Inilah Dosa Istri Nabi Luth sehingga Binasa Bersama Kaum Sodom

Rabu, 15 April 2020 - 11:51 WIB
loading...
Inilah Dosa Istri Nabi Luth sehingga Binasa Bersama Kaum Sodom
Istrinya itu bukan lagi termasuk keluarganya yang beriman kepada risalah Allah yang dibawanya. Iustrasi: Ist
A A A
NABI Luth ‘alaihissalam (AS) berhijrah bersama pamannya Nabi Ibrahim AS menuju Mesir. Keduanya tinggal di sana beberapa lama, lalu kembali ke Palestina. Di tengah perjalanan menuju Palestina, Nabi Luth meminta izin kepada Nabi Ibrahim untuk pergi dan tinggal ke negeri Sadum atau Sodom. Selanjutnya Nabi Luth menikah di kota itu.

Kota Sodom merupakan salah satu kota di Yordania. Penduduk kota ini memiliki akhlak sangat buruk. Mereka terjangkit perilaku seks menyimpang, homoseksual. Para lelaki menyalurkan nafsu seks dengan sesama laki-laki. Perempuan dengan perempuan. Perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh kaum sebelum mereka. Perbuatan itu merajalela di Kota Sodom. Seorang pendatang tidak akan selamat dari gangguan penduduk Sodom. Apabila pendatang itu adalah seorang perempuan, para wanita akan mengganggunya. Apabila pendatang itu adalah seorang lelaki tampan, para lelaki di Kota Sodom akan memperebutkannya. Demikianlah penduduk Kota Sodom memiliki akhlak yang sangat buruk.

Luth diutus oleh Allah menyadarkan kaum. Nabi Luth diperintahkan menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya itu. Berkata Nabi Luth kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan tercela itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun di dunia ini sebelummu? Kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita. Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (Al-A'raf: 80-81)

Mendengar seruan Nabi Luth, rakyat Sodom merasa terusik. Mereka berupaya menghentikan seruan itu. Mereka terus berpikir dan mencari jalan bagaimana agar Nabi berhenti berdakwah.

Ketika, sebagian kaum Luth tengah duduk berpikir, tiba-tiba datang seorang perempuan tua menghampiri mereka. "Akan kutunjukkan kepada kalian, suatu cara yang dapat menghalangi seruan Luth," ujar perempuan tua itu serius.

"Bagaimana caranya?" sambut mereka penuh harap.

"Tidak akan kukatakan hal itu, kecuali aku mendapat sekeping perak sebagai upahnya," sahut si perempuan tua terkekeh.

Salah seorang dari mereka menyerahkan sekeping perak kepada perempuan tua itu. "Kalian dapat membatalkan seruan Luth melalui isterinya," kata perempuan itu, usai menerima koin perak tersebut.

"Bagaimana caranya?" tanya mereka serentak.

"Kalian harus bekerja sama dengan istri Luth untuk menghentikan seruannya kepada kalian."

Dengan kesal, salah seorang di antara mereka berteriak. "Kami tidak ada urusan dengan istri Luth!"

Dengan wajah marah, perempuan tua itu kembali berkata: "Aku lebih mengerti hal itu daripada kalian!"

"Kalau begitu," sela salah seorang yang lain. "Apa peranan istri Luth dalam hal ini?"

"Dengar baik-baik. Peranan istri Luth sama seperti perananku bagi kalian sekarang ini," jawabnya.

"Jadi, apakah kamu berharap agar istri Luth dapat menunjukkan kami, siapa orang-orang yang dapat memenuhi keinginan kami, sebagaimana yang engkau lakukan kini?" tanya salah seorang dari mereka.

Dengan kedua mata berbinar-binar perempuan tua itu berlalu sambil bergumam, "Ya... ya..."

Bujuk Rayu
Istri Nabi Luth sedang menyelesaikan sebagian pekerjaannya ketika terdengar pintu rumahnya diketuk orang. Segera ia berlari, membukakan pintu. Seorang perempuan tua tiba-tiba berada di hadapannya. Dengan tergopoh-gopoh perempuan tua itu berkata: "Hai, anakku, adakah seteguk air yang dapat menghilangkan dahaga yang kurasakan ini?"

"Silakan masuk," jawab Wa'ilah, istri Nabi Luth, dengan ramah. "Akan kuambilkan air untukmu," ujarnya, lalu masuk ke dapur.

Perempuan tua itu duduk menunggu. Tak lama Wa’ilah kembali dengan membawa gelas yang penuh berisi air. Dengan lahap, perempuan tua itu meneguk habis air itu.

"Kami hidup bersama suamiku, Luth namanya, dan dua anak perempuanku," jawab Wa’ilah ketika perempuan tua itu tentang dirinya.

Mata perempuan itu menelisik sekeliling rumah yang kecil itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan prihatin akan apa yang dilihatnya. Dengan wajah yang memperlihatkan kesedihan, perempuan tua itu berkata: "Aduhai, apakah kesengsaraan menimpamu, Anakku?"

"Aku tidak sengsara, bahkan rumah ini cukup bagi kami, dan aku mempunyai suami yang memberiku makan dan minum bersama kedua putriku," jawab Wa’ilah.

Perempuan tua lebih mendekat kepada istri Nabi Luth sambil berkata: "Dapatkah ruangan seperti ini disebut rumah? Dapatkah yang engkau teguk dan engkau rasakan ini disebut makanan atau minuman?"

Wa’ilah tertegun mendengar ucapan perempuan tuan itu. Dengan penuh keheranan, ia kemudian bertanya. "Kalau begitu, apa yang selama ini kumakan dan kuminum?"

Cepat-cepat perempuan tua itu berkata: "Panggillah aku dengan sebutan ibu. Bukankah kedudukanku seperti ibu saudaramu?"

Kemudian ia berbicara lagi. "Sesungguhnya semua ini adalah kemiskinan dan kesengsaraan hidup yang membawa kemalangan bagimu, hai anakku. Mengapa kamu tidak masuk ke rumah orang-orang kaya di antara kaummu. Tidakkah kamu melihat kehidupan mereka yang penuh kemegahan, kesenangan, dan kenikmatan?”

“Kamu berparas cantik, hai anakku. Tidak layak kamu membiarkan kecantikanmu itu dalam kemiskinan hina begini. Tidakkah kamu sadari bahwa kamu tidak mempunyai anak lelaki yang dapat bekerja untuk memberimu makan kelak apabila suamimu meninggal dunia?" tutur perempuan tua itu.

Wa’ilah mendengarkan dengan seksama semua ucapan perempuan tua itu. Ya, ucapan itu telah membuatnya terlena. Sesekali ia perhatikan perempuan tua yang semakin mengeraskan suaranya, dengan penuh nada kesedihan dan kedukaan. Dalam lamunannya itu, tiba-tiba Wa’ilah merasakan pelukan perempuan tua itu di bahunya.

Wa’ilah memandang perempuan tua itu sembari berusaha meneliti kalimat-kalimat yang baru didengarnya. Tetapi si perempuan tua tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Ia terus saja bicara. "Hai, anakku, apakah yang dikerjakan suamimu? Bagaimana hubungannya dengan penduduk Negeri Sodom dan kampung-kampung kecil di sekelilingnya?”

“Sesungguhnya orang-orang di sini menginginkan sesuatu yang dapat menyenangkan hati mereka sesuai dengan yang mereka kehendaki. Dan sesuatu yang dicarinya itu dapat menjadi sumber penghasilan dan kekayaan bagi orang yang mau membantu mereka”.

“Lihatlah! Lihatlah, hai anakku, kepingan-kepingan emas dan perak ini!” ujarnya, kemudian sembari menunjukkan koin emas dan perak kepada Wa’ilah. “Sesungguhnya emas dan perak bagiku adalah barang yang mudah kuperoleh,” lanjutnya.

Belum lagi Wa’ilah bertanya, perempuan tua itu menjelaskan, “Aku menunjukkan kepada kaumku beberapa lelaki berwajah 'cantik' yang datang dari kota. Sedangkan kamu... di rumahmu sering datang beberapa pemuda dan remaja lelaki kepada suamimu”.

“Ya, suamimu yang seruannya diperolok-olok oleh kaum kita,” ujarnya lagi.

Perempuan tua itu lalu menawati perkerjaan itu kepada Wa’ilah. “Pekerjaan semacam ini sebenarnya tidak memberatkan kamu. Suruhlah salah seorang putrimu menemui sekelompok kaum kita dan memberitahu mereka akan adanya lelaki tampan di rumahmu. Dengan demikian, engkau akan memperoleh emas atau perak sebagai hadiahnya setiap kali engkau kerjakan itu. Dengan itu, engkau bersama putri-putrimu dapat merasakan kenikmatan sesuai dengan apa yang kalian kehendaki."

Perempuan tua itu lalu meletakkan dua keping perak di tangan Wa’ilah, sembari berpamitan.

Istri Nabi Luth duduk sembari merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi itu. Ia seperti bingung sehingga berputar-putar di sekitar rumahnya. Suara perempuan tua itu masih terngiang-ngiang di telinganya, sementara di tangannya terselip dua keping perak.

Wa’ilah dibayangi keraguan apakah sebaiknya ia terima saja saran perempuan tua itu. Tetapi, apa yang akan dikatakan orang nanti tentang dirinya jika hal itu ia lakukan; bahwa istri seorang yang mengaku sebagai Rasul Allah dan menyerukan kebajikan, ternyata, menolong kaumnya dalam melakukan kebatilan.

Tiba-tiba datang suara yang membisikkan ke telinganya: "Perempuan tua itu telah menasihatimu. Ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali kebaikan dan kebahagiaan bagimu. Kamu tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh kaummu. Dan lagi pekerjaan yang disarankan perempuan tua itu sangat mudah. Kamu hanya memberitahu mereka tentang kedatangan tamu-tamu suamimu, Luth.”

Tiba-tiba, tanpa ragu-ragu, Wa’ilah berkata: "Baiklah, kuterima..."

Nabi Luth tanpa bosan menyerukan kebenaran Ilahi sesuai dengan perintah Allah kepadanya. Hasilnya, adalah perlawanan penduduk Sodom. Ini yang membuat Nabi Luth sedih. Betapa kaumnya tidak mau menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka bersih dari perangai yang hina itu.

Hari demi hari berlalu. Setiap istri Nabi Luth melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia segera memberi tahu kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang dibawanya sampai kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan membawa sepotong perak seraya berkata: "Jika engkau selalu menolong kami, niscaya engkau akan dapatkan terus sekeping perak, sementara suamimu tidak dapat menyeru kepadanya."

Sementara itu, seruan Nabi Luth kepada kaumnya tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan kesombongan. Mereka tetap selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan mereka terus-menerus melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth memperingatkan akan datangnya siksa Allah atas mereka apabila mereka tidak mau berhenti dari kesesatannya.

Mereka malah menentang Nabi Luth dengan berkata: "Datangkanlah kepada kami azab dari Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar."

Maka, Nabi Luth pun memohon kepada Allah, agar Allah menolongnya dari kaumnya. Nabi Luth berdoa: "Ya, Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu." (Al-Ankabut: 30)

Allah memperkenankan doa Nabi Luth AS, dan mengutus Jibril untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke Negeri Sodom dengan menyerupai dua orang lelaki yang tampan. "Dia (Luth) merasa susah dan sempit dadanya karena kedatangan mereka.Dan ia berkata: "Ini adalah hari yang amat sulit." (Hud: 77)

Nabi Luth AS cemas memikirkan apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui kedatangan tamu lelaki yang berwajah tampan di rumahnya. Bagaimana ia dapat mempertahankan dan memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya?

Ah, bukankah tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia sendiri, dan kedua putrinya?

Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth itu merupakan kesempatan bagi istrinya untuk menambah kepingan-kepingan perak yang biasa ia peroleh dari si wanita tua. Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada kaumnya untuk memberitahu mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth.

Karena keinginannya yang mendesak, istri Luth akhirnya memberi isyarat kepada salah seorang puterinya untuk mendekat. Kemudian ia membisikkan beberapa kalimat ke telinga anak perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang puteri segera keluar rumah untuk memberitahu kaumnya, sebagaimana biasa.

Di tengah-tengah kerumunan orang ramai anak Nabi Luth melihat seorang perempuan tua melambaikan tangan sambil mengisyaratkan panggilan kepadanya. Segera ia mendekati perempuan itu dan memberitahu tentang dua lelaki tampan yang datang ke rumahnya.

Perempuan tua itu kemudian menyuruh ia cepat pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri seraya bertanya: "Apakah yang terjadi? Apakah ada berita baru?"

Wajah si perempuan tua menampakkan senyum tipuan sambil berkata: "Kali ini tidak kurang dari empat potong emas harus kuterima."

Dengan bersemangat kaumnya bertanya: "Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?"

Perempuan itu berkata kepada mereka."Kalian akan memperoleh apa yang kalian kehendaki, yaitu dua orang lelaki tampan. Dengan bernafsu, mereka bertanya: "Di mana mereka? Di mana lelaki tampan itu?”

"Berikan harta kepadaku terlebih dahulu, barulah kuberi tahu kalian!" katanya.

Sebagian dari mereka menyahut: "Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah kenyang!" Dan sebagian yang lain berkata: "Inilah harta untukmu, tetapi cepat katakan, di mana lelaki tampan itu?" Setelah tangannya menggenggam emas, berkatalah perempuan tua itu kepada mereka. "Mereka ada di rumah Luth..."

Hampir-hampir kaumnya tidak mendengar ucapan perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat kemudian, mereka berlumba-lumba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth.

Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi Luth tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak. "Bukakan, Luth bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan mendobrak!"

Istri Nabi Luth mencoba menemui suaminya yang ternyata telah meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar. Sementara ia sendiri mendekati pintu rumahnya yang tertutup dan memisahkan dia dengan sekumpulan kaumnya.

Istri Nabi Luth mengintai dari balik tirai. Hatinya melonjak kegirangan. Sebentar lagi ia bakal memperoleh sepotong perak dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah berlangsung selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin bakal memperoleh pula sepotong emas sebagai bonus.

Teriakan kaum Luth bertambah keras dan garang. Mereka tak sabar dan ingin mendobrak pintu agar dapat masuk dan menemui tamu-tamu Nabi Luth.

Nabi Luth berdiri terpaku. Hanya pintu yang memisahkannya dari kaum durjana itu. Sesaat kemudian, Nabi Luth berkata kepada mereka demi menenangkan keadaan: "Hai, kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan namaku di hadapan tamuku. Tidak adakah di antaramu seorang yang dapat menbedakan baik dan buruk”.

Luth kemudian kembali menegaskan permohonannya kepada kaumnya itu, sedangkan istrinya mengintip tidak jauh dari situ. Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk mengawini puteri-puterinya, tetapi dengan serentak mereka menjawab: "Sesungguhnya engkau telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki."

Sampai di sini, dialog antara Nabi Luth dan kaumnya terputus. Nabi Luth kemudian berpikir, apakah yang akan ia lakukan jika kaumnya mendobrak pintu rumahnya dan masuk untuk melampiaskan nafsu setannya kepada dua orang tamunya. Ia berdiri kebingungan.

Tiba-tiba tamu Nabi Luth berkata kepadanya: "Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali mereka tidak dapat mengganggu engkau." Berkata utusan-utusan Allah itu kepada Nabi Luth: "Bukakan pintu, dan tinggalkan kami bersama mereka!"

Maka, Nabi Luth pun membuka pintu rumahnya. Istri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat serombongan kaumnya menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera menuju ke arah tamu-tamu Nabi Luth. Ketika itulah, Jibril mengembangkan kedua sayapnya dan memukul orang-orang durjana itu. Akhirnya, mata mereka, tanpa kecuali, buta seketika. Dengan berteriak kesakitan, mereka semua menghendap-hendap dan bingung, kemana mereka harus berjalan.

Bertanyalah Nabi Luth kepada Malaikat Jibril: "Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?"

Malaikat Jibril memberitahu bahwa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi Luth pada waktu subuh nanti.

Jibril memerintahkan Nabi Luth agar pergi dengan membawa keluarganya pada akhir malam nanti. Semua keluarga Nabi Luth pada malam itu pergi bersamanya ke luar kota, kecuali Wa’ilah. Istrinya itu bukan lagi termasuk keluarganya yang beriman kepada risalah Allah yang dibawanya. Sebaliknya, Istri Nabi Luth justru telah membantu orang-orang yang berbuat kerusakan, dan ia harus menerima akibatnya.

Maka, turunlah azab atas dirinya, bersama semua kaum Nabi Luth yang ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Kitab Suci Al-Quran: "Maka, tatkala datang azab Kami, Kami balikkan (kota itu), dan Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) tanah liat dibakar bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tidaklah jauh dari orang-orang yang zalim." Maha Benar Allah lagi Maha Agung.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3525 seconds (0.1#10.140)