Di Zaman Sayyidina Umar Salat Tarawih Sampai Subuh
loading...
A
A
A
PADA masa Sayyidina Umar Bin Khatttab menjabat sebagai khalifah, tepatnya pada Ramadhan tahun ke-13 Hijrah, salat malam sangat lama, sampai subuh.
Menurut Ahmad Zarkasih Lc, dalam bukunya berjudul "Sejarah Tarawih", salat tarawih lama dan panjang karena bacaan yang panjang.
Ibn Syabah dalam kitab sejarahnya tentang kota Madinah (Tarikh al-Madinah) meriwayatkan sebuah temuan yang menceritakan bahwa surat yang dibaca oleh imam pada masa Sayyidina Umar RA itu adalah surat-surat Al-Mi’un; yakni antara surat al-Anfal sampai surat al-Sajadah.
Karenanya wajar jika kemudian beberapa jemaah membawa tongkat untuk menopang mereka berdiri dalam salat. Bahkan ada yang mengikat dirinya dengan tali yang disambungkan ke atap agar tetap berdiri di waktu mereka sudah kelelahan.
Pada era Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu itu salat di malam Ramadhan memang mulai berubah dibandingkan pada zaman Rasulullah SAW maupun di zaman Khalifah Abu Bakar.
Pada awalnya, salat di masjid Nabawi ramai dengan bacaan banyak imam. Jamaah berpencar-pencar. Orang berpindah dari satu imam ke imam yang lain; sesuai dengan bacaan A;-Qur'an yang ia suka. Pada akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Masjid pun menjadi gaduh dan bising.
Kondisi ini tidak disukai Sayyidina Umar RA. Beliau akhirnya membuat kebijakan baru untuk menyatukan seluruh jamaah dengan satu imam. Tidak lagi berpencar-pencar.
Sayyidina Umar kemudian menyatukan seluruh jamaah di masjid menjadi satu jamaah yang banyak dan dipimpin oleh satu imam.
Imam yang dipilih untuk salat malam Ramadhan kala itu adalah Ubai bin Ka’ab RA. Selain Ubai, dalam Mushannaf Abdurrazaq (salah satu Kitab hadis), disebutkan bahwa Sayyidina Umar juga memerintahkan Tamim al-Dariy untuk jadi Imam.
Artinya di dalam masjid Nabawi, ada dua imam dengan satu jamaah, yakni Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Dariy. Yang teknisnya, Tamim al-Dariy menggantikan Ubai bin Ka’ab di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadhan di masjid Nabawi.
Selain itu, Khalifah Umar juga membuatkan jamaah salat malam Ramadhan khusus untuk perempuan. Beliau menugaskan salah seorang sahabat,Sulaiman bin Abi Hatsmah, untuk menjadi imam.
Selanjutnya, Khalifah Umar juga mengubah format salat qiyam Ramadhan. Perubahan itu mengarah kepada format yang lebih memudahkan dan tidak melelahkan baik bagi imam ataupun bagi makmum.
Lama waktu salat pun ikut berubah. Itu diawali dengan perubahan jumlah ayat yang dibaca; karena memang itulah sebab lamanya salat. Khalifah Umar memerintahkan imam-imam salat yang dipilih itu untuk membaca ayat al-Qur’an dalam satu rakaat hanya 50 sampai 60 ayat.
Dalam perkembangannya berikutnya, Umar juga memerintahkan para imam membaca dalam satu rakaat hanya 20 sampai 30 ayat saja. Hal ini tentu saja memangkas waktu salat menjadi lebih cepat dari sebelum-sebelumnya.
Bahkan dari kitab yang sama juga, Imam al-Marwadzi meriwayatkan bahwa salat di zaman Umar RA akhirnya menjadi sangat ringan karena mereka masih sempat istirahat dan tidur setelah isya sekitar seperempat malam. Dan 2/4 mereka gunakan untuk salat dan di ¼ terakhir mereka bisa santap sahur.
Dan jumlah ayat yang dibaca pun berkurang, dengan jumlah rakaat yang ditambah. Untuk kali ini, ayat yang dibaca dalam satu rakaat hanya 5 sampai 6 ayat. Dan jumlah rakaat bertambah menjadi 18 rakaat Qiyam Ramadhan yang sebelumnya 8 dan juga 13 rakaat.
Ini proses yang dilalui orang umat Islam ketika Umar RA menjabat sebagai khalifah. Dari mulai salat yang lama dan panjang dengan jumlah rakaat yang sedikit. Lalu kemudian menjadi salat malam yang ringan dengan jumlah rakaat yang lebih banyak.
Menurut Ahmad Zarkasih Lc, dalam bukunya berjudul "Sejarah Tarawih", salat tarawih lama dan panjang karena bacaan yang panjang.
Ibn Syabah dalam kitab sejarahnya tentang kota Madinah (Tarikh al-Madinah) meriwayatkan sebuah temuan yang menceritakan bahwa surat yang dibaca oleh imam pada masa Sayyidina Umar RA itu adalah surat-surat Al-Mi’un; yakni antara surat al-Anfal sampai surat al-Sajadah.
Karenanya wajar jika kemudian beberapa jemaah membawa tongkat untuk menopang mereka berdiri dalam salat. Bahkan ada yang mengikat dirinya dengan tali yang disambungkan ke atap agar tetap berdiri di waktu mereka sudah kelelahan.
Pada era Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu itu salat di malam Ramadhan memang mulai berubah dibandingkan pada zaman Rasulullah SAW maupun di zaman Khalifah Abu Bakar.
Pada awalnya, salat di masjid Nabawi ramai dengan bacaan banyak imam. Jamaah berpencar-pencar. Orang berpindah dari satu imam ke imam yang lain; sesuai dengan bacaan A;-Qur'an yang ia suka. Pada akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak tertulis tentang imam-imam “dadakan” di masjid Nabawi guna menarik perhatian makmum. Masjid pun menjadi gaduh dan bising.
Kondisi ini tidak disukai Sayyidina Umar RA. Beliau akhirnya membuat kebijakan baru untuk menyatukan seluruh jamaah dengan satu imam. Tidak lagi berpencar-pencar.
Sayyidina Umar kemudian menyatukan seluruh jamaah di masjid menjadi satu jamaah yang banyak dan dipimpin oleh satu imam.
Imam yang dipilih untuk salat malam Ramadhan kala itu adalah Ubai bin Ka’ab RA. Selain Ubai, dalam Mushannaf Abdurrazaq (salah satu Kitab hadis), disebutkan bahwa Sayyidina Umar juga memerintahkan Tamim al-Dariy untuk jadi Imam.
Artinya di dalam masjid Nabawi, ada dua imam dengan satu jamaah, yakni Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Dariy. Yang teknisnya, Tamim al-Dariy menggantikan Ubai bin Ka’ab di sisa setengah pelaksanaan salat malam Ramadhan di masjid Nabawi.
Selain itu, Khalifah Umar juga membuatkan jamaah salat malam Ramadhan khusus untuk perempuan. Beliau menugaskan salah seorang sahabat,Sulaiman bin Abi Hatsmah, untuk menjadi imam.
Selanjutnya, Khalifah Umar juga mengubah format salat qiyam Ramadhan. Perubahan itu mengarah kepada format yang lebih memudahkan dan tidak melelahkan baik bagi imam ataupun bagi makmum.
Lama waktu salat pun ikut berubah. Itu diawali dengan perubahan jumlah ayat yang dibaca; karena memang itulah sebab lamanya salat. Khalifah Umar memerintahkan imam-imam salat yang dipilih itu untuk membaca ayat al-Qur’an dalam satu rakaat hanya 50 sampai 60 ayat.
Dalam perkembangannya berikutnya, Umar juga memerintahkan para imam membaca dalam satu rakaat hanya 20 sampai 30 ayat saja. Hal ini tentu saja memangkas waktu salat menjadi lebih cepat dari sebelum-sebelumnya.
Bahkan dari kitab yang sama juga, Imam al-Marwadzi meriwayatkan bahwa salat di zaman Umar RA akhirnya menjadi sangat ringan karena mereka masih sempat istirahat dan tidur setelah isya sekitar seperempat malam. Dan 2/4 mereka gunakan untuk salat dan di ¼ terakhir mereka bisa santap sahur.
Dan jumlah ayat yang dibaca pun berkurang, dengan jumlah rakaat yang ditambah. Untuk kali ini, ayat yang dibaca dalam satu rakaat hanya 5 sampai 6 ayat. Dan jumlah rakaat bertambah menjadi 18 rakaat Qiyam Ramadhan yang sebelumnya 8 dan juga 13 rakaat.
Ini proses yang dilalui orang umat Islam ketika Umar RA menjabat sebagai khalifah. Dari mulai salat yang lama dan panjang dengan jumlah rakaat yang sedikit. Lalu kemudian menjadi salat malam yang ringan dengan jumlah rakaat yang lebih banyak.
(mhy)