Ini Alasan Mengapa Umar bin Khattab Tak Biarkan Agama Lain Tumbuh di Jazirah Arab

Jum'at, 11 September 2020 - 16:08 WIB
loading...
Ini Alasan Mengapa Umar...
Ilustrasi/Ist
A A A
LANGKAH Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan agar tawanan perang dari kaum murtad dikembalikan kepada keluarganya, benar-benar dapat mengambil hati orang-orang yang sudah tobat itu. Dari berbagai penjuru mereka cepat-cepat datang memenuhi seruan Khalifah untuk ikut mengambil bagian dalam perang di Irak . Mereka ingin membersihkan diri dari kemurtadan yang lalu. Selain itu, mereka juga berkeinginan mendapat rampasan perang seperti yang diperoleh Muslimin yang lain. ( )

Melihat respon positif ini membuat Umar senang. Ia merasa puas dengan karunia Allah Taala dalam mengatasi situasi yang begitu genting dihadapi pasukan Muslimin di luar Semenanjung Arab.

Selanjutnya pikirannya Umar tertuju ke arah lain yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kebijaksanaan Rasulullah SAW dan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar , kendati dalam beberapa hal secara detail berbeda. ( )

Kebebasan Beragama
Rasulullah SAW mengajak semua orang kepada agama Allah, tidak membeda-bedakan antara Ahli Kitab dengan yang lain. Tetapi orang-orang Yahudi Madinah melihat dakwah ini membahayakan mereka. Maka mereka pun mengadakan pendekatan dengan Rasulullah SAW dan mengadakan perjanjian tentang kebebasan beragama. ( )

Hanya saja tak lama setelah kaum Yahudi ini melihat keadaan Nabi sudah stabil, mereka berkomplot memusuhinya. Rasulullah SAW menghadapi mereka dan dapat mengalahkan mereka sehingga kaum Yahudi dikeluarkan dari Madinah dan dari beberapa perkampungan mereka di Jazirah Arab.

Mereka yang masih tinggal hanya sebagian kecil, yang sesudah perang Khaibar mereka meminta damai untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah mereka dengan ketentuan separuh dari hasil pertanian untuk Muslimin. ( )

Adapun kaum Nasrani Najran mereka mengirim delegasi untuk berdebat dengan Nabi. Setelah Nabi mengajak mereka agar hanya menyembah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dan mereka tidak akan saling mempertuhan selain Allah, mereka menolak dan kembali ke negeri mereka.

Setelah itu mereka mengirim sebuah delegasi lagi meminta damai dengan membayar jizyah dengan imbalan mereka mendapat perlindungan dan kebebasan atas keyakinan agama mereka. ( )

Pihak Nasrani Najran juga memberikan pengakuan pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan mengadakan perjanjian yang sama dengan perjanjian yang diadakan dengan Nabi. Juga perlakuan terhadap Yahudi Khaibar sama dengan perlakuan Rasulullah terhadap mereka.

Nasrani Najran
Tatkala menjabat khalifah, Umar menempuh suatu langkah baru. la memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran itu mengosongkan perkampungan mereka, dengan mengatakan: "Selesaikanlah urusan mereka dan janganlah mereka diganggu dari agama mereka. Keluarkanlah barang siapa yang masih berpegang pada agamanya. Tempatkanlah Muslim, dan berkelilinglah di tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian biarlah memilih sendiri tempat lain. Katakan kepada mereka bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua agama di jazirah Arab.”

“Orang yang masih berpegang pada agamanya hendaklah keluar, kemudian kita beri mereka tanah seperti tanah mereka sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji kita memberi perlindungan kepada mereka sebagaimana diperintahkan Allah, menggantikan hubungan mereka dengan tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan," lanjutnya.

Muhammad Husain Haekal dalam “ Umar bin Khattab ” menyebutkan sebagian orang mengira bahwa kebijakan Khalifah Umar bin Khattab ini melanggar apa yang sudah ditempuh oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Abu Bakar. Kalangan orientalis berpegang pada alasan ini untuk menyerang Umar.

Tetapi kalangan sejarawan Muslim mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah SAW mengadakan perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu dari agama mereka "sepanjang mereka memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi ternyata mereka menjalankan riba dengan melipatgandakan; jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir mereka dari Semenanjung.

Sumber lain menyebutkan bahwa mereka saling berselisih di antara sesama mereka dan setelah perselisihan makin memuncak, mereka meminta kepada Umar agar mereka dikeluarkan dari perkampungan itu.

Dan yang lain lagi mengatakan, bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat, Umar khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. “Baik sebagian sumber ini autentik atau semua tidak, menurut hemat saya penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umar, untuk mengeluarkan mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan umum politik negara yang oleh Umar sudah diyakininya, lalu dengan tegas dan adil ia laksanakan,” tulis Haekal.

Menurut Haekal, untuk melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu tuduhan bahwa Umar fanatik, seperti yang dilontarkan kalangan orientalis! Mereka mengatakan itu berdasarkan keyakinan orang masa kita sekarang tentang kebebasan beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan Umar.

Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada kenyataan. Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang melawannya, bagi mereka termasuk hukum melawan agama, dan pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu Nabi Muhammad SAW diperangi ketika mengajak orang menyembah Allah dan agama Allah, dan karena agama pulalah maka terjadi perang dahsyat antara Romawi dengan Persia.



Keadaan tetap berjalan demikian di Eropa dan di luar Eropa sampai pada waktu belum berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah Perang Salib antara Islam dengan Kristen. Untuk itu pula terjadi beberapa tragedi pembantaian antara Katolik dengan Protestan.

Haekal menjelaskan Rasulullah SAW sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran karena kesatuan politik di Semenanjung ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman, yang sejak waktu lama sebelum Nabi Muhammad dan sebelum Nasrani mereka memang hidup dalam paganisme.

Sesudah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar, Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak kepada kekuasaan Madinah. Jadi wajar saja Abu Bakar mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah.

Kesatuan Agama
Perang Riddah sudah dapat menumpas kaum murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan mereka habis kemudian diteruskan dengan perang Irak dan Syam. Dari sini kemudian tergalang persatuan dan kesatuan politik dan kesatuan agama di segenap penjuru Semenanjung. Semua itu melahirkan sebuah kedaulatan dengan Madinah sebagai ibu kotanya dan kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah.

Tatkala Umar memegang kekuasaan, menurut Haekal, semua faktor penyebab lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakar sudah tak ada lagi. “Sudah tiba saatnya Umar harus memikirkan suatu rencana baru dalam politik negara yang akan dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai ke selatan Semenanjung dan Madinah menjadi ibu kotanya yang tak tersaingi,” tuturnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3787 seconds (0.1#10.140)