Bagaimana Jika Bayi Meninggal dalam Kandungan Menurut Islam?

Senin, 22 Juli 2024 - 18:07 WIB
loading...
Bagaimana Jika Bayi...
Bayi yang meninggal dalam kandungan telah menjadi sorotan para ulama fiqih, khususnya para ulama Syafi‘iyyah, karena ada beberapa aturan khusus berkenaan dengan proses kematiannya. Foto ilustrasi/istimewa
A A A
Bagaimana jika bayi meninggal dalam kandungan menurut Islam? Adakah kewajiban orang hidup terhadapnya dan bagaimana pula hukumnya?

Seperti diketahui, setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan kematian tak terkecuali seorang bayi atau janin yang masih ada dalam kandungan. Kematian adalah sebuah peristiwa berpisahnya ruh dengan jasad. Kedatangannya begitu mengejutkan serta tak memandang sosok dan usia. Ajal bisa datang kapan saja.

Lantas bagaimana pula jika yang meninggal dunia adalah seorang bayi yang masih dalam kandungan? Tentang hal ini, telah menjadi sorotan para ulama fiqih, khususnya para ulama Syafi‘iyyah .

Menurut pendapat Syekh Zainuddil al-Malaibari dalam kitabnya, Fath al-Mu‘in (Terbitan Dar Ihya al-Kutub al-‘Araiyyah, hal. 46), ia mengungkapkan:

ووري أي ستر بخرقة سقط ودفن وجوبا كطفل كافر نطق بالشهادتين. ولا يجب غسلهما بل يجوز. وخرج بالسقط العلقة والمضغة فيدفنان ندبا من غير ستر ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل وكفن ودفن وجوبا. فإن اختلج أو استهل بعد انفصاله صلي عليه وجوبا


Artinya, “Dan harus dibungkus—maksudnya ditutup—dengan kain serta wajib dikubur mayat janin yang lahir keguguran. Sama halnya dengan mayat anak kecil kafir yang mengucap dua kalimat syahadat. Namun, mayat janin keguguran dan anak kecil kafir itu tidak wajib dimandikan, hanya saja boleh jika mau dimandikan. Dikecualikan dari janin yang keguguran adalah gumpalan darah atau gumpalan daging (calon janin) yang keguguran. Maka keduanya sunnah dikuburkan tanpa harus dibungkus. Namun, bila janin yang keguguran itu telah berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan. Berbeda halnya jika setelah keluar sang janin bergerak atau bersuara, maka ia wajib disalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).”

Dalam kitab yang sama, Fath al-Mu‘in (Terbitan Daru Ihya al-Kutu al-‘Araiyyah, hal. 46), Syekh Zainuddin al-Malaibari menjelaskan perihal wanita yang meninggal dalam keadaan mengandung.

ولا تدفن امرأة ماتت في بطنها جنين حتى يتحقق موته أي الجنين ويجب شق جوفها والنبش له إن رجي حياته بقول القوابل لبلوغه ستة أشهر فأكثر فإن لم يرج حياته حرم الشق لكن يؤخر الدفن حتى يموت


Artinya, “Tidaklah dikebumikan jenazah wanita yang di dalam perutnya masih ada janin, sampai janin itu benar-benar meninggal. Bahkan, wajib membedah perutnya dan menggali kuburannya (jika telah dikuburkan) tatkala sang janin dalam perutnya diharapkan bisa hidup menurut pendapat para dukun bayi/bidan ahli karena telah berusia enam bulan atau lebih. Namun, jika sang janin tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya, sehingga tunggulah proses penguburannya sampai si janin benar-benar meninggal.”

Dari pendapat ulama di atas, seperti dikutip dari laman NU online, dijelaskan sebagai berikut:

1. Janin yang keguguran dan masih berupa gumpalan darah dan gumpalan daging, sunnah dikuburkan, tidak wajib dibungkus, tidak wajib dimandikan, tidak wajib disalatkan.

2. Jika sang janin yang keguguran sebelumnya tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat ada tanda-tanda kehidupan, tidak pula tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, maka ia tidak wajib dimandikan dan tidak wajib disalatkan. Namun, sunnah dibungkus dengan kain dan wajib dikuburkan.

3. Jika sang janin yang keguguran tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, terlebih usianya di atas empat bulan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, namun tidak wajib disalatkan.

4. Jika janin yang keguguran sebelumnya terlihat hidup, tampak pula tanda-tanda kehidupannya, seperti menangis, bergerak, menjerit, menggigil, dan sebagainya, sesaat setelah dilahirkan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dikuburkan, layaknya orang dewasa, walaupun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi dalam Nihayah al-Zain (Terbitan Dar al-Fikr, Beirut, Cet. Pertama, hal. 156).

(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2827 seconds (0.1#10.140)