.
"Kemudian datang masa generasi yang menukil semua tafsir dari generasi sebelumnya tanpa mengetahui yang baik (benar) dan buruk (salah), dan menganggap seluruh tafsir ini benar, dari sinilah pintu tafsir terbuka lebar bagi masuknya israiliyyat," tutur Abu al-Yaqdzhân dalam "Athiyyah al-Jabawrî, Dirasât Fî at-Tafsîr wa Rijâlihi".
Walaupun pada fase berikutnya ini tafsir mulai berubah, tetap saja ada beberapa mufassir yang mencantumkan riwayat-riwayat yang bersambung hingga Rasulullah SAW dalam tafsirnya seperti yang dilakukan oleh Imam Ibnu Katsîr (705-774 H) Tafsîr Al-Qur'an Al-Adzîm dan Imam as-Suyuthî (w. 911 H) Ad-Durr al-Mantsûr Fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr.
Setelah zaman Imam ath-Thabarî di masa keemasan Islam dimulailah masa penerjemahan ilmu-ilmu ke dalam bahasa arab, setiap ilmu memiliki kaidahnya masing-masing.
As-Sayyid Muhammad Bin Uluwî al-Mâlikî al-Hasanî dalam "Al-Qawâid al-Asâsiyyah Fî Ulum Al-Qur'an" menyebut beberapa ulama yang mahir dalam bidang keilmuan tertentu berusaha menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Ahli nahwu terfokus pada i'rab dalam tafsirnya seperti az-zujâz, al-wâhidî (al-basith), Abu Hayyân. Ahli fiqih terfokus untuk mencari dalil-dalil fiqih seperti al-Qurthubî. Ahli filsafat fokus pada ungkapan-ungkapan ahli hikmah dan filsuf. Begitu juga dengan ahli cerita yang sibuk dengan kisah-kisah dan kabar umat terdahulu baik itu cerita yang benar maupun bathil seperti as-Tsalabî dan al-Khazîn.
Dia lalu menyebut tafsir yang sudah dimasuki israiliyyat itu antara lain tafsir Muqâtil bin Sulaiman (w. 150 H), tafsir Abdur ar-Razâq ash-Shan'ânî (126-211 H), tafsir Imam athThabarî (224-310 H) tafsir Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî (240-327 H).
"Kala itu corak tafsir bil ma'tsur masih bersandar kepada riwayat-riwayat dan terkadang kurang memperhatikan isi dan kandungan riwayat tersebut," ujarnya.
Pada fase selanjutnya ketika tafsir mulai berubah, dengan banyaknya riwayat-riwayat yang diringkas tanpa disandarkan kepada rawinya sehingga bercampurlah antara yang baik dan buruk.
Muhammad Husein Adz-Dzahabi dalam "At-Tafsir wal Mufassirun" menambahkan bahwa hal ini dilakukan agar kitab tafsir lebih mudah untuk dibaca.
Dia lalu menyebut seperti yang tampak pada tafsir al-Khâzin (678-741 H) Lubâb at-Ta'wîl Fî Ma'anî at-Tanzîl yang merupakan ringkasan dari tafsir Imam al-Baghawî Ma'alim at-Tanzîl (w. 516 H) yang juga merupakan ringkasan dari tafsir as-Tsa'labî anNaysâbûrî (w. 427 H) Al-kasyfu wa al-Bayân'an Tafsîr Al-Qur'an.
"Kemudian datang masa generasi yang menukil semua tafsir dari generasi sebelumnya tanpa mengetahui yang baik (benar) dan buruk (salah), dan menganggap seluruh tafsir ini benar, dari sinilah pintu tafsir terbuka lebar bagi masuknya israiliyyat," tutur Abu al-Yaqdzhân dalam "Athiyyah al-Jabawrî, Dirasât Fî at-Tafsîr wa Rijâlihi".
Walaupun pada fase berikutnya ini tafsir mulai berubah, tetap saja ada beberapa mufassir yang mencantumkan riwayat-riwayat yang bersambung hingga Rasulullah SAW dalam tafsirnya seperti yang dilakukan oleh Imam Ibnu Katsîr (705-774 H) Tafsîr Al-Qur'an Al-Adzîm dan Imam as-Suyuthî (w. 911 H) Ad-Durr al-Mantsûr Fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr.
Setelah zaman Imam ath-Thabarî di masa keemasan Islam dimulailah masa penerjemahan ilmu-ilmu ke dalam bahasa arab, setiap ilmu memiliki kaidahnya masing-masing.
As-Sayyid Muhammad Bin Uluwî al-Mâlikî al-Hasanî dalam "Al-Qawâid al-Asâsiyyah Fî Ulum Al-Qur'an" menyebut beberapa ulama yang mahir dalam bidang keilmuan tertentu berusaha menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Ahli nahwu terfokus pada i'rab dalam tafsirnya seperti az-zujâz, al-wâhidî (al-basith), Abu Hayyân. Ahli fiqih terfokus untuk mencari dalil-dalil fiqih seperti al-Qurthubî. Ahli filsafat fokus pada ungkapan-ungkapan ahli hikmah dan filsuf. Begitu juga dengan ahli cerita yang sibuk dengan kisah-kisah dan kabar umat terdahulu baik itu cerita yang benar maupun bathil seperti as-Tsalabî dan al-Khazîn.
(mhy)