Lembah Keesaan: Cerita Lain tentang Mahmud dan Ayaz

Selasa, 22 September 2020 - 06:35 WIB
loading...
A A A


Sebuah suara dari dunia batin menjawab, "Kau, yang terutama telah diperkenankan ke tempat suci ini, ketahuilah bahwa ia yang menghendaki kebebasan dari penghambaan, harus membuang pikirannya dan tidak membiarkan dirinya diliputi kecemasan dan ketakutan."

Lukman berkata, "O Tuhan hamba, hanya Engkau yang hamba dambakan, dan hamba tahu bahwa hamba tak boleh membiarkan diri dipengaruhi angan-angan atau kecemasan dan ketakutan."

Setelah Lukman meninggalkan semua itu, ia pun berkata, "Kini hamba tak tahu siapa hamba. Hamba bukan abdi, tetapi siapakah hamba? Kedudukan hamba sebagai abdi sudah berakhir, tetapi kebebasan hamba tidak menggantikannya dalam hati hamba tiada suka maupun duka.



Hamba tanpa sifat, namun hamba tak kehilangan sifat, Hamba seorang perenung, namun hamba tak punya renungan. Hamba tak tahu apakah Engkau hamba atau hamba Engkau; hamba telah menjadi tiada dalam Engkau dan keduaan pun lenyaplah."

Menyelamatkan
Seorang wanita muda jatuh ke dalam sungai, dan pencintanya pun terjun hendak menyelamatkannya. Ketika si pencinta itu dapat meraihnya, wanita itu berkata, "Oh, mengapa kau pertaruhkan hidupmu karena aku?"

Jawab si pencinta, "Bagiku tiada orang lain kecuali kau. Bila kita bersama, maka sungguh aku ini kau, dan kau aku. Kita berdua ini satu. Kedua diri-kita satu, itu saja."

Bila keduaan lenyap, keesaan ditemukan.

Mahmud dan Ayaz
Ada diceritakan bahwa suatu kali Faruk: dan Masud hadir pada pameran barisan tentara Mahmud yang terdiri dari gajah, kuda dan pasukan prajurit yang tak terhitung banyaknya, sehingga bumi pun seakan tertutup dengan semut dan belalang. Ayaz dan Hassan menyertai Mahmud yang duduk di suatu tempat yang tinggi.



Ketika bala tentara yang hebat itu berjalan dalam barisan melalui mereka, raja besar itu dengan begitu saja berkata pada Ayaz, "Anakku, segala gajah, kuda dan prajuritku ini kini menjadi milikmu, karena cintaku padamu sedemikian rupa sehingga kupandang kau sebagai raja."

Meskipun kata-kata itu diucapkan oleh Mahmud yang termasyhur itu, namun Ayaz tampak tak peduli dan tak bergerak; tiada ia berterimakasih pada raja maupun memberikan ulasan.

Dengan heran, Hassan pun berkata padanya, "Ayaz, seorang raja telah memberikan kehormatan padamu, seorang hamba biasa, dan kau tak sedikit juga memperlihatkan tanda berterimakasih; kau pun tak pula membungkuk maupun bersujud sebagai tanda hormat."



Ayaz sedikit berpikir dan kemudian katanya, "Mesti kuberikan dua jawaban atas celaanmu: yang pertama ialah bahwa bila aku, yang tak punya ketetapan dan kedudukan ini, hendak menunjukkan pengabdianku pada raja, maka aku hanya dapat menjatahkan diri pada debu di hadapannya dalam semacam kehinaan diri atau jika tidak demikian, menyanyikan pujian-pujian untuknya dengan suara melolong-lolong. Antara berbuat berlebih-lebihan dan berbuat kelewat sedikit, lebih baik tak berbuat apa-apa."

"Hamba ini hamba raja, dan hormatku pada raja dianggap sebagai sudah semestinya. Adapun tentang kehormatan yang telah dianugerahkan raja yang berbahagia ini kepadaku, seandainya kedua dunia mesti menyatakan pujian-pujian untuknya, kesaksian keduanya itu pun tak akan sebanding dengan kebaikan raja. Kalau aku tak menunjukkan kelakuan yang berlebihan, dan tak menyatakan kesetiaanku, adalah karena aku merasa diriku tak layak berbuat demikian."

Hassan berkata, "O Ayaz, aku tahu sekarang bahwa kau merasa berterima kasih dan aku menaruh percaya padamu karena kau layak mendapat seratus karunia."

Kemudian tambahnya, "Kini katakan padaku jawaban yang kedua."

Tetapi Ayaz berkata, "Tak dapat aku bicara dengan bebas di hadapanmu; itu hanya dapat kulakukan kalau aku sendirian saja dengan raja. Kau bukan mahram rahasia itu."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2117 seconds (0.1#10.140)