Bolehkah Wanita Bersafar Tanpa Mahram? Begini Penjelasannya

Sabtu, 23 Desember 2023 - 05:15 WIB
loading...
Bolehkah Wanita Bersafar Tanpa Mahram? Begini Penjelasannya
Pada dasarnya hukum wanita bersafar ramai-ramai seperti perjalanan ibadah haji, menjadi seorang TKI, menghadiri seminar, sekolah atau kuliah, piknik dan bepergian lainnya tanpa disertai mahram adalah boleh atau mubah. Foto ilustrasi/ist
A A A
Bolehkan wanita bersafar (bepergian) tanpa mahram ? Pertanyaan ini umumnya ditujukan untuk wanita muslimah yang akan bepergian seorang diri. Safar atau dalam bahasa Arab berarti menempuh perjalanan. Safar merupakan bagian hidup setiap muslim dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Rabb-nya atau untuk meraih kemaslahatan duniawinya.

Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan hukum-hukum safar serta mengajarkan adab-adabnya di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Secara syariat, safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. Namun mengenai jarak perjalanan yang dianggap safar, para ulama masih berbeda pendapat. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing.

Sedangkan tentang safar wanita muslimah ini, dalil-dalil yang berhubungan dengannya masih bersifat sangat umum, maka berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran bahkan sering kali memicu perdebatan. Pada dasarnya hukum perempuan melakukan perjalanan atau (ber-safar) ramai-ramai seperti perjalanan menjalankan ibadah haji, bepergian untuk mencari nafkah ke negara lain atau menjadi seorang TKI, menghadiri seminar atau menyelesaikan studi di luar kota, sampai piknik, study tour, camping, dan bepergian lainnya tanpa disertai mahram adalah boleh atau mubah.

Dilihat dari bentuknya, safar yang dilakukan oleh perempuan bisa dibagi menjadi tiga bentuk, yakni Safar Mubah, Safar Mustahab (yang dianjurkan), dan Safar Wajib. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut penjelasannya:

1. Safar Mubah

Pada dasarnya hukum perempuan wanita bepergian (bersafar) ramai-ramai seperti study tour, camping, dan bepergian lainnya tanpa disertai mahram adalah boleh atau mubah, Islam hanya melarang umatnya melakukan pergaulan bebas.

Dulu, ketika Rasulullah SAW melakukan bepergian lewat laut untuk peperangan beliau selalu mendapatkan pedampingan dari sahabat, sahabat yang dimaksud tidak hanya dari kalangan lelaki tetapi juga dari kalangan perempuan yang berani dan merelakan nyawanya untuk melindungi Rasulullah SAW, Tugas perempua ketika itu adalah membantu logistik dan medis saat berperang.

Namun, dalam hadis shahih yang sangat masyhur di kalangan ahli hadis dan fikih disebutkan, Rasulullah SAW pernah melarang wanita untuk bepergian di atas tiga hari tanpa disertai mahram.

لا تسافر المرأة ثلاثة أيام إلا مع ذي محرم


“Tidaklah diperbolehkan bagi wanita untuk bepergian di atas tiga hari kecuali disertai mahramnya.”

Hadis ini oleh sebagian kalangan muslim dijadikan dasar pelarangan bagi wanita untuk bepergian lebih dari tiga hari tanpa mahram. Namun bagi sebagian kalangan muslim lainnya seperti Yusuf al-Qardhawi menuturkan hadis tersebut tidak dapat dipahami secara lafzhi (tekstual) melainkan dengan mempertimbangkan illat (alasan) pelarangannya.

Adapun alasan pelarangan tersebut adalah tidak adanya jaminan keamanan dan dikhawatirkan terjadinya fitnah pada saat perjalanan itu dilakukan, hal itu mungkin saja terjadi karena ketika itu seseorang yang ingin bepergian jauh maka dia harus melewati gurun pasir, kebun kurma yang luas sehingga kemungkinan hal yang tidak diinginkan terjadi bila tidak ditemani mahram.

Dengan demikian maka dapat dipahami, larangan bepergian bagi perempuan tidaklah bersifat mutlak tanpa alasan illat, dan perlu diketahui suatu hukum sangat bergantung kepada illatnya, bila illat itu tidak ada maka hukumnya juga terhapus atau tidak berlaku.

Dalam hal ini bila wanita bepergian bersama-sama dengan temannya yang lain, yang dapat menghilangkan illat larangan tersebut, maka ketika itu agama tidak melarangnya.

2. Safar Mustahab (dianjurkan)

Contoh safar mustahab seperti melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau menyambung silaturahim . Mengenai hal ini, Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76):

“Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“

Tapi pendapat ini, berbeda dengan yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.

Misalnya ketika ada seorang perempuan harus berangkat naik pesawat karena saudaranya yang sakit. Tidak cukup sebenarnya jika hanya menemani perempuan tersebut sampai bandara , lalu orang tuanya menjemput lagi di bandara berikutnya. Namun saat mendapati keadaan darurat, seperti itu dibolehkan. Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wan Nazhoir menyebutkan suatu kaedah fikih,"Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.” (Al-Asybah wa An-Nazhoir).

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, “Apa hukum safarperempuan seorang diri dengan pesawat karena ada uzur di mana mahramnya akan mengantarnya ke bandara lalu akan dijemput dengan mahram lainnya di bandara berikutnya?” (

Jawab Syaikh Ibnu Jibrin, “Tidak mengapa hal itu jika berat untuk bersama mahram seperti suami atau ayahnya. Ini dibolehkan saat wanita tersebut dalam kondisi darurat untuk bersafar. Sedangkan saat itu, mahram dari wanita tersebut tidak bisa menemaninya. Seperti itu tidak mengapa selama mahram pertama mengantarnya ke bandara dan tidak berpisah sampai ia naik pesawat. Lalu dipastikan bahwa ada mahram di bandara yang dituju untuk bertemu di sana. Ketika itu dikabarkan kapan akan sampai melalui nomor telepon. Hal ini dibolehkan selama keadaan darurat.” (Fatawa Ibnu Jibrin, dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab)

Apa syarat disebut darurat? Di antara syaratnya, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya dharar (bahaya). (bersambung)

3. Safar Wajib

Contoh dari safar wajib ini seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji , menolong orang sakit, dan berbakti kepada orang tua.

Namun, masih ada selisih di antara para ulama tentang status hukumnya. Menurut Ustadz Ahmad Zain, ada beberapa pendapat mengenai mahram yang wajib tidaknya mendampingi perempuan ini ketika melakukan safar wajib.

Pendapat pertama, seorangperempuan tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari keduanya. Mereka berdalil dengan keumuman hadis yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, di antaranya adalah hadis Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya.”Lalu ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji.”Maka Beliau bersabda, “Tunaikanlah haji bersama istrimu.” (HR. Bukhari).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang perempuan muslimah. (

Pendapat kedua, seorang perempuan muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram. Mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang perempuan muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’i, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Zhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau (al-Majmu’: VIII/382, al-Furu’: III/ 177).

Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombonganperempuan yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Imam al-Baji al-Maliki berkata: “Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi perempuan yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa: III/17).

Dalil mereka adalah sebagai berikut:

1. Hadis Adi bin Hatim radhiyallahu'anhu, bahwa NabiShallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorangperempuan yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al-Hirah hingga melakukan thawaf di Kakbah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari).

Hadis tersebut berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari).

2. Atsar Ibnu Umar radhiyallahu'anhu

Ibnu Umar berkatabahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya.Kemudian beliau berhaji dengan mereka.Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar.Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram.(Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla).

3. Atsar Aisyah radhiyallahu'anha.

Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata, “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?” (Riwayat Baihaqi).

4.Kaidah fiqhiyah

- Masalah safar perempuan termasuk dalam katagori muamalah, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya, yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman. (

“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.”

- Berdasarkan kaidah tersebut, sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdurrazaq Afifi (Fatawa wa Rasail: I/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang. Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.

“Apa-apa yang diharamkan karena zatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan (kemaksiatan), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan.”

- Ketidakbolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk menutup jalan kemaksiatan dan bahaya baginya. Oleh karena itu, hal itu menjadi dibolehkan manakala ada kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan yang dipercaya dan keadaan jalan aman.

Pendapatyang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita muslimah berdasarkan hadis dan atsar di atas.Tetapi boleh bersama rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.

Adapun hadis Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada haji wajib, tetapi pada haji yang sunnah. Sebab, haji baru diwajibkan pada tahun 10 Hijriyah, dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.

Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan haji dan umrah atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya, karena itu lebih terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya.



Wallahu A’lam.
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2431 seconds (0.1#10.140)