Sedekah Laut: Tradisi Syawalan dan Kupatan di Pesisir Jawa
loading...
A
A
A
Berbagai hiasan dibuat dari janur, kain sarung, jarit, bendera merah putih, botol-botol kosong dan aneka buah. Jumlah hiasan menunjukkan jumlah anak buah (jurag) perahu: jurag atau anak buah perahu pada umumnya masih tetangga atau famili dari pemilik perahu atau juragan.
Juragan, jurag dan keluarganya turut serta dalam perayaan tersebut. Mereka berangkat dari rumah dengan membawa bekal makanan secukupnya, pada umumnya nasi atau ketupat opor ayam, sambel goreng udang dan sebagainya.
Kemudian menuju tempat penjualan hasil laut atau kongsi, istilah masyarakar setempat. Sekarang tempat tersebut lebih dikenal sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Pelayaran dari rumah masing-masing menuju ke TPI tersebut dipandang sebagai wujud rasa syukur para nelayan yang menyandarkan hidupnya dari hasil laut.
Di tempat inilah berkumpul beberapa kelompok nelayan dan keluarganya. Mereka merayakan lebaran dengan berpesta makanan bersama. Tidak ada perbedaan antara nelayan besar dan kecil, kaya dan miskin, mampu atau tidak. Semua berbaur dan menyatu menyantap makanan yang telah disiapkan dan dibawa dari rumah.
Ritual makan bersama di atas perahu ini dimaksudkan sebagai selamatan. Nelayan yang tidak memiliki perahu mengadakan selamatan di rumah masing-masing. Dalam perjalanan waktu acara ini kemudian berkembang menjadi tradisi sedekah laut yang dilaksanakan dan menjadi agenda pariwisata pemerintah setempat.
Kegiatan Syawalan atau sedekah laut ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada hari kedelapan bulan Syawal.
Ritual Selamatan
Acara selamatan dilaksanakan dua kali, yaitu malam hari sebelum hari H dan pada pagi harinya. Selamatan pada malam hari sebelum hari H dilaksanakan di TPI dengan tujuan agar acara Syawalan yang akan dilaksanakan pada pagi harinya berjalan lancar dan selamat.
Acara ini diisi dengan kegiatan pembacaan tahlil dan doa yang dipimpin oleh para ulama’ untuk mendoakan kepada arwah leluhur. Acara selamatan kedua merupakan ritual puncak yang dilaksanakan di tengah laut dengan menumpang perahu cothok dan kapal mini.
Perahu dan kapal untuk acara selamatan dihiasi dengan hiasan khas, seperti janur, kain sarung, jarit, bendera merah putih, botol-botol minuman dan aneka buah. Ritual ini menggunakan sajian nasi tumpeng berbentuk gunungan yang berisi ingkung (masakan ayam utuh), sambal goreng, telur rebus, sayur, tomat dan sebagainya.
Kegiatan selamatan puncak diawali dari TPI sebagai pusat kegiatan Syawalan, ditandai dengan penyerahan dua buah tumpeng oleh Bupati kepada panitia Syawalan.
Selanjutnya nasi tumpeng dibawa ke tengah laut dengan kapal mini atau perahu yang telah dihias. Turut dalam kapal ini rombongan pejabat, tokoh masyarakat serta sejumlah ulama dari tiga desa nelayan setempat.
Sejumlah kapal nelayan mengikuti kapal pembawa rombongan prosesi selamatan. Sesampainya di tengah laut ritul dimulai dengan bacaan doa-doa secara bergiliran oleh tiga kiai dan ulama perwakilan desa.
Selesai pembacaan doa, nasi tumpeng dimakan bersama-sama. Satu tumpeng lainnya dilarung ke laut sebagai simbol kepedulian pada laut.
Khoirul Anwar mengatakan ritual Syawalan di Morodemak ini berbeda dengan Syawalan di beberapa daerah lain. Tidak ada prosesi pelarungan kepala kerbau seperti yang dilakukan di beberapa daerah lain. Mereka menyadari bahwa praktik tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah prosesi selamatan di tengah laut selesai, rombongan kembali lagi ke TPI dan menyaksikan berbagai hiburan dan perlombaan yang digelar oleh panitia untuk para nelayan. Jenis lomba yang diselenggarakan antara lain lomba menghias perahu atau kapal, panjat pinang, mendayung kapal, menangkap itik di sungai dan sebagainya, tergantung ketentuan panitia penyelenggara lomba.
Semua perlombaan dilaksanakan di sungai depan TPI, jalur di mana kapal dan perahu nelayan hilir mudik setiap hari berangkat dan pulang melaut. Panjat pinang dilaksanakan di halaman Kantor TPI.
Selain lomba juga ada hiburan macam wayang kulit, pergelaran grup musik dangdut, berbagai permainan anak-anak dan sebagainya. Acara hiburan ini berlangsung selama sepekan dan puncaknya pada hari ke delapan bulan Syawal.
Juragan, jurag dan keluarganya turut serta dalam perayaan tersebut. Mereka berangkat dari rumah dengan membawa bekal makanan secukupnya, pada umumnya nasi atau ketupat opor ayam, sambel goreng udang dan sebagainya.
Kemudian menuju tempat penjualan hasil laut atau kongsi, istilah masyarakar setempat. Sekarang tempat tersebut lebih dikenal sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Pelayaran dari rumah masing-masing menuju ke TPI tersebut dipandang sebagai wujud rasa syukur para nelayan yang menyandarkan hidupnya dari hasil laut.
Di tempat inilah berkumpul beberapa kelompok nelayan dan keluarganya. Mereka merayakan lebaran dengan berpesta makanan bersama. Tidak ada perbedaan antara nelayan besar dan kecil, kaya dan miskin, mampu atau tidak. Semua berbaur dan menyatu menyantap makanan yang telah disiapkan dan dibawa dari rumah.
Ritual makan bersama di atas perahu ini dimaksudkan sebagai selamatan. Nelayan yang tidak memiliki perahu mengadakan selamatan di rumah masing-masing. Dalam perjalanan waktu acara ini kemudian berkembang menjadi tradisi sedekah laut yang dilaksanakan dan menjadi agenda pariwisata pemerintah setempat.
Kegiatan Syawalan atau sedekah laut ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada hari kedelapan bulan Syawal.
Ritual Selamatan
Acara selamatan dilaksanakan dua kali, yaitu malam hari sebelum hari H dan pada pagi harinya. Selamatan pada malam hari sebelum hari H dilaksanakan di TPI dengan tujuan agar acara Syawalan yang akan dilaksanakan pada pagi harinya berjalan lancar dan selamat.
Acara ini diisi dengan kegiatan pembacaan tahlil dan doa yang dipimpin oleh para ulama’ untuk mendoakan kepada arwah leluhur. Acara selamatan kedua merupakan ritual puncak yang dilaksanakan di tengah laut dengan menumpang perahu cothok dan kapal mini.
Perahu dan kapal untuk acara selamatan dihiasi dengan hiasan khas, seperti janur, kain sarung, jarit, bendera merah putih, botol-botol minuman dan aneka buah. Ritual ini menggunakan sajian nasi tumpeng berbentuk gunungan yang berisi ingkung (masakan ayam utuh), sambal goreng, telur rebus, sayur, tomat dan sebagainya.
Kegiatan selamatan puncak diawali dari TPI sebagai pusat kegiatan Syawalan, ditandai dengan penyerahan dua buah tumpeng oleh Bupati kepada panitia Syawalan.
Selanjutnya nasi tumpeng dibawa ke tengah laut dengan kapal mini atau perahu yang telah dihias. Turut dalam kapal ini rombongan pejabat, tokoh masyarakat serta sejumlah ulama dari tiga desa nelayan setempat.
Sejumlah kapal nelayan mengikuti kapal pembawa rombongan prosesi selamatan. Sesampainya di tengah laut ritul dimulai dengan bacaan doa-doa secara bergiliran oleh tiga kiai dan ulama perwakilan desa.
Selesai pembacaan doa, nasi tumpeng dimakan bersama-sama. Satu tumpeng lainnya dilarung ke laut sebagai simbol kepedulian pada laut.
Khoirul Anwar mengatakan ritual Syawalan di Morodemak ini berbeda dengan Syawalan di beberapa daerah lain. Tidak ada prosesi pelarungan kepala kerbau seperti yang dilakukan di beberapa daerah lain. Mereka menyadari bahwa praktik tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah prosesi selamatan di tengah laut selesai, rombongan kembali lagi ke TPI dan menyaksikan berbagai hiburan dan perlombaan yang digelar oleh panitia untuk para nelayan. Jenis lomba yang diselenggarakan antara lain lomba menghias perahu atau kapal, panjat pinang, mendayung kapal, menangkap itik di sungai dan sebagainya, tergantung ketentuan panitia penyelenggara lomba.
Semua perlombaan dilaksanakan di sungai depan TPI, jalur di mana kapal dan perahu nelayan hilir mudik setiap hari berangkat dan pulang melaut. Panjat pinang dilaksanakan di halaman Kantor TPI.
Selain lomba juga ada hiburan macam wayang kulit, pergelaran grup musik dangdut, berbagai permainan anak-anak dan sebagainya. Acara hiburan ini berlangsung selama sepekan dan puncaknya pada hari ke delapan bulan Syawal.