Apakah Muhammadiyah Boleh Tahlilan? Simak Penjelasannya

Jum'at, 20 Desember 2024 - 10:31 WIB
loading...
Apakah Muhammadiyah...
Muhammadiyah membolehkan membaca kalimat tahlil La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah), bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, namun untuk tradisi tahlilan yang dikaitkan dengan orang meninggal dilarang dilakukan. Foto ilustrasi/ist
A A A
Apakah Muhammadiyah boleh tahlilan ? Pertanyaan semacam ini mungkin pernah terlintas di benak sebagian umat Muslim yang merasa penasaran.

Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), tahlilan merupakan kegiatan yang biasa mereka lakukan sebagai amalan. Waktu pelaksanaannya sendiri beragam, contohnya saat ada orang yang baru meninggal dunia.

Tahlilan dalam rangka mendoakan orang yang baru meninggal biasanya digelar mulai sehari hingga tujuh hari setelah kematian. Kemudian, nanti akan dilanjut dari 40 hari, 100 hari hingga 1000 hari setelahnya.

Terlepas dari statusnya yang sudah menjadi tradisi bagi warga NU, sebagian orang mungkin penasaran mengenai sikap kelompok lain dalam menyikapinya, termasuk Muhammadiyah . Sebagaimana diketahui, organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tidak mengadakan tahlilan sebagaimana kalangan NU.

Apakah Muhammadiyah Boleh Tahlilan?

Pada situs resminya, Muhammadiyah pernah menjelaskan sikapnya mengenai tradisi seperti tahlilan yang banyak dijumpai di Tanah Air.

Pertama, Muhammadiyah tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil “La Ilaha Illallah” (tiada Tuhan selain Allah), bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Tidak cukup hanya mengucapkannya, seorang Muslim hendaknya juga ikut menghadirkan hati saat membacanya, lalu mencoba merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003, disebutkan bahwa tahlilan yang dilarang adalah kegiatan yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian atau empat puluh hari dan lainnya sebagaimana dilakukan pemeluk Hindu. Terlebih jika kegiatan seperti itu harus mengeluarkan biaya besar, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Kemudian, Muhammadiyah memberi contoh kejadian pada masa Rasulullah Saw yang menyebut perbuatan semacam itu dilarang. Singkatnya, ada beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya.

Mereka meminta izin kepada Nabi Muhammad Saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu sebagaimana dilakukan saat masih beragama Yahudi. Akan tetapi, Nabi saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah QS Al Baqarah ayat 208.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً ۖ وَلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ‌ؕ اِنَّهٗ لَـکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Lebih jauh, perkara tahlilan orang yang meninggal dunia sebenarnya dianggap sebagai masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama). Di kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) seperti Muhammadiyah, mereka sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid’ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.

Sementara dari golongan gerakan Islam tradisional maupun gerakan tarekat, mereka cenderung membolehkan. Bahkan, menganjurkan tahlilan bagi orang yang meninggal dunia.

Jadi, terjawab sudah pertanyaan “Apakah Muhammadiyah boleh tahlilan?”. Berbeda dengan kalangan seperti NU, mereka tidak melakukan tahlilan untuk orang yang sudah meninggal karena dirasa tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.



Wallahu a’lam
(wid)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1665 seconds (0.1#10.140)