Ini Mengapa Iran Menjadi Negara Islam Kuat yang Mandiri

Sabtu, 20 April 2024 - 14:21 WIB
loading...
Ini Mengapa Iran Menjadi Negara Islam Kuat yang Mandiri
Umat Islam Syiah saat merayakan Asyura. Foto: Al-Jazeera
A A A
Iran berada di wilayah Timur Tengah , bersama Turki , Libanon, Irak, Yordania , Syria, Mesir dan kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan Teluk Persia.

Ali Mufrodi dalam buku berjuduk "Islam di Kawasan Kebudayaan Arab" (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999) menyebut Turki dan Iran yang berbudaya Persia tidak dimasukkan ke kawasan berkebudayaan Arab , karena kedua wilayah tersebut memiliki ciri-ciri khas kebudayaan sendiri.

Berikut ini sepintas tentang sejarah Islam di Iran.

Pada tahun 634 M, dalam perang Qadisiyyah, Persia dikalahkan Arab Muslim, bahkan tahun 641 M, setelah perang Nahawand, seluruh Persia pimpinan Yazdajird jatuh ke Arab Muslim ini.

Penduduk Persia yang beragama Zoroaster segera beralih menjadi Muslim.



Persia di bawah kekuasaan Abbasiyah berpusat di Baghdad pada tahun 820, tetapi di masa Khalifah al-Mustakfi (944-946) dan al-Muthi’ (946-974), khalifah hanya simbol kultural muslim Sunni.

Kekuasaan ada di tangan keluarga Buwayhi (Buyid), penganut Syi’ah. Pada 945, Ahmad keturunan Buwayhi, menduduki Baghdad dan menyebut diri Amir al-Umara.

Setelah Tughril Beg dari Dinasti Saljuk (Suni), berhasil menduduki Baghdad tahun 1055, keluarga Buwayhi melarikan diri ke wilayah Dailam (utara Iran). Saljuk menjadikan Khalifah
Abbasiyah sebagai boneka juga, karena kekuasaan sesungguhnya ada di tangan Tughril Beg dengan gelar Sulthan.

Dinasti Saljuk berpusat di Kota Isfahan, kota tua yang awalnya gabungan dari dua kota, yaitu Jayy (Ibu kota Provinsi Persia) dan Yahudiyyah, kota koloni Yahudi yang berkembang di masa Kisra Yazdajird I memerintah (339-420).

Pada masa penjarahan Kota Baghdad tahun 1258-1500-an, ditandai
dengan runtuhnya Tamerlane (Timurid) pada 1507, Persia/Iran dikuasai banyak penguasa lokal yang merupakan anak cucu keturunan Tamerlane.



Pada tahun 1501, muncul kekuatan politik baru di Samarqand pimpinan Shah Ismail I, yang mendirikan Dinasti Safawi, yang didukung kelompok tarekat Safawiyah (Sunni) yang didirikan Shafi al-Din Ardabili (1252-1334).

Dengan dukungan pengikut tarekat Qizilbash (Kepala Merah), Ismail menaklukkan semua penguasa lokal itu, dan menyatakan diri sebagai Syi’ah bahkan menjadikan Syi’ah Itsna’asyariyah sebagai agama negara dengan ibukota Isfahan.

Dinasti Safawi menjadi elemen penting dalam pembentukan identitas bangsa Iran, dan perluasan Syi’ah hingga sekarang.

Sejak 11 Februari 1979, melalui revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Khomeini, sistem kerajaan diganti sistem Republik Islam lewat referendum yang didukung 98% rakyatnya.

Dalam jangka waktu hampir tiga dekade, Iran termasuk di antara negara yang paling sering mendapatkan tekanan dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.

Selain dipaksa berperang selama delapan tahun melawan rezim diktator Saddam Husain, perekonomian Iran turut diembargo. Tetapi, tekanan dan embargo tidak membuat Iran menyerah, melainkan membuat Negeri Para Mullah tersebut lebih mandiri di segala bidang.



Kemandirian ini pula yang menjadi landasan kemajuan pesat Iran dalam meniti masa depan bangsanya. Telah diketahui, indenpendensi dan kemajuan sebuah bangsa sangat bergantung kepada keberhasilan dalam meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2840 seconds (0.1#10.140)