Kisah Preman Pasar Ukaz Umar bin Khattab Masuk Islam
loading...
A
A
A
Umar bin Khattab sebelum masuk Islam adalah preman pasar, tepatnya di Pasar Ukaz. Di sini para penyair beradu kebolehannya. Di pasar ini pula rutin diselenggarakan adu gulat. Umar bin Khattab adalah salah satu pegulat itu.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" mengisahkan kesibukan di Pasar Ukaz pada suatu hari.
Di antara kerumunan orang banyak itu ada seorang pemuda di bawah umur dua puluh tahun - bertubuh kekar, besar dan tingginya melebihi semua orang yang hadir, putih kemerah-merahan dan agak kecoklatan. Kala itu, ia ikut mendengarkan pembacaan puisi.
Ia mengikutinya dengan tekun disertai rasa kagum dan sebentar-sebentar menganggukkan kepala, menunjukkan kegembiraannya dan seleranya yang tinggi atas segala yang didengarnya itu.
Akan tetapi dia tidak ikut berteriak, sebab kebanggaan sang penyair atas kabilahnya itu dan tantangannya kepada kabilah lain tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Dia tidak termasuk salah satu kabilah itu. Bahkan keduanya mungkin jauh dari tempatnya. Karenanya ia tak akan dapat menikmati sajak-sajak yang telah didengarnya itu.
Selesai para penyair membacakan sajak-sajaknya ia memasang telinga mendengarkan apa yang akan dikatakan orang bijak itu. Setelah dipastikan mereka cenderung berdamai ia mendahului teman-temannya yang lain pergi melangkah cepat-cepat. Tidak biasa ia berjalan perlahan, langkahnya yang lebar dan cepat tidak mudah dapat diikuti oleh yang lain.
Teman-temannya mau mengajaknya mengobrol kalau-kalau dengan demikian ia dapat menahan cara melangkahnya yang lebar itu. Pembicaraan yang pada mulanya tenang-tenang saja berubah menjadi perdebatan yang panas.
Pemuda itu berhenti melangkah, matanya yang sudah berubah merah menandakan kemarahannya mulai menyala. Ia memilin-milin kumisnya yang sudah tumbuh lebat seraya berkata:
"Kalian mau menakut-nakuti aku dengan anak muda itu! Aku bukan anak Khattab kalau tidak mengajaknya bergulat begitu aku bertemu dia!"
Ia melangkah lebih lagi cepat-cepat, sehingga teman-temannya di belakangnya agak berlari.
Begitu sampai di gelanggang adu gulat yang diadakan di samping Pasar Ukaz, dilihatnya pemuda-pemuda yang tegap-tegap sudah berkerumun, menyaksikan salah seorang dari mereka sedang merundukkan badannya di dada lawannya yang sudah dibuatnya tergeletak di tanah.
Tatkala orang banyak melihat Umar bin Khattab datang menuju ke tempat mereka cepat-cepat mereka memberi jalan. Kedua pegulat itu bergabung dengan para penonton.
Mereka yakin kedatangan Umar bukan untuk menonton tetapi datang hendak bergulat. Masih dengan sikapnya yang marah Umar memutar matanya kepada para penonton.
Setelah dilihatnya pemuda yang tadi sedang berbicara dengan kawan-kawannya, dipanggilnya untuk diajak bertanding. Pemuda itu tersenyum sambil melangkah ke tengah-tengah gelanggang, penuh percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya.
Sebelumnya ia tak pernah bertarung dengan Umar. Baru pertama kali ini ia datang ke Ukaz bersama kabilahnya.
Sejak kedatangannya itu ia tak pernah dikalahkan, sehingga setiap lawan harus benar-benar memperhitungkan. Perawakannya hampir sama dengan perawakan Umar, tinggi dan besar. Umar yang sudah siap beradu kekuatan melangkah maju.
Pemuda badui itu berusaha hendak mematahkan Umar, dan sudah memperlihatkan berbagai macam kepandaiannya dalam bertarung, sehingga jumlah penonton yang berdatangan makin banyak, suatu jumlah yang tak pernah ada sebelumnya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" mengisahkan kesibukan di Pasar Ukaz pada suatu hari.
Di antara kerumunan orang banyak itu ada seorang pemuda di bawah umur dua puluh tahun - bertubuh kekar, besar dan tingginya melebihi semua orang yang hadir, putih kemerah-merahan dan agak kecoklatan. Kala itu, ia ikut mendengarkan pembacaan puisi.
Ia mengikutinya dengan tekun disertai rasa kagum dan sebentar-sebentar menganggukkan kepala, menunjukkan kegembiraannya dan seleranya yang tinggi atas segala yang didengarnya itu.
Akan tetapi dia tidak ikut berteriak, sebab kebanggaan sang penyair atas kabilahnya itu dan tantangannya kepada kabilah lain tak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Dia tidak termasuk salah satu kabilah itu. Bahkan keduanya mungkin jauh dari tempatnya. Karenanya ia tak akan dapat menikmati sajak-sajak yang telah didengarnya itu.
Selesai para penyair membacakan sajak-sajaknya ia memasang telinga mendengarkan apa yang akan dikatakan orang bijak itu. Setelah dipastikan mereka cenderung berdamai ia mendahului teman-temannya yang lain pergi melangkah cepat-cepat. Tidak biasa ia berjalan perlahan, langkahnya yang lebar dan cepat tidak mudah dapat diikuti oleh yang lain.
Teman-temannya mau mengajaknya mengobrol kalau-kalau dengan demikian ia dapat menahan cara melangkahnya yang lebar itu. Pembicaraan yang pada mulanya tenang-tenang saja berubah menjadi perdebatan yang panas.
Pemuda itu berhenti melangkah, matanya yang sudah berubah merah menandakan kemarahannya mulai menyala. Ia memilin-milin kumisnya yang sudah tumbuh lebat seraya berkata:
"Kalian mau menakut-nakuti aku dengan anak muda itu! Aku bukan anak Khattab kalau tidak mengajaknya bergulat begitu aku bertemu dia!"
Ia melangkah lebih lagi cepat-cepat, sehingga teman-temannya di belakangnya agak berlari.
Begitu sampai di gelanggang adu gulat yang diadakan di samping Pasar Ukaz, dilihatnya pemuda-pemuda yang tegap-tegap sudah berkerumun, menyaksikan salah seorang dari mereka sedang merundukkan badannya di dada lawannya yang sudah dibuatnya tergeletak di tanah.
Tatkala orang banyak melihat Umar bin Khattab datang menuju ke tempat mereka cepat-cepat mereka memberi jalan. Kedua pegulat itu bergabung dengan para penonton.
Mereka yakin kedatangan Umar bukan untuk menonton tetapi datang hendak bergulat. Masih dengan sikapnya yang marah Umar memutar matanya kepada para penonton.
Setelah dilihatnya pemuda yang tadi sedang berbicara dengan kawan-kawannya, dipanggilnya untuk diajak bertanding. Pemuda itu tersenyum sambil melangkah ke tengah-tengah gelanggang, penuh percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya.
Sebelumnya ia tak pernah bertarung dengan Umar. Baru pertama kali ini ia datang ke Ukaz bersama kabilahnya.
Sejak kedatangannya itu ia tak pernah dikalahkan, sehingga setiap lawan harus benar-benar memperhitungkan. Perawakannya hampir sama dengan perawakan Umar, tinggi dan besar. Umar yang sudah siap beradu kekuatan melangkah maju.
Pemuda badui itu berusaha hendak mematahkan Umar, dan sudah memperlihatkan berbagai macam kepandaiannya dalam bertarung, sehingga jumlah penonton yang berdatangan makin banyak, suatu jumlah yang tak pernah ada sebelumnya.