Berjilbab Tapi Modelnya Potongan, Bagaimana Hukumnya?
loading...
A
A
A
Demi menjaga harga diri seorang perempuan, Islam telah menetapkan beberapa batasan dan aturan yang sesuai dengan fitrahnya. Artinya, ketika seorang perempuan keluar dari batasan-batasan Allah ini, maka pada dasarnya ia telah menentang fitrah penciptaannya dan pasti akan berakibat fatal pada harga diri dan agamanya.
Di antara aturan Islam tersebut adalah: Menjauhi segala perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang dalam hubungan haram, maksiat zina, dan pelecehan harga diri seorang perempuan.
Selain pacaran dan berdua-duaan dengan laki-laki bukan mahram, perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang dalam perbuatan nista ini adalah menanggalkan hijab atau pakaian yang menutup seluruh aurat dan perhiasan yang dipakainya. Allah Ta’ala berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS. An-Nur: 31).
Sebagai seorang muslimah, hijab merupakan penjaga harga diri dan potret kemuliaannya. Dengannya ia lebih dikenal sebagaiperempuan yang memiliki identitas muslimah sejati serta bisa menjaga aurat dan menutup pintu kenistaan atas dirinya. (Baca juga : Ummu Syuraik, Pendakwah dan Perempuan Pebisnis yang Hebat )
Ini salah satu di antara sekian hikmah hijab yang disyariatkan oleh Allah sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)
Kandungan ayat ini sangat jelas bahwa fungsi dan hikmah dari hijab adalah untuk menghindari terjadinya dosa dan fitnah yang mengancam kehormatan dan harga diri kaum wanita. Oleh sebab itu, hijab dan menutup aurat secara sempurna merupakan suatu kewajiban yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah.
Ayat di atas juga menegaskan bahwa memakai hijab bukanlah suatu kewajiban dan amanah semata, namun ia juga merupakan suatu anugerah yang patut disyukuri oleh setiap kaum muslimah. Namun, dalam perkembangannya, hijab bukan hanya berfungsi menutup aurat . Tapi, sudah menjadi bagian dari mode. Sehingga saat ada istilah hijab modern.
Misalnya, ada fenomena mengenai jilbab syar'i, yaitu bukan kerudung (khimaar), melainkan busana wanita yang longgar yang dipakai di atas baju rumahan (seperti daster dil) yang menutupi seluruh tubuh yang terulur hingga kedua kaki. Hanya saja jilbab tersebut tak terbuat dari satu kain terusan, melainkan dari dua kain yang dijahit atau disambung menjadi satu. Misal bagian atas warna putih, sedang bagian pinggang ke bawah berwarna abu-abu (seperti seragam siswi SMU). Inilah fakta (manath) yang ada di masyarakat. (Baca juga : Memprioritaskan Taubat dalam Kehidupan )
Bolehkah memakai jilbab seperti potongan yang seperti itu? Menurut Ustadz M Shiddiq Al Jawi, jawabannya ada dua poin. Pertama, boleh hukumnya jilbab seperti potongan tersebut dikenakan oleh Muslimah karena sudah termasuk jilbab syar'i. Kedua, sebaiknya seorang Muslimah tak mengenakan jilbab seperti potongan itu karena ada unsur syubhat, kecuali dia dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut.
Mengenai poin pertama, yakni jilbab seperti potongan itu boleh dipakai, dikarenakan jilbab seperti potongan itu sudah masuk definisi jilbab syari yang diwajibkan Allah SWT dalam Al Ahzab [33]: 59. Tafsiran jilbab" dalam ayat tersebut menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir fi Al 'Aqidah wa Al Syari'ah wa Al Manhaj)
Para ulama juga menafsirkan istilah "jilbab" dalam makna yang yang serupa. Dalam kamus Al Mu'jamul Wasith disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil 'ala al jasadi kullihi) Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung) (maa yulbasu fauqa tsiyaabiha ka al milhafah). (Al Mujamul Wasith).
Dengan demikan, jilbab seperti potongan yang ditanyakan hukumnya boleh, berdasarkan kemutlakan ayat jilbab di atas, karena tidak terdapat dalil taqyiid dari Al Qur'an maupun As Sunnah yang mensyaratkan jilbab itu wajib terbuat dari satu potong kain saja. Ini adalah pandangan Taqiyuddin An Nabhani, dalam Al Nizham Al Itima'i fi Al Islam. Juga disebutkan Nashiruddin Al Albani, pada kitab Jilbab Al Mar'ah A Muslimah fi Al Kitab wa Al Sunnah.
Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan: al muthlaqu yajriy 'alaa ithlaaqihi maa lam yarid dalilun yadullu 'ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan taqyid (penetapan batasan/ syarat ). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al lslami)
Adapun poin kedua, Ustadz M Shiddiq Al Jawi, mengatakan, sebaiknya seorang Muslimah tidak mengenakan jilbab seperti potongan itu, karena terdapat unsur syubhat, yaitu adanya isytibah (kesamaran) bagi orang yang melihatnya, karena seakan-akan jilbab tersebut tidak sesuai syariah. Yaitu jilbab itu akan nampak sebagai dua potong baju terpisah, bukan satu potong sebagai satu kesatuan. Jadi orang akan menduga baju atas (gamis) yang dipakai tidak terulur sampai bawah (kaki) sebagaimana diwajibkan syariah, tapi hanya terulur sampai pinggang. Padahal hakikatnya tidak demikian. (Baca juga : Ini Petunjuk Rasulullah Memilih Teman agar Selamat Dunia Akhirat )
Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya jilbab potongan seperti itu tidak dipakai kecuali pemakainya dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut. Dalilnya hadis shahih bahwa Shafiyah binti Huyyai RA salah seorang istri Nabi SAW pernah mengunjungi Nabi SAW yang sedang i'tikaf di malam hari pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ketika keduanya hendak keluar dan sampai di pintu masjid, ada dua orang laki-laki Anshar yang melihat mereka. Maka Nabi SAW berkata kepada mereka, "Wanita ini tidak lain adalalh Shafiyyah binti Huyyai [istri saya sendiri]" (HR Bukhari & Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al ltima'i fi Al Islam dan penjelasan Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyah).
Wallahu a'lam.
Di antara aturan Islam tersebut adalah: Menjauhi segala perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang dalam hubungan haram, maksiat zina, dan pelecehan harga diri seorang perempuan.
Selain pacaran dan berdua-duaan dengan laki-laki bukan mahram, perbuatan yang bisa menjerumuskan seseorang dalam perbuatan nista ini adalah menanggalkan hijab atau pakaian yang menutup seluruh aurat dan perhiasan yang dipakainya. Allah Ta’ala berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS. An-Nur: 31).
Sebagai seorang muslimah, hijab merupakan penjaga harga diri dan potret kemuliaannya. Dengannya ia lebih dikenal sebagaiperempuan yang memiliki identitas muslimah sejati serta bisa menjaga aurat dan menutup pintu kenistaan atas dirinya. (Baca juga : Ummu Syuraik, Pendakwah dan Perempuan Pebisnis yang Hebat )
Ini salah satu di antara sekian hikmah hijab yang disyariatkan oleh Allah sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59)
Kandungan ayat ini sangat jelas bahwa fungsi dan hikmah dari hijab adalah untuk menghindari terjadinya dosa dan fitnah yang mengancam kehormatan dan harga diri kaum wanita. Oleh sebab itu, hijab dan menutup aurat secara sempurna merupakan suatu kewajiban yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah.
Ayat di atas juga menegaskan bahwa memakai hijab bukanlah suatu kewajiban dan amanah semata, namun ia juga merupakan suatu anugerah yang patut disyukuri oleh setiap kaum muslimah. Namun, dalam perkembangannya, hijab bukan hanya berfungsi menutup aurat . Tapi, sudah menjadi bagian dari mode. Sehingga saat ada istilah hijab modern.
Misalnya, ada fenomena mengenai jilbab syar'i, yaitu bukan kerudung (khimaar), melainkan busana wanita yang longgar yang dipakai di atas baju rumahan (seperti daster dil) yang menutupi seluruh tubuh yang terulur hingga kedua kaki. Hanya saja jilbab tersebut tak terbuat dari satu kain terusan, melainkan dari dua kain yang dijahit atau disambung menjadi satu. Misal bagian atas warna putih, sedang bagian pinggang ke bawah berwarna abu-abu (seperti seragam siswi SMU). Inilah fakta (manath) yang ada di masyarakat. (Baca juga : Memprioritaskan Taubat dalam Kehidupan )
Bolehkah memakai jilbab seperti potongan yang seperti itu? Menurut Ustadz M Shiddiq Al Jawi, jawabannya ada dua poin. Pertama, boleh hukumnya jilbab seperti potongan tersebut dikenakan oleh Muslimah karena sudah termasuk jilbab syar'i. Kedua, sebaiknya seorang Muslimah tak mengenakan jilbab seperti potongan itu karena ada unsur syubhat, kecuali dia dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut.
Mengenai poin pertama, yakni jilbab seperti potongan itu boleh dipakai, dikarenakan jilbab seperti potongan itu sudah masuk definisi jilbab syari yang diwajibkan Allah SWT dalam Al Ahzab [33]: 59. Tafsiran jilbab" dalam ayat tersebut menurut Syekh Wahbah Zuhaili adalah baju panjang (al mula ah) yang dipakai perempuan seperti gamis, atau baju yang menutup seluruh tubuh. (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir fi Al 'Aqidah wa Al Syari'ah wa Al Manhaj)
Para ulama juga menafsirkan istilah "jilbab" dalam makna yang yang serupa. Dalam kamus Al Mu'jamul Wasith disebutkan jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub al musytamil 'ala al jasadi kullihi) Jilbab juga diartikan apa-apa yang dipakai wanita di atas baju-bajunya seperti milhafah (mantel/baju kurung) (maa yulbasu fauqa tsiyaabiha ka al milhafah). (Al Mujamul Wasith).
Dengan demikan, jilbab seperti potongan yang ditanyakan hukumnya boleh, berdasarkan kemutlakan ayat jilbab di atas, karena tidak terdapat dalil taqyiid dari Al Qur'an maupun As Sunnah yang mensyaratkan jilbab itu wajib terbuat dari satu potong kain saja. Ini adalah pandangan Taqiyuddin An Nabhani, dalam Al Nizham Al Itima'i fi Al Islam. Juga disebutkan Nashiruddin Al Albani, pada kitab Jilbab Al Mar'ah A Muslimah fi Al Kitab wa Al Sunnah.
Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan: al muthlaqu yajriy 'alaa ithlaaqihi maa lam yarid dalilun yadullu 'ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan taqyid (penetapan batasan/ syarat ). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al lslami)
Adapun poin kedua, Ustadz M Shiddiq Al Jawi, mengatakan, sebaiknya seorang Muslimah tidak mengenakan jilbab seperti potongan itu, karena terdapat unsur syubhat, yaitu adanya isytibah (kesamaran) bagi orang yang melihatnya, karena seakan-akan jilbab tersebut tidak sesuai syariah. Yaitu jilbab itu akan nampak sebagai dua potong baju terpisah, bukan satu potong sebagai satu kesatuan. Jadi orang akan menduga baju atas (gamis) yang dipakai tidak terulur sampai bawah (kaki) sebagaimana diwajibkan syariah, tapi hanya terulur sampai pinggang. Padahal hakikatnya tidak demikian. (Baca juga : Ini Petunjuk Rasulullah Memilih Teman agar Selamat Dunia Akhirat )
Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya jilbab potongan seperti itu tidak dipakai kecuali pemakainya dapat memberikan klarifikasi untuk menghilangkan syubhat tersebut. Dalilnya hadis shahih bahwa Shafiyah binti Huyyai RA salah seorang istri Nabi SAW pernah mengunjungi Nabi SAW yang sedang i'tikaf di malam hari pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ketika keduanya hendak keluar dan sampai di pintu masjid, ada dua orang laki-laki Anshar yang melihat mereka. Maka Nabi SAW berkata kepada mereka, "Wanita ini tidak lain adalalh Shafiyyah binti Huyyai [istri saya sendiri]" (HR Bukhari & Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al ltima'i fi Al Islam dan penjelasan Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyah).
Wallahu a'lam.
(wid)