Profil Singkat Kiai Ahmad Dahlan dan Siasatnya Membangun Muhammadiyah

Selasa, 12 November 2024 - 08:06 WIB
loading...
Profil Singkat Kiai...
KH Ahmad Dahlan. Foto: Ist/mhy
A A A
BEBERAPA hari lagi Muhammadiyah akan memperingati milad yang ke-112. Siapa sangka, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu, memulai gerakannya dengan penuh rintangan. Selain mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, KH Ahmad Dahlan juga menghadapi umat Islam sendiri.

"Ia sempat dianggap sebagai kiai kafir oleh sebagian umat Islam," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan". Buku tersebut diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Kini, Abdul Mu'ti yang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kiai Haji Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta tahun 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putra keempat dari KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.



Ia termasuk keturunan yang ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim , salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Pada usia ke-15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Makkah selama 5 tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah .

Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan.

Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah.

Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat 6 orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.



Pada tahun 1903 ia berangkat kembali ke Makkah dan menetap di sana selama 2 tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin memperdalam ilmu pengetahuan.

Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.

Pemikiran para pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia.

Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi. Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima oleh berbagai pihak.

Bahkan ia juga bersahabat dan berdialog dengan Van Lith, seorang pastur dari Katolik.

Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal. Karena itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah.

Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, adanya lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit.



Beberapa sahabat Ahmad Dahlan menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan organisasi Muhammadiyah.

Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.

Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.

Melihat sepak terjang Ahmad Dahlan, pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi Muhamadiyah ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi.

Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda.

Untuk mengatasinya, maka KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, AlMunir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut.

Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.



Berbagai perkumpulan dan jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.

Perjuangan yang dilakukan Ahmad Dahlan tergolong tidak mudah. Ia mendapat tantangan tidak hanya dari pemerintah Belanda, akan tetapi juga dari penduduk bumi putra, bahkan dari kalangan umat Islam sendiri.

Ide-ide Pembaharuan Ahmad Dahlan dianggap aneh dan menyeleweng dari ajaran Islam sehingga membuatnya dituduh sebagai kiai kafir. Namun ia tetap bertahan dan terus berjuang dengan sekuat tenaga hingga Muhammadiyah tetap bertahan hingga hari ini.

"Ini semua menunjukkan bukan hanya kekuatan ideologi dan spirit yang dibangun Ahmad Dahlan, tapi juga menunjukkan kekuatan sistem organisasi yang ia dirikan," ujar Abdul Mu'ti.

KH Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Hari ini kita masih menyaksikan karya besar anak bumi putra ini.

Pesan beliau selalu terngiang bagi para generasi penerusnya: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”. Pesan mora sarat makna yang membuat Muhammadiyah tetap kokoh dan menjulang di panggung peradaban.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2289 seconds (0.1#10.140)