Nabi Muhammad SAW Meluruskan Praktik Ibadah Haji sesuai yang Diajarkan Nabi Ibrahim
loading...
A
A
A
Prof Dr Quraish Shihab mengatakan ibadah haji dikumandangkan Nabi Ibrahim as sekitar 3600 tahun lalu. Sesudah masa beliau, praktik-praktiknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, namun kemudian diluruskan kembali oleh Muhammad SAW .
"Salah satu hal yang diluruskan itu, adalah praktik ritual yang bertentangan dengan penghayatan nilai universal kemanusiaan haji," tulis Quraish Shihab dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Al-Qur'an Surah al-Baqarah ayat 199, menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama al-Hummas) yang merasa diri memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang orang banyak di Arafah . Pemisahan diri yang dilatarbelakangi perasaan superioritas dicegah oleh al-Qur'an dan turunlah ayat tersebut. "Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tak jelas apakah praktik bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari ajaran Ibrahim dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan. Namun yang pasti Nabi SAW membatalkannya, bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf .
Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khotbah Nabi SAW pada haji wada' (haji perpisahan) yang intinya menekankan: Persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
Kemanusiaan
Quraish mengatakan makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar-perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekadar persamaan tersebut.
Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya.
Bermula dari kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan.
Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna tersebut,kata Quraish Shihab, dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
"Salah satu hal yang diluruskan itu, adalah praktik ritual yang bertentangan dengan penghayatan nilai universal kemanusiaan haji," tulis Quraish Shihab dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Al-Qur'an Surah al-Baqarah ayat 199, menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama al-Hummas) yang merasa diri memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wuquf.
Mereka wukuf di Mudzdalifah sedang orang banyak di Arafah . Pemisahan diri yang dilatarbelakangi perasaan superioritas dicegah oleh al-Qur'an dan turunlah ayat tersebut. "Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Tak jelas apakah praktik bergandengan tangan saat melaksanakan thawaf pada awal periode sejarah Islam, bersumber dari ajaran Ibrahim dalam rangka mempererat persaudaraan dan rasa persamaan. Namun yang pasti Nabi SAW membatalkannya, bukan dengan tujuan membatalkan persaudaraan dan persamaan itu, tapi karena alasan-alasan praktis pelaksanaan thawaf .
Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah isi khotbah Nabi SAW pada haji wada' (haji perpisahan) yang intinya menekankan: Persamaan; keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
Kemanusiaan
Quraish mengatakan makna kemanusiaan dan pengalaman nilai-nilainya tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar-perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekadar persamaan tersebut.
Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya.
Bermula dari kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini.
Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain mencapai tujuan penciptaan.
Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah makhluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir.
Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna tersebut,kata Quraish Shihab, dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non-ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan universal.
(mhy)