Atlet Perempuan Prancis Dilarang Berjilbab di Olimpiade Paris, Begini Pendapat Ulama tentang Jilbab
loading...
A
A
A
Pelarangan pemakaian jilbab kembali terjadi, saat atlet perempuan Prancis berlaga di Olimpiade Paris nanti. Bagaimana sebenarnya syariat jilbab ini serta apa saja batasan aurat kaum wanita tersebut?
Dalam Islam, setiap wanita muslimah yang sudah baligh diwajibkan untuk menutup seluruh auratnya. Kesadaran akan kewajiban menutup aurat inipun sudah berkembang. Kemudian nama hijab atau jilbab, menjadi busana muslimah yang sesuai tentu saja harus sesuai kaidah dan syariat . Sehingga tidak ada alasan bagi muslimah untuk tidak mengenakan penutup aurat ini secara syar’i.
Dalam Syarh Muslim, Imam An Nawawi menyebutkan ada 11 pendapat mengenai makna jilbab . Penjelasan an Nawawi ini lantas dikutip oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Berikut penjelasannya:
Pendapat pertama, An Nadhr bin Syumail menyebutkan bahwa jilbab adalah kain yang lebih pendek dan lebih lebar dari pada khimar (kerudung). Inilah pendapat yang dipilih oleh Zamakhsyari. Dalam al Kasysyaf Zamakhsyari mengatakan bahwa jilbab adalah kain longgar yang lebih besar dari pada khimar namun lebih kecil jika dibandingkan dengan rida’ (rida’ adalah kain atasan yang pakai oleh laki-laki yang sedang dalam kondisi ihram, pent) yang dililitkan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepalanya lalu sisanya dijulurkan untuk menutupi dada.
Pendapat kedua, jilbab adalah miqna’ah atau tutup kepala yang digunakan seorang perempuan untuk menutupi kepalanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Said bin Jubair.
Pendapat ketiga, jilbab adalah kain longgar yang lebih kecil jika dibandingkan dengan rida yang digunakan untuk menutupi dada dan punggung. Inilah pendapat yang dipilih oleh as Sindi dalam Hasyiyah Ibnu Majah.
As Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada dan punggung ketika keluar rumah”. Pendapat ini dipilih oleh al Aini dalam Syarah al Bukhari. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah khimar atau kerudung longgar seperti milhafah yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi kepala dan dada”.
Pendapat keempat, jilbab adalah mala-ah (semisal jas hujan yang menutupi dari kepala sampai kaki). Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Rajab. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah mala-ah yang menutupi seluruh badan yang dipakai setelah memakai pakaian rumahkan. Orang awam [di zaman beliau, ent] menyebutnya izar. Itulah makna jilbab yang Allah maksudkan dalam firman-Nya, “Mereka menjulurkan jilbab mereka”. Pendapat ini juga dipilih oleh al Baghawi dalam tafsirnya dan al Albani.
Pendapat kelima, jilbab adalah milhafah. Inilah pendapat yang dipilih oleh al Jauhari sebagaimana nukilan Ibnu Katsir.
Pendapat keenam, jilbab adalah izar [lihat pendapat keempat]. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Arabi sebagaimana yang disebutkan dalam hasyiyah al ‘Adawi al Maliki.
Pendapat ketujuh, jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung. Adanya pendapat semacam ini disebutkan oleh an Nawawi, Ibnu Hajar dll.
Pendapat kedelapan, jilbab adalah rida’ yang dikenakan setelah mengenakan khimar atau kerudung. Demikian pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, al Hasan al Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim an Nakhai, Atha al Khurasani dll. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.
Pendapat kesembilan, jilbab adalah segala kain yang dikenakan oleh seorang perempuan setelah mengenakan pakaian rumahan. Demikian perkataan Abu Hayyan dalam al Bahr.
Pendapat kesepuluh, jilbab adalah kain atau yang lainnya yang dipakai oleh seorang perempuan untuk menutupi tubuhnya. Al Baqa’i dalam tafsirnya menukil perkataan Hamzah al Karmani yang menukil perkataan al Khalil. Al Khalik mengatakan, “Semua pakaian yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi badannya baik pakaian dalam, pakaian luar ataupun pakaian tambahan adalah jilbab”.
Pendapat kesebelas, jilbab adalah qamis [long dress]. Pendapat ini menurut al Mula ‘Ali al Qari dalam Syarh al Misykah adalah pendapat al Abari. Pendapat ini juga disebutkan oleh al Baqa’i dalam tafsirnya.
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala maka makna idna’ jilbab adalah menutupi wajah dan leher dengan kain penutup kepala tersebut.
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah kain yang menutupi pakaian rumahan maka makna idna’ jilbab adalah memanjangkan dan melonggarkan kain tersebut sehingga menutupi seluruh badan plus kain rumahan yang telah dikenakan terlebih dahulu.
al Mula ‘Ali al Qari mengatakan bahwa sebagian pendapat dalam masalah ini mirip-mirip dengan pendapat yang lain.
Pendapat yang lebih kuat, semua kain yang dipergunakan oleh perempuan untuk menutupi kepala, leher dan punggung (sehingga panjangnya adalah sampai pantat) adalah jilbab karena dua pertimbangan:
Pertama, Umar memukuli budak-budak perempuan yang memakai penutup kepala.
Kedua, karena Allah berfirman (yang artinya), “Mereka menjulurkan sebagian jilbab mereka”. Min dalam ayat di atas bermakna sebagian.
az Zamakhsyari menyebutkan bahwa ‘sebagian’ di sini mengandung dua kemungkinan makna. Yakni, pertama, perempuan berjilbab dengan sebagian jilbab mereka dengan pengertian wanita merdeka tidaklah hanya mengenakan long dress dan kerudung sebagaimana budak perempuan yang melakukan berbagai pekerjaan rumah. Wanita merdeka hendaknya memakai dua jilbab.
Kemudian yang kedua, perempuan menjulurkan sebagian dan sisa kain jilbabnya pada wajah sehingga wajah tertutup kain. Dengan ini wanita merdeka nampak berbeda dengan budak perempuan.
Jika kita berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat maka kemungkinan makna yang paling mendekati untuk pengertian ‘sebagian’ di sini adalah kemungkinan makna yang pertama.
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat maka seorang wanita ketika keluar rumah boleh menampakkan bagian atau ujung bawah dari pakaian rumahan yang dia kenakan.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud dengan ’kecuali yang nampak’ rida’ [baca: kain penutup kepala yang lebar] dan pakaian rumahan. Maksudnya sebagaimana kebiasaan wanita arab masa silam yang memakai kain penutup kepala yang lebar menutupi pakaian rumahan yang telah terlebih dahulu dikenakan. Dalam kondisi demikian, terlihatnya ujung bawah pakaian rumahan tidaklah mengapa karena hal tersebut tidak mungkin disembunyikan.
Semisal dengan ujung bawah pakaian rumahan adalah izar [kain yang menutupi tubuh bagian bawah] dan pakaian perempuan yang lain yang tidak mungkin disembunyikan.
Wallahu A'lam
Dalam Islam, setiap wanita muslimah yang sudah baligh diwajibkan untuk menutup seluruh auratnya. Kesadaran akan kewajiban menutup aurat inipun sudah berkembang. Kemudian nama hijab atau jilbab, menjadi busana muslimah yang sesuai tentu saja harus sesuai kaidah dan syariat . Sehingga tidak ada alasan bagi muslimah untuk tidak mengenakan penutup aurat ini secara syar’i.
Dalam Syarh Muslim, Imam An Nawawi menyebutkan ada 11 pendapat mengenai makna jilbab . Penjelasan an Nawawi ini lantas dikutip oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Berikut penjelasannya:
Pendapat pertama, An Nadhr bin Syumail menyebutkan bahwa jilbab adalah kain yang lebih pendek dan lebih lebar dari pada khimar (kerudung). Inilah pendapat yang dipilih oleh Zamakhsyari. Dalam al Kasysyaf Zamakhsyari mengatakan bahwa jilbab adalah kain longgar yang lebih besar dari pada khimar namun lebih kecil jika dibandingkan dengan rida’ (rida’ adalah kain atasan yang pakai oleh laki-laki yang sedang dalam kondisi ihram, pent) yang dililitkan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepalanya lalu sisanya dijulurkan untuk menutupi dada.
Pendapat kedua, jilbab adalah miqna’ah atau tutup kepala yang digunakan seorang perempuan untuk menutupi kepalanya. Inilah pendapat yang dipilih oleh Said bin Jubair.
Pendapat ketiga, jilbab adalah kain longgar yang lebih kecil jika dibandingkan dengan rida yang digunakan untuk menutupi dada dan punggung. Inilah pendapat yang dipilih oleh as Sindi dalam Hasyiyah Ibnu Majah.
As Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada dan punggung ketika keluar rumah”. Pendapat ini dipilih oleh al Aini dalam Syarah al Bukhari. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah khimar atau kerudung longgar seperti milhafah yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi kepala dan dada”.
Pendapat keempat, jilbab adalah mala-ah (semisal jas hujan yang menutupi dari kepala sampai kaki). Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Rajab. Beliau mengatakan, “Jilbab adalah mala-ah yang menutupi seluruh badan yang dipakai setelah memakai pakaian rumahkan. Orang awam [di zaman beliau, ent] menyebutnya izar. Itulah makna jilbab yang Allah maksudkan dalam firman-Nya, “Mereka menjulurkan jilbab mereka”. Pendapat ini juga dipilih oleh al Baghawi dalam tafsirnya dan al Albani.
Pendapat kelima, jilbab adalah milhafah. Inilah pendapat yang dipilih oleh al Jauhari sebagaimana nukilan Ibnu Katsir.
Pendapat keenam, jilbab adalah izar [lihat pendapat keempat]. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Arabi sebagaimana yang disebutkan dalam hasyiyah al ‘Adawi al Maliki.
Pendapat ketujuh, jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung. Adanya pendapat semacam ini disebutkan oleh an Nawawi, Ibnu Hajar dll.
Pendapat kedelapan, jilbab adalah rida’ yang dikenakan setelah mengenakan khimar atau kerudung. Demikian pendapat Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, al Hasan al Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim an Nakhai, Atha al Khurasani dll. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.
Pendapat kesembilan, jilbab adalah segala kain yang dikenakan oleh seorang perempuan setelah mengenakan pakaian rumahan. Demikian perkataan Abu Hayyan dalam al Bahr.
Pendapat kesepuluh, jilbab adalah kain atau yang lainnya yang dipakai oleh seorang perempuan untuk menutupi tubuhnya. Al Baqa’i dalam tafsirnya menukil perkataan Hamzah al Karmani yang menukil perkataan al Khalil. Al Khalik mengatakan, “Semua pakaian yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi badannya baik pakaian dalam, pakaian luar ataupun pakaian tambahan adalah jilbab”.
Pendapat kesebelas, jilbab adalah qamis [long dress]. Pendapat ini menurut al Mula ‘Ali al Qari dalam Syarh al Misykah adalah pendapat al Abari. Pendapat ini juga disebutkan oleh al Baqa’i dalam tafsirnya.
Konsekuensi dari Adanya Perbedaan Pendapat
Al Baqa’I menyebutkan konsekuensi dari berbagai pendapat di atas dengan mengatakan, “Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah qamis [long dress] perintah Allah untuk idna’ jilbab maknanya adalah memakai long dress hingga menutupi kedua tangan dan kedua kaki.Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah penutup kepala maka makna idna’ jilbab adalah menutupi wajah dan leher dengan kain penutup kepala tersebut.
Jika yang dimaksud dengan jilbab adalah kain yang menutupi pakaian rumahan maka makna idna’ jilbab adalah memanjangkan dan melonggarkan kain tersebut sehingga menutupi seluruh badan plus kain rumahan yang telah dikenakan terlebih dahulu.
al Mula ‘Ali al Qari mengatakan bahwa sebagian pendapat dalam masalah ini mirip-mirip dengan pendapat yang lain.
Pendapat yang lebih kuat, semua kain yang dipergunakan oleh perempuan untuk menutupi kepala, leher dan punggung (sehingga panjangnya adalah sampai pantat) adalah jilbab karena dua pertimbangan:
ولذلك كان عمر يضرب الإماء بالدرة إذا غطت رأسها وقعنته ،
Pertama, Umar memukuli budak-budak perempuan yang memakai penutup kepala.
ولأن الله عز وجل قال ({ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جلابيبهن } فمن هنا للتبعيض قاله الزمخشري و أبو حيان
Kedua, karena Allah berfirman (yang artinya), “Mereka menjulurkan sebagian jilbab mereka”. Min dalam ayat di atas bermakna sebagian.
az Zamakhsyari menyebutkan bahwa ‘sebagian’ di sini mengandung dua kemungkinan makna. Yakni, pertama, perempuan berjilbab dengan sebagian jilbab mereka dengan pengertian wanita merdeka tidaklah hanya mengenakan long dress dan kerudung sebagaimana budak perempuan yang melakukan berbagai pekerjaan rumah. Wanita merdeka hendaknya memakai dua jilbab.
Kemudian yang kedua, perempuan menjulurkan sebagian dan sisa kain jilbabnya pada wajah sehingga wajah tertutup kain. Dengan ini wanita merdeka nampak berbeda dengan budak perempuan.
قلت : والراجح هو الاحتمال الأول ، لأن الوجه ليس بعورة على الصحيح والله أعلم
Jika kita berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat maka kemungkinan makna yang paling mendekati untuk pengertian ‘sebagian’ di sini adalah kemungkinan makna yang pertama.
وأما من قال أن الوجه عورة . فلها أن تظهر أسافل ثيابها
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat maka seorang wanita ketika keluar rumah boleh menampakkan bagian atau ujung bawah dari pakaian rumahan yang dia kenakan.
قال ابن كثير : قال ابن مسعود: كالرداء والثياب. يعني: على ما كان يتعاناه نساء العرب، من المِقْنعة التي تُجَلِّل ثيابها، وما يبدو من أسافل الثياب فلا حرج عليها فيه؛ لأن هذا لا يمكن إخفاؤه
Ibnu Katsir mengatakan bahwa menurut Ibnu Mas’ud yang dimaksud dengan ’kecuali yang nampak’ rida’ [baca: kain penutup kepala yang lebar] dan pakaian rumahan. Maksudnya sebagaimana kebiasaan wanita arab masa silam yang memakai kain penutup kepala yang lebar menutupi pakaian rumahan yang telah terlebih dahulu dikenakan. Dalam kondisi demikian, terlihatnya ujung bawah pakaian rumahan tidaklah mengapa karena hal tersebut tidak mungkin disembunyikan.
Semisal dengan ujung bawah pakaian rumahan adalah izar [kain yang menutupi tubuh bagian bawah] dan pakaian perempuan yang lain yang tidak mungkin disembunyikan.
Wallahu A'lam
(wid)