Gereja Saint Porphyrius, Ribuan Tahun Saksi Kedekatan Islam dan Kristen Hancur Dibom Israel
loading...
A
A
A
Gereja Saint Porphyrius , salah satu gereja tertua di Gaza yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi bagi umat Kristen dan Muslim, adalah salah satu contoh tindakan kejam pengeboman Israel terhadap berbagai umat. Pengeboman ini terjadi pada 19 Oktober 2023, yang menewaskan setidaknya 18 warga Palestina dan melukai setidaknya 450 orang lainnya dari berbagai latar belakang, termasuk warga Kristen dan Muslim.
Serangan tersebut terjadi sekitar pukul 19.30, saat banyak orang berkumpul untuk makan malam dan berbagi kisah dalam suasana damai. Ledakan yang kuat merobohkan salah satu bangunan dalam kompleks gereja dan mengakibatkan keruntuhan yang menimpa mereka yang berada di dalam. Serangan terhadap gereja ini menjadi simbol bahwa tindakan kezaliman Israel menyerang berbagai umat di wilayah Gaza .
Setelah kematian Sang Uskup Porphyry pada tahun 420, umat Kristen di Mediterania timur menghadapi perpecahan teologis, terutama setelah Konsili Chalcedon pada tahun 451. Secara singkat, adapun umat Kristen “miaphysite” yang menolak keputusan-keputusan konsili, sementara mayoritas umat Kristen di Mediterania timur tetap terikat pada gereja imperialis Roma dan Konstantinopel, yang kemudian terpecah menjadi Katolik Roma dan Ortodoksi Timur.
Setelah wafatnya Uskup Porphyry pada tahun 420, umat Kristen di Mediterania timur, termasuk Palestina Romawi, mengalami perpecahan akibat konflik pemahaman agama atau teologis. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada tahun 451 di Konsili Chalcedon, yang diadakan oleh kaisar Romawi, yang mendefinisikan Yesus Kristus sebagai dua hakikat yakni manusia dan Ilahi. Namun banyak umat Kristen di Mesir, Suriah, dan Mesopotamia menolak keputusan ini. Mereka percaya bahwa Yesus memiliki satu hakikat yang bersifat gabungan manusia dan ilahi secara sekaligus.
Ratusan tahun kemudian, setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 Masehi, para pengikut Nabi Muhammad yang mulai mengatur pemerintahan di Palestina, menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa utama di wilayah tersebut. Dan yang pada akhirnya, bahasa Arab juga menjadi bahasa utama yang digunakan umat Kristen di Palestina selama lebih dari seribu tahun.
Ketika Perang Salib mulai memanas pada abad ke-10, umat Kristiani Eropa melalui Tentara Salib, melakukan ekspansi ke Timur Tengah dan mencoba untuk mengambil Tanah Suci dari tangan umat Muslim di Palestina. Meskipun demikian, umat Kristen dan umat Muslim di Palestina tetap menjaga solidaritas yang telah mereka tumbuh selama ratusan tahun pada saat itu, terutama ketika Tentara Salib mulai memasuki Yerusalem pada tahun 1099.
Sepanjang sejarah, hubungan umat Kristen dan umat Muslim di Gaza menunjukkan solidaritas dan kedalaman interaksi yang telah terjalin selama berabad-abad. Keduanya tidak hanya berbagi wilayah, tetapi juga sejarah yang saling terkait, menciptakan lapisan kerjasama, pengertian, dan kehadiran bersama yang mengakar dalam budaya dan sejarah masyarakat di Palestina selama ribuan tahun hingga saat ini.
Serangan Israel yang terjadi atas Gereja Saint Porphyrius ini, lagi-lagi menjadi gambaran kekejian tindakan Israel bagi segala umat di Palestina. Meskipun Gereja ini telah menjadi korban serangan udara dan pengeboman Israel sebelumnya, namun serangan yang terjadi pada tahun 2023 yang lalu menimbulkan kehancuran yang jauh lebih parah. Sebanyak 450 pengungsi terluka-luka, dan setidaknya 18 warga, termasuk anak-anak, telah tewas akibat serangan Israel ini.
Setelah serangan, video dan gambar yang beredar di media sosial menunjukkan penyelamat yang bekerja keras menggali reruntuhan, berusaha menyelamatkan mereka yang terjebak di bawah puing-puing. Laporan menunjukkan bahwa sebagian besar korban berasal dari kalangan orang yang sedang mencari perlindungan dari serangan udara Israel yang terus berlanjut di berbagai bagian di Gaza.
Pihak militer Israel mengakui serangan ini, dengan klaim bahwa bahwa gereja bukanlah target dari serangan tersebut, melainkan sebuah pusat komando Hamas yang dianggap terlibat dalam peluncuran roket ke wilayah Israel. Namun, klaim ini tidak mengurangi kecaman internasional terhadap serangan tersebut. Patriarkat Ortodoks Yerusalem mengutuk tindakan itu sebagai kejahatan perang, menegaskan bahwa menyerang tempat ibadah yang melindungi warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan yang telah kehilangan rumah mereka akibat serangan udara, merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Patriarkat Ortodoks Yunani di Yerusalem mengeluarkan pernyataan keras yang mengecam serangan udara yang terjadi di Gereja Saint Porphyrius sebagai kejahatan perang. Dalam pernyataan tersebut, mereka menegaskan bahwa menargetkan tempat ibadah yang juga berfungsi sebagai perlindungan bagi warga sipil, terutama anak-anak dan wanita, merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. “Kami mengutuk serangan yang tidak masuk akal terhadap kompleks suci ini dan menyerukan kepada komunitas dunia untuk menegakkan perlindungan di Gaza terhadap tempat-tempat perlindungan, termasuk rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah,” kata Sekretaris Jenderal WCC (Dewan Gereja Dunia) , Pendeta Jerry Pillay.
Amnesty International, sebuah gerakan perlawanan terhadap pelanggaran HAM secara global, turut memberikan tanggapan dan mendesak agar dilakukan penyelidikan independen terhadap insiden ini. Mereka menekankan pentingnya perlindungan terhadap warga sipil di Gaza, terutama di tengah konflik yang berkepanjangan. Dalam konteks ini, seruan mereka untuk menghormati hukum kemanusiaan internasional mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap hak asasi manusia di wilayah yang terdampak konflik.
Paus Fransiskus, berserta sejumlah pemimpin gereja di seluruh dunia, juga menyampaikan dan menyerukan perlindungan untuk tempat-tempat keagamaan. Bukan hanya mengatakan bahwa serangan ini harus dihentikan, Paus Fransiskus juga menyerukan agar bantuan kemanusiaan seperti keperluan medis dan makanan yang dihentikan oleh blokade Israel, segara diperbolehkan masuk untuk mengurangi kondisi krisis kemanusiaan di Gaza.
Serangan udara Israel yang menghancurkan Gereja Saint Porphyrius adalah pengingat tragis akan penderitaan yang sedang dialami oleh rakyat Palestina di Gaza, baik umat Muslim maupun umat Kristen. Dengan jumlah infrastruktur sipil seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah yang dihancurkan oleh tentara Israel, dunia internasional semakin mendesak untuk tindakan nyata dalam melindungi dan menjaga keselamatan warga sipil. Namun, tanpa upaya yang signifikan untuk menghentikan kekerasan dan kekejaman yang terus dilakukan oleh militer Israel, masa depan rakyat Palestina baik bagi para umat Kristen ataupun umat Muslim, akan terus mengalami kesengsaraan.MG/Patrick Daniel H.W.
Serangan tersebut terjadi sekitar pukul 19.30, saat banyak orang berkumpul untuk makan malam dan berbagi kisah dalam suasana damai. Ledakan yang kuat merobohkan salah satu bangunan dalam kompleks gereja dan mengakibatkan keruntuhan yang menimpa mereka yang berada di dalam. Serangan terhadap gereja ini menjadi simbol bahwa tindakan kezaliman Israel menyerang berbagai umat di wilayah Gaza .
Fakta Gereja Saint Porphyrius, Saksi Kedekatan Islam dan Kristen di Palestina
Gereja yang berlokasi di kawasan Zaytun di Kota Tua Gaza ini, bukan hanya sekedar bangunan saja. Namun telah menjadi saksi dan simbol sejarah pertemuan dan toleransi antara umat Muslim dan umat Kristen di wilayah tersebut. Dalam waktu berabad-abad, umat Muslim dan Kristen di wilayah ini telah berjuang bersama, membangun solidaritas. Semenjak abad pertengahan, tepatnya sejak abad ke-5, komunitas umat Kristen kecil yang dipimpin oleh Uskup Porphyry, berupaya mengkristenkan kota tersebut. Upaya ini dilakukan dalam pembangunan Gereja Saint Porphyrius, yang secara tidak langsung menjadi sebuah simbol pertemuan antara agama Kristen dan Islam di kawasan tersebut.Setelah kematian Sang Uskup Porphyry pada tahun 420, umat Kristen di Mediterania timur menghadapi perpecahan teologis, terutama setelah Konsili Chalcedon pada tahun 451. Secara singkat, adapun umat Kristen “miaphysite” yang menolak keputusan-keputusan konsili, sementara mayoritas umat Kristen di Mediterania timur tetap terikat pada gereja imperialis Roma dan Konstantinopel, yang kemudian terpecah menjadi Katolik Roma dan Ortodoksi Timur.
Setelah wafatnya Uskup Porphyry pada tahun 420, umat Kristen di Mediterania timur, termasuk Palestina Romawi, mengalami perpecahan akibat konflik pemahaman agama atau teologis. Ketegangan ini mencapai puncaknya pada tahun 451 di Konsili Chalcedon, yang diadakan oleh kaisar Romawi, yang mendefinisikan Yesus Kristus sebagai dua hakikat yakni manusia dan Ilahi. Namun banyak umat Kristen di Mesir, Suriah, dan Mesopotamia menolak keputusan ini. Mereka percaya bahwa Yesus memiliki satu hakikat yang bersifat gabungan manusia dan ilahi secara sekaligus.
Ratusan tahun kemudian, setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 Masehi, para pengikut Nabi Muhammad yang mulai mengatur pemerintahan di Palestina, menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa utama di wilayah tersebut. Dan yang pada akhirnya, bahasa Arab juga menjadi bahasa utama yang digunakan umat Kristen di Palestina selama lebih dari seribu tahun.
Ketika Perang Salib mulai memanas pada abad ke-10, umat Kristiani Eropa melalui Tentara Salib, melakukan ekspansi ke Timur Tengah dan mencoba untuk mengambil Tanah Suci dari tangan umat Muslim di Palestina. Meskipun demikian, umat Kristen dan umat Muslim di Palestina tetap menjaga solidaritas yang telah mereka tumbuh selama ratusan tahun pada saat itu, terutama ketika Tentara Salib mulai memasuki Yerusalem pada tahun 1099.
Sepanjang sejarah, hubungan umat Kristen dan umat Muslim di Gaza menunjukkan solidaritas dan kedalaman interaksi yang telah terjalin selama berabad-abad. Keduanya tidak hanya berbagi wilayah, tetapi juga sejarah yang saling terkait, menciptakan lapisan kerjasama, pengertian, dan kehadiran bersama yang mengakar dalam budaya dan sejarah masyarakat di Palestina selama ribuan tahun hingga saat ini.
Serangan Israel yang terjadi atas Gereja Saint Porphyrius ini, lagi-lagi menjadi gambaran kekejian tindakan Israel bagi segala umat di Palestina. Meskipun Gereja ini telah menjadi korban serangan udara dan pengeboman Israel sebelumnya, namun serangan yang terjadi pada tahun 2023 yang lalu menimbulkan kehancuran yang jauh lebih parah. Sebanyak 450 pengungsi terluka-luka, dan setidaknya 18 warga, termasuk anak-anak, telah tewas akibat serangan Israel ini.
Setelah serangan, video dan gambar yang beredar di media sosial menunjukkan penyelamat yang bekerja keras menggali reruntuhan, berusaha menyelamatkan mereka yang terjebak di bawah puing-puing. Laporan menunjukkan bahwa sebagian besar korban berasal dari kalangan orang yang sedang mencari perlindungan dari serangan udara Israel yang terus berlanjut di berbagai bagian di Gaza.
Pihak militer Israel mengakui serangan ini, dengan klaim bahwa bahwa gereja bukanlah target dari serangan tersebut, melainkan sebuah pusat komando Hamas yang dianggap terlibat dalam peluncuran roket ke wilayah Israel. Namun, klaim ini tidak mengurangi kecaman internasional terhadap serangan tersebut. Patriarkat Ortodoks Yerusalem mengutuk tindakan itu sebagai kejahatan perang, menegaskan bahwa menyerang tempat ibadah yang melindungi warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan yang telah kehilangan rumah mereka akibat serangan udara, merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Patriarkat Ortodoks Yunani di Yerusalem mengeluarkan pernyataan keras yang mengecam serangan udara yang terjadi di Gereja Saint Porphyrius sebagai kejahatan perang. Dalam pernyataan tersebut, mereka menegaskan bahwa menargetkan tempat ibadah yang juga berfungsi sebagai perlindungan bagi warga sipil, terutama anak-anak dan wanita, merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. “Kami mengutuk serangan yang tidak masuk akal terhadap kompleks suci ini dan menyerukan kepada komunitas dunia untuk menegakkan perlindungan di Gaza terhadap tempat-tempat perlindungan, termasuk rumah sakit, sekolah, dan rumah ibadah,” kata Sekretaris Jenderal WCC (Dewan Gereja Dunia) , Pendeta Jerry Pillay.
Amnesty International, sebuah gerakan perlawanan terhadap pelanggaran HAM secara global, turut memberikan tanggapan dan mendesak agar dilakukan penyelidikan independen terhadap insiden ini. Mereka menekankan pentingnya perlindungan terhadap warga sipil di Gaza, terutama di tengah konflik yang berkepanjangan. Dalam konteks ini, seruan mereka untuk menghormati hukum kemanusiaan internasional mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap hak asasi manusia di wilayah yang terdampak konflik.
Paus Fransiskus, berserta sejumlah pemimpin gereja di seluruh dunia, juga menyampaikan dan menyerukan perlindungan untuk tempat-tempat keagamaan. Bukan hanya mengatakan bahwa serangan ini harus dihentikan, Paus Fransiskus juga menyerukan agar bantuan kemanusiaan seperti keperluan medis dan makanan yang dihentikan oleh blokade Israel, segara diperbolehkan masuk untuk mengurangi kondisi krisis kemanusiaan di Gaza.
Serangan udara Israel yang menghancurkan Gereja Saint Porphyrius adalah pengingat tragis akan penderitaan yang sedang dialami oleh rakyat Palestina di Gaza, baik umat Muslim maupun umat Kristen. Dengan jumlah infrastruktur sipil seperti sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah yang dihancurkan oleh tentara Israel, dunia internasional semakin mendesak untuk tindakan nyata dalam melindungi dan menjaga keselamatan warga sipil. Namun, tanpa upaya yang signifikan untuk menghentikan kekerasan dan kekejaman yang terus dilakukan oleh militer Israel, masa depan rakyat Palestina baik bagi para umat Kristen ataupun umat Muslim, akan terus mengalami kesengsaraan.MG/Patrick Daniel H.W.
(wid)