Tanpa Lelaki, Perempuan Tidak Akan Ada? Begini Penjelasan Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan, 2007) menyebutkan salah satu ayat yang dapat diangkat tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13.
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa."
Menurut Quraish, ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa:
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Oleh karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa , ayat 1:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis."
Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama adalah pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan diciptakan dari Adam sendiri.
Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada.
Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus)."
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa."
Menurut Quraish, ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa:
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Oleh karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa , ayat 1:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis."
Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama adalah pendapat mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan diciptakan dari Adam sendiri.
Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada.
Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus)."
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).