Pesantren di Era Kolonial: Kitab-Kitabnya Masih Dipelajari sampai Sekarang
loading...
A
A
A
PADA masa penjajahan Belanda , sistem pendidikan terbagi ke dalam 2 (dua) jenis: pendidikan umum dan pendidikan Islam.
Istilah pendidikan umum ini sebenarnya secara eksplisit tidak terdapat dalam literatur resmi, terlebih juga bisa saja diperdebatkan.
"Kalau mau disebut lebih tegas sebenarnya sistem pendidikan sekuler," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan" (Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015).
"Namun umumnya masyarakat lebih paham dengan istilah pendidikan umum, sekolah umum," jelas Mu'ti.
Pada masa awal penjajahan, ketika VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang berkuasa, sebenarnya corak pendidikan Kristen juga sudah ada. Namun pada akhirnya yang menguat dari pemerintah adalah pendidikan yang tidak memasukkan agama di dalamnya.
Sementara itu di sisi lain pendidikan Islam juga menguat dengan pesantren sebagai basis institusinya. Maka pada gilirannya, dua pola sistem pendidikan inilah yang menjadi arus utama sistem pendidikan kala itu.
Pendidikan Pesantren
Pendidikan Islam yang paling menonjol di zaman kolonial adalah pendidikan yang dilaksanakan di pesantren-pesantren . Namun di luar itu sebenarnya pengajaran Islam juga banyak dilakukan di surau/langgar.
"Proses pendidikan di surau ini sifatnya tidak formal. Materi yang diajarkan adalah pengetahuan agama," ujar Mu'ti.
Namun sebenarnya yang terjadi di sana bukan sekadar belajar dalam arti mempelajari rumpun ilmu secara kognitif. Di sana juga terjadi pembudayaan nilai. Jadi surau adalah representasi pembudayaan nilai-nilai kultural (learning society).
Secara khusus, lembaga pendidikan Islam yang berkembang massif dan secara khusus dijadikan sebagai tempat belajar adalah pesantren.
Berbeda dengan surau yang para muridnya umumnya adalah warga sekitar dan hanya belajar pada waktu-waktu tertentu. Pesantren secara khusus memang dikondisikan sebagai tempat belajar.
Para murid berkumpul dan tinggal di situ, bersama dengan seorang atau beberapa orang guru ngaji.
Asal-usul Pesantren
Mengenai asal-usul pesantren setidaknya ada dua pendapat utama. Ada yang berpendapat bahwa pesantren berasal dari tradisi Islam secara murni.
Model pendidikan pesantren ini adalah pola pendidikan tasawuf. Pola semacam ini dapat ditemukan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang disebut dengan zawiyat.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa model pendidikan pesantren adalah warisan tradisi Hindu-Budha yang mengalami proses islamisasi. Hal ini dapat ditelusuri misalnya dari kata “santri” sebutan untuk murid di pesantren yang berasal dari kata “shastri” (bahasa Sansakerta), atau cantrik yang merupakan sebutan bagi murid dalam sistem pengajaran Hindu-Budha.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren adalah khusus “ilmu-ilmu agama”. Pengajarnya umumnya satu orang ulama/kiai yang kemudian dibantu oleh para murid-muridnya yang telah mumpuni.
Metode yang digunakan adalah sorogan dan wetonan/bandungan. Sorogan adalah metode belajar secara individual.
Seorang santri membawa satu kitab tertentu dan belajar langsung dengan guru.
Sedangkan wetonan/bandungan adalah belajar dengan sistem klasikal. Guru membacakan satu kitab dan beberapa santri menyimak.
Pesantren belum mengenal kurikulum dalam arti yang lebih sistematis sebagaimana dalam pendidikan modern. Jenjang dan batas waktu belajar misalnya tidak jelas. Semua itu lebih bergantung pada individu yang belajar.
Namun demikian, dalam arti yang lebih luas di sana sebenarnya sudah ada kurikulum. Setidaknya ada daftar kitab-kitab yang biasa dikaji dan pentahapan untuk mempelajarinya.
Menurut Karel A Steenbrink, semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda.
Berdasarkan wawancaranya dengan para kiai, dia mengomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan umumnya Madura.
Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan di pesantren.
Kitab-kitab tersebut adalah: kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Karel A. Steenbrink menyimpulkan bahwa kebanyakan kitab-kitab yang dipakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.
Ada perbedaan yang mendasar antara pendidikan pesantren dengan pendidikan Belanda. Pendidikan pesantren bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan Tuhan (theosentris), sedangkan pendidikan Belanda bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan kehidupan (antroposentris).
Harus diakui bahwa sistem pendidikan Barat lebih handal dan sistematis. Sedangkan sistem pendidikan pesantren masih bersifat tradisional. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam tertinggal terutama dalam membangun tata kehidupan yang berkemajuan.
Pada konteks inilah kemudian lahirlah KH Ahmad Dahlan . Dia adalah salah satu bumi putra yang mendapat kesempatan untuk belajar ke luar. Di tempat belajarnya ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Bekal inilah yang di kemudian hari membuatnya mampu memosisikan diri secara tepat dan solutif di tengah problematika yang sedang terjadi di Indonesia.
Istilah pendidikan umum ini sebenarnya secara eksplisit tidak terdapat dalam literatur resmi, terlebih juga bisa saja diperdebatkan.
"Kalau mau disebut lebih tegas sebenarnya sistem pendidikan sekuler," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan" (Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015).
"Namun umumnya masyarakat lebih paham dengan istilah pendidikan umum, sekolah umum," jelas Mu'ti.
Pada masa awal penjajahan, ketika VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang berkuasa, sebenarnya corak pendidikan Kristen juga sudah ada. Namun pada akhirnya yang menguat dari pemerintah adalah pendidikan yang tidak memasukkan agama di dalamnya.
Sementara itu di sisi lain pendidikan Islam juga menguat dengan pesantren sebagai basis institusinya. Maka pada gilirannya, dua pola sistem pendidikan inilah yang menjadi arus utama sistem pendidikan kala itu.
Pendidikan Pesantren
Pendidikan Islam yang paling menonjol di zaman kolonial adalah pendidikan yang dilaksanakan di pesantren-pesantren . Namun di luar itu sebenarnya pengajaran Islam juga banyak dilakukan di surau/langgar.
"Proses pendidikan di surau ini sifatnya tidak formal. Materi yang diajarkan adalah pengetahuan agama," ujar Mu'ti.
Namun sebenarnya yang terjadi di sana bukan sekadar belajar dalam arti mempelajari rumpun ilmu secara kognitif. Di sana juga terjadi pembudayaan nilai. Jadi surau adalah representasi pembudayaan nilai-nilai kultural (learning society).
Secara khusus, lembaga pendidikan Islam yang berkembang massif dan secara khusus dijadikan sebagai tempat belajar adalah pesantren.
Berbeda dengan surau yang para muridnya umumnya adalah warga sekitar dan hanya belajar pada waktu-waktu tertentu. Pesantren secara khusus memang dikondisikan sebagai tempat belajar.
Baca Juga
Para murid berkumpul dan tinggal di situ, bersama dengan seorang atau beberapa orang guru ngaji.
Asal-usul Pesantren
Mengenai asal-usul pesantren setidaknya ada dua pendapat utama. Ada yang berpendapat bahwa pesantren berasal dari tradisi Islam secara murni.
Model pendidikan pesantren ini adalah pola pendidikan tasawuf. Pola semacam ini dapat ditemukan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang disebut dengan zawiyat.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa model pendidikan pesantren adalah warisan tradisi Hindu-Budha yang mengalami proses islamisasi. Hal ini dapat ditelusuri misalnya dari kata “santri” sebutan untuk murid di pesantren yang berasal dari kata “shastri” (bahasa Sansakerta), atau cantrik yang merupakan sebutan bagi murid dalam sistem pengajaran Hindu-Budha.
Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren adalah khusus “ilmu-ilmu agama”. Pengajarnya umumnya satu orang ulama/kiai yang kemudian dibantu oleh para murid-muridnya yang telah mumpuni.
Metode yang digunakan adalah sorogan dan wetonan/bandungan. Sorogan adalah metode belajar secara individual.
Seorang santri membawa satu kitab tertentu dan belajar langsung dengan guru.
Sedangkan wetonan/bandungan adalah belajar dengan sistem klasikal. Guru membacakan satu kitab dan beberapa santri menyimak.
Pesantren belum mengenal kurikulum dalam arti yang lebih sistematis sebagaimana dalam pendidikan modern. Jenjang dan batas waktu belajar misalnya tidak jelas. Semua itu lebih bergantung pada individu yang belajar.
Namun demikian, dalam arti yang lebih luas di sana sebenarnya sudah ada kurikulum. Setidaknya ada daftar kitab-kitab yang biasa dikaji dan pentahapan untuk mempelajarinya.
Menurut Karel A Steenbrink, semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda.
Berdasarkan wawancaranya dengan para kiai, dia mengomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan umumnya Madura.
Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan di pesantren.
Kitab-kitab tersebut adalah: kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Baca Juga
Karel A. Steenbrink menyimpulkan bahwa kebanyakan kitab-kitab yang dipakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.
Ada perbedaan yang mendasar antara pendidikan pesantren dengan pendidikan Belanda. Pendidikan pesantren bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan Tuhan (theosentris), sedangkan pendidikan Belanda bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan kehidupan (antroposentris).
Harus diakui bahwa sistem pendidikan Barat lebih handal dan sistematis. Sedangkan sistem pendidikan pesantren masih bersifat tradisional. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam tertinggal terutama dalam membangun tata kehidupan yang berkemajuan.
Pada konteks inilah kemudian lahirlah KH Ahmad Dahlan . Dia adalah salah satu bumi putra yang mendapat kesempatan untuk belajar ke luar. Di tempat belajarnya ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Bekal inilah yang di kemudian hari membuatnya mampu memosisikan diri secara tepat dan solutif di tengah problematika yang sedang terjadi di Indonesia.
(mhy)