Tragedi Perang Jembatan: Langgar Pesan Umar Bin Khattab, Pasukan Muslim Berguguran

Senin, 21 September 2020 - 14:37 WIB
loading...
Tragedi Perang Jembatan: Langgar Pesan Umar Bin Khattab, Pasukan Muslim Berguguran
Ilustrasi/Ist
A A A
SETELAH pertempuran Saqatiah pasukan Muslimin mendapat rampasan perang cukup banyak, di antaranya berupa makanan dalam jumlah besar. Yang sangat menggembirakan mereka sejenis kurma yang disebut nirrisiyan yang menjadi kesukaan raja-raja Persia . ( )

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang berjudul “ Umar bin Khattab ” menyebutkan kurma itu dibagi-bagikan kepada mereka dan diberikan juga sebagian kepada para petani. Selanjutnya seperlimanya dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Khattab di Madinah dengan diserta surat pengantar: "Allah telah memberikan kepada kami makanan yang menjadi kesukaan para Kisra. Kami ingin Anda juga melihatnya untuk mengingat nikmat dan karunia Allah." ( )

Javan seorang panglima perang Persia yang ditawan pasukan Muslim sudah berusia lanjut. Kepada orang yang menawannya dia mengatakan: "Kalian orang-orang Arab, orang yang suka menepati janji. Maukah Anda mempercayai saya, dan saya akan memberikan kepada Anda dua orang budak muda yang cekatan sekali yang akan dapat membantu pekerjaan Anda dan akan saya berikan lagi sekian dan sekian..." ( )

Javan mengeluarkan janji-janji yang menggiurkan sehingga membuat orang yang menawannya: "Baiklah,” ujar prajurit muslim yang menawannya.

"Bawalah saya kepada komandan Anda supaya terlihat," katanya.

Dia dibawa masuk ke tempat Abu Ubaid , dan dia menyaksikan apa yang terjadi. Tetapi ada sekelompok Muslimin segera mengenalnya, maka kata mereka kepada Abu Ubaid: "Bunuh saja dia. Dia komandan pasukan mereka."

"Sekalipun dia komandan," kata Abu Ubaid. "Saya tidak akan membunuhnya, dia telah dijamin oleh salah seorang dari kita. Dalam persahabatan dan saling menolong Muslimin seperti satu badan, yang berlaku bagi yang seorang berarti berlaku untuk semua." ( )

Boran, Kaisar Persia, sudah mengetahui apa yang terjadi terhadap Javan, dan berita itu sampai juga kepada Rustum , perdana menteri sekaligus panglima perang Persia. la memerintahkan Jalinus untuk menolong teman-temannya dan menyusul Narsi di Kaskar.

Jalinus memisahkan diri berangkat cepat-cepat ke tujuannya. Tetapi Abu Ubaid dalam menempuh perjalanan rupanya lebih cepat.

Tak lama sesudah mengalahkan Javan, Abu Ubaid memerintahkan pasukannya berangkat untuk menghadapi Narsi, yang kemudian dijumpainya bersama-sama dengan pasukan yang sudah kalah melarikan diri dari Namariq di suatu tempat yang disebut Saqatiah, tak jauh dari Kaskar.

Hal ini terjadi sebelum ada kontak senjata dengan Jalinus. Narsi tidak lebih tabah dari Javan dalam menghadapi Muslimin. Ia lari bersama pasukannya dengan meninggalkan rampasan perang yang tidak sedikit. ( )

Ini membuat Abu Ubaid tahu bahwa Jalinus dan pasukannya berada di sebuah desa bernama Barusma. Ia mengejarnya terus, dan seperti Narsi ia pun melarikan dalam kekalahan bersama pasukannya hingga mencapai Mada'in.

Bahman Jadhuweh
Bagi Rustum suatu hal yang luar biasa kalau pasukan Persia sampai kalah menghadapi orang-orang Arab yang kasar itu. Rustum sangat sombong dan ambisinya memang besar sekali. Dia menanyakan stafnya: "Menurut pendapat kalian siapa yang paling kuat untuk menghadapi orang-orang Arab itu?"

Mereka menjawab: "Bahman Jadhuweh, pejabat istana." Ia pun memanggil Bahman berikut pasukan besarnya. Di barisan depan pasukan dikibarkan bendera Kisra, yang terbuat dari kulit harimau, lebarnya delapan hasta dan panjangnya dua belas hasta. Bahman berangkat dari Mada'in dengan tujuan hendak melumatkan musuh. ( )

Abu Ubaid menarik diri dan pasukannya mundur ke sebuah desa di Qus an-Natif dengan menyeberangi sungai dan sambil menunggu kedatangan musuh, ia bertahan di sana. Tak lama kemudian datang pasukan Persia di bawah pimpinan Bahman. Mereka hanya dibatasi oleh sungai itu. la mengutus orang kepada Abu Ubaid dengan pesan: Kalian menyeberang ke tempat kami dan akan kami biarkan kalian menyeberang, atau biarkan kami yang menyeberang ke tempat kalian.

Staf Abu Ubaid menyarankan untuk tidak menyeberang, dan biarkan pasukan Persia itu yang menyeberang.

Tetapi lalu timbul kesombongan pada Abu Ubaid: "Jangan mereka memperlihatkan lebih berani mati daripada kita," katanya. "Biarlah kita yang menyeberang ke tempat mereka”. ( )

Tetapi Salit bin Qais dan beberapa tokoh terkemuka mengimbaunya sungguh-sungguh dengan mengatakan: "Sejak dulu pasukan Arab belum pernah berhadapan dengan pasukan Persia. Mereka sudah menyiapkan diri untuk menghadapi kita dan akan menyambut kita dengan persiapan dan perlengkapan besar-besaran; kita belum pernah menghadapi yang demikian. Anda telah membawa kami ke suatu tempat yang ada lapangannya, tempat berlindung dan tempat melakukan taktik 'serang dan kembali’.”

Tetapi ia menjawab: "Tidak! Kalau begitu saya pengecut!" la menuduh Salit pengecut. Tetapi ia menjawab: "Saya lebih berani dari Anda. Kami sudah memberikan pendapat kami kepada Anda; akan Anda lihat nanti." ( )

Anehnya, Abu Ubaid bersikap demikian terhadap sahabat-sahabatnya. la lupa nasihat Umar, supaya ia berkonsultasi dengan sahabat-sahabat Nabi, mengikutsertakan mereka dalam musyawarah dan memperhatikan pendapat Salit. Yang lebih mengherankan lagi ia lupa kata-kata Umar: "Anda akan memasuki suatu negeri penuh tipu muslihat dan pengkhianatan, dan Anda akan menemui suatu golongan yang berani melakukan segala kejahatan, karena hanya itu yang mereka ketahui, mereka akan mengabaikan segala kebaikan karena mereka memang tidak mengenal yang demikian."



Dia lupa bahwa dialah yang ditunjuk oleh Khalifah untuk memimpin pasukan, bukan Salit, sebab yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang; dalam perang Salit suka tergopoh-gopoh dan sifat demikian dalam perang akan kehilangan arah. Tetapi kedudukan itu sering membuat orang yang arif lupa akan kearifannya. Siapa tahu! Barangkali saran Salit agar Muslimin jangan menyeberang sungai ke pihak Persia menambah keras kepala Abu Ubaid mau bertahan dengan pendapatnya.

Dia tetap memerintahkan anak buahnya menyeberang sungai. Mereka menyeberang dari Marwahah tempat mereka bertahan ke Qus an-Natif, markas pasukan Persia. Dan Salit bin Qais pun menyeberang di depan sekali.



Pasukan Muslimin ketika itu tak sampai sepuluh ribu orang. Kendati demikian tempat yang ditinggal pasukan Persia di balik jembatan itu sudah terasa sangat sempit. Di tempat itu tak ada tempat berlindung jika melakukan taktik 'serang dan kembali.' Sesudah selesai mereka menyeberang semua, tanpa ditunda-tunda lagi Bahman memerintahkan pasukannya melakukan serangan, didahului oleh sepasukan gajah dengan genta yang bergemercingan.

Melihat dan mendengar dering genta yang dirasakan begitu asing dan aneh, kuda itu lari lintang pukang. Hanya sebagian kecil yang masih terpaksa bertahan. Pihak Persia menghujani pasukan Muslimin dengan panah sehingga tidak sedikit mereka yang tewas. Pihak Muslimin benar-benar merasa pedih atas bencana yang telah menimpa mereka sebelum mereka sampai ke tempat musuh.

Abu Ubaid sendiri melihat bahwa barisannya sudah hampir kacau-balau. Sekarang dia berikut pasukannya bergerak menuju ke arah pasukan Persia dengan berjalan kaki, yang kemudian menyapu mereka dengan pedang, sehingga akibatnya enam ribu orang dari mereka terbunuh.



Dengan demikian pasukan Muslimin merasa bertambah kuat. Tetapi pasukan gajah itu terus maju ke arah mereka, dan mampu mendorong mereka setiap mulai berhadapan. Abu Ubaid menyerukan anak buahnya agar memotong pelangkin pasukan gajah itu dan membalikkan isinya dan membunuh mereka.

Perintah ini mereka laksanakan dan setiap gajah mereka balikkan sehingga tak seekor gajah pun yang tidak mereka balikkan dan penumpangnya mereka bunuh. Dengan demikian pertempuran sengit selama beberapa waktu siang itu antara kedua pihak berlangsung maju dan mundur, kalah dan menang silih berganti.

Hari itu Abu Ubaid bernafsu sekali ingin menang. Lebih-lebih lagi karena penolakannya atas saran-saran Salit bin Qais dan yang lain yang menasihatkan jangan menyeberangi sungai ke tempat musuh. Sekiranya kemenangan ada pihak di Persia dan ia sampai kalah menghadapi Persia, niscaya dia sendiri yang akan menanggung malu, dan malu ini akan melekat padanya seumur hidup. Karenanya ia gelisah selalu, dan setiap terjadi perubahan dalam pertempuran, keseimbangannya terganggu.



la merasa gembira manakala setiap maju ia melihat pihak Persia mundur, tetapi kalau dilihatnya mereka maju ia dicekam perasaan takut mendapat malu lalu ia terjun maju untung-untungan.

la merasa puas tatkala melihat pasukannya menjungkirbalikkan penumpang-penumpang pasukan gajah itu sehingga tak ada lagi orang yang akan menuntunnya. Tetapi tak jauh dari tempatnya itu ia melihat seekor gajah putih besar melenggang-lenggangkan belalainya ke kanan dan ke kiri sehingga dengan demikian menceraiberaikan pasukan Muslimin di sekitarnya, dan seolah dia pahlawan besar yang sudah tahu sasaran yang akan dihantamnya.

Abu Ubaid yakin bahwa dengan membunuh gajah ini akan membuat semangat pasukan Muslimin bangkit kembali dan pasukan Persia akan terpukul.

la melangkah maju, belalai gajah itu ditebasnya dengan pedangnya. Merasakan pedihnya pukulan pedang, gajah itu berang sekali sambil menghampiri Abu Ubaid. Ditendangnya orang ini dengan kakinya dan setelah terhempas jatuh diinjaknya sambil berdiri di atas tubuh Abu Ubaid sampai ia menemui ajalnya.



Abu Ubaid memang sudah berwasiat, kalau dia mati, kepemimpinan dipegang oleh tujuh orang dari Banu Saqif — masyarakatnya sendiri — secara bergantian dengan menyebutkan nama-nama mereka.

Sesudah yang pertama melihat musibah yang menimpa pemimpinnya itu, dengan mengambil bendera menggantikannya ia berusaha menjauhkan gajah itu dari Abu Ubaid, ditariknya jenazahnya ke tempat pasukan Muslimin dan dia kembali berusaha hendak membunuh gajah itu, tetapi seperti Abu Ubaid dia juga menemui ajalnya.

Ketujuh orang Banu Saqif itu berturut-turut masing-masing memegang bendera dan berjuang terus sampai menemui ajalnya.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3291 seconds (0.1#10.140)