Masalah Takwil dalam Tafsir Al-Qur'an: Muhammad Abduh yang Rasional
loading...
A
A
A
Demikian antara lain penakwilan yang dilakukan Muhammad Abduh, yang kemudian diikuti oleh tak sedikit dari ulama-ulama sesudah masa beliau.
Quraish Shihab mengatakan kita dapat memahami motivasi Muhammad Abduh dan penganut-penganut alirannya dalam menggunakan akal seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib, namun hal ini bila diturutkan tanpa batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan kemudian dalam perkembangan pemikiran selanjutnya.
Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu).
Tapi tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian!
Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak harus ditakwilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang dianggap logis sehingga dipahami akal.
Karena kalau hal tersebut harus dipaksakan maka tak jarang ditemukan pemahaman-pemahaman yang tak hanya bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan hakikat keagamaan.
Ahmad Musthafa al-Maraghi salah seorang penganut aliran Abduh menulis dalam tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Saba', "Dan sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman) Hai gunung-gunung bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud."
Al-Maraghi menulis bahwa pengertian ayat tersebut adalah bahwa "gunung mengantar Daud bertasbih mensucikan Allah, dengan jalan pandangan yang diarahkan Daud kepada keajaiban tersebut berfungsi mengingatkan sebagaimana seseorang mengingatkan yang lain."
Pendapat di atas dinilai sementara ulama tak sejalan dengan teks ayat di mana yang diperintahkan adalah gunung-gunung, bukannya Daud. Dan yang lebih penting lagi bahwa Mufassir al-Maraghi telah berusaha memahami hakikat tasbih gunung, sedang terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalammya bertasbih kepada Allah dan tak sesuatu pun melainkan bertasbih memujiNya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat) tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" ( QS. al-Isra' 44).
Quraish Shihab mengatakan jika apa yang digambarkan tentang pendapat al-Maragi di atas tak disetujui, tetap harus diakui bahwa pendapat tersebut dari sisi kebahasaan memiliki alasan-alasannya.
Quraish Shihab mengatakan kita dapat memahami motivasi Muhammad Abduh dan penganut-penganut alirannya dalam menggunakan akal seluas-luasnya ketika memahami teks-teks keagamaan sehingga merasionalkan ajaran-ajaran agama sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib, namun hal ini bila diturutkan tanpa batas yang jelas, dapat mengantar pada pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan kemudian dalam perkembangan pemikiran selanjutnya.
Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan (zat yang tak terbatas itu).
Tapi tentunya ini bukan pula berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tak logis. Tidak demikian!
Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti bahwa bila suatu redaksi sudah cukup jelas serta penafsirannya tak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahaminya, maka redaksi tersebut tak harus ditakwilkan lagi dengan memaksakan suatu penafsiran yang dianggap logis sehingga dipahami akal.
Karena kalau hal tersebut harus dipaksakan maka tak jarang ditemukan pemahaman-pemahaman yang tak hanya bertentangan dengan kaidah-kaidah kebahasaan tetapi juga bertentangan dengan hakikat keagamaan.
Ahmad Musthafa al-Maraghi salah seorang penganut aliran Abduh menulis dalam tafsirnya menyangkut ayat 10 surah Saba', "Dan sesungguhnya Kami telah anugerahkan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman) Hai gunung-gunung bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud."
Al-Maraghi menulis bahwa pengertian ayat tersebut adalah bahwa "gunung mengantar Daud bertasbih mensucikan Allah, dengan jalan pandangan yang diarahkan Daud kepada keajaiban tersebut berfungsi mengingatkan sebagaimana seseorang mengingatkan yang lain."
Baca Juga
Pendapat di atas dinilai sementara ulama tak sejalan dengan teks ayat di mana yang diperintahkan adalah gunung-gunung, bukannya Daud. Dan yang lebih penting lagi bahwa Mufassir al-Maraghi telah berusaha memahami hakikat tasbih gunung, sedang terdapat ayat yang lain yang menegaskan bahwa: "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalammya bertasbih kepada Allah dan tak sesuatu pun melainkan bertasbih memujiNya, tapi kamu sekalian tak mengetahui (hakikat) tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun" ( QS. al-Isra' 44).
Quraish Shihab mengatakan jika apa yang digambarkan tentang pendapat al-Maragi di atas tak disetujui, tetap harus diakui bahwa pendapat tersebut dari sisi kebahasaan memiliki alasan-alasannya.
(mhy)