Tradisi Bubur Asyura: Benarkah Diilhami Nabi Nuh saat Turun dari Kapal?
loading...
A
A
A
Di beberapa tempat di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan , ada tradisi membuat “bubur Asyura ”. Dalam praktiknya ada yang dilakukan oleh sebagian keluarga tertentu dan ada pula yang dilakukan secara kolektif oleh warga masyarakat. Biasanya para ibu-ibu yang sibuk memasak sementara kerabat dekat dan para tetangga pun ikut membantu.
Ketika bubur sudah masak dan siap dihidangkan, kaum pria tetangga dan kerabat dekatpun berkumpul di rumah atau tempat khusus seraya membacakan doa selamat. Bubur juga dibagi-bagikan kepada tetangga dekat.
Konon ceritanya, pada hari Asyura itulah (seperti yang termaktub dalam I’anah al-Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia ( kiamat ).
Pada hari itu pula Allah mencipta Lauh Mahfuzh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari Asyura itu Allah mengangkat Nabi Isa as ke atas langit, dan pada hari itulah Nabi Nuh as turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as bertanya kepada pada umatnya "masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?" kemudian mereka menjawab "masih ya Nabi" Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur Asyura.
Alfani Daud dalam bukunya berjudul "Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar(Jakarta: Rajawali Press, 1997) mengatakan bubur Asyura terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan dicampur dengan berbagai macam sayur-sayuran.
Pembuatan bubur ini konon merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dahulu, ketika dalam suasana terkepung dan kekurangan makanan, dikumpulkan segala macam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di sekitarnya dan dicampur dengan persediaan bahan makanan yang ada menjadi bubur Asyura yang bisa dimakan.
Sedangkan Snouck Hurgronje dalam "Mekka in the Latter Part of the 19th Century: Daily Life, Customs and Learning"(Leiden: Late E.J. Brill Ltd, 1931) mengaitkannya dengan peristiwa yang menimpa Husain dan rombongannya di Karbala.
Prof. Dr. H. Ahmad Khairuddin, M.Ag dalam karya tulisnya berjudul "Asyura: Antara Doktrin, Historis dan Antropologis Perspektif Dakwah Pencerahan" berpendapat secara normatif, akar historis dari asal-usul tradisi bubur Asyura memang diperdebatkan validitasnya. Bahkan hal tersebut sama sekali tidak populer di kalangan ahli hadis maupun para imam mazhab terdahulu.
Dalam konteks kearifan lokal, tradisi ini dianggap banyak mengandung nilai-nilai moral dan budaya. Sejumlah masyarakat menjadikan momen tersebut sebagai sarana bersilaturahim, bergotong-royong, saling berbagi dan memberi makan. Meskipun demikian, praktik tersebut harus tetap dibersihkan dari keyakinan-keyakinan di luar Islam maupun menjadikannya sebagai bagian dari syariat agama secara khusus. Tradisi bubur Asyura hendaknya tidak menggeser tuntunan Rasul saw. untuk melaksanakan puasa Sunnah di hari tersebut. Hal yang sangat disayangkan apabila masyarakat yang sangat antusias melestarikan tradisi meninggalkan Rasulullah SAW .
Ketika bubur sudah masak dan siap dihidangkan, kaum pria tetangga dan kerabat dekatpun berkumpul di rumah atau tempat khusus seraya membacakan doa selamat. Bubur juga dibagi-bagikan kepada tetangga dekat.
Konon ceritanya, pada hari Asyura itulah (seperti yang termaktub dalam I’anah al-Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia ( kiamat ).
Pada hari itu pula Allah mencipta Lauh Mahfuzh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari Asyura itu Allah mengangkat Nabi Isa as ke atas langit, dan pada hari itulah Nabi Nuh as turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as bertanya kepada pada umatnya "masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?" kemudian mereka menjawab "masih ya Nabi" Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur Asyura.
Alfani Daud dalam bukunya berjudul "Islam dan Masyarakat Banjar; Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar(Jakarta: Rajawali Press, 1997) mengatakan bubur Asyura terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan dicampur dengan berbagai macam sayur-sayuran.
Pembuatan bubur ini konon merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa pada zaman dahulu, ketika dalam suasana terkepung dan kekurangan makanan, dikumpulkan segala macam tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di sekitarnya dan dicampur dengan persediaan bahan makanan yang ada menjadi bubur Asyura yang bisa dimakan.
Sedangkan Snouck Hurgronje dalam "Mekka in the Latter Part of the 19th Century: Daily Life, Customs and Learning"(Leiden: Late E.J. Brill Ltd, 1931) mengaitkannya dengan peristiwa yang menimpa Husain dan rombongannya di Karbala.
Prof. Dr. H. Ahmad Khairuddin, M.Ag dalam karya tulisnya berjudul "Asyura: Antara Doktrin, Historis dan Antropologis Perspektif Dakwah Pencerahan" berpendapat secara normatif, akar historis dari asal-usul tradisi bubur Asyura memang diperdebatkan validitasnya. Bahkan hal tersebut sama sekali tidak populer di kalangan ahli hadis maupun para imam mazhab terdahulu.
Dalam konteks kearifan lokal, tradisi ini dianggap banyak mengandung nilai-nilai moral dan budaya. Sejumlah masyarakat menjadikan momen tersebut sebagai sarana bersilaturahim, bergotong-royong, saling berbagi dan memberi makan. Meskipun demikian, praktik tersebut harus tetap dibersihkan dari keyakinan-keyakinan di luar Islam maupun menjadikannya sebagai bagian dari syariat agama secara khusus. Tradisi bubur Asyura hendaknya tidak menggeser tuntunan Rasul saw. untuk melaksanakan puasa Sunnah di hari tersebut. Hal yang sangat disayangkan apabila masyarakat yang sangat antusias melestarikan tradisi meninggalkan Rasulullah SAW .
(mhy)