Ponpes Nurul Ummahat, Ajarkan Keberagaman, Hafal Alquran, dan Berprestasi di Kampus
loading...
A
A
A
Warga Yogyakarta sudah tak asing lagi dengan Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ummahat. Ponpes yang terletak 300 meter di selatan Lapangan Karang, Kampung Prenggan KG/II RT 27/RW 06, Kotagede, ini adalah pondok putri.
Letaknya berada di tengah pemukiman warga. Tak ada gapura atau petunjuk di jalan masuk. Meski demikian, tak sulit untuk mencapai pondok ini. Hampir semua warga di Kotagede mengenalnya. Pengasuh ponpes ini, Kiai Abdul Muhaimin merupakan seorang “aktivis”. Tak heran jika ponpes ini semakin dikenal warga.
Pesantren ini didirikan tahun 1989. Awalnya Kiai Mufid dari Ponpes Sunan Pandangan Sleman menitipkan dua santri perempuan kepada Kiai Abdul Muhaimin dan Ibu Nyai Umi As'adah. Kiai Mufid saat itu berpesan untuk mengasuh dua santri perempuan tersebut. Dari situlah, Kiai Abdul Muhaimin dan Ibu Nyai Umi As'adah mendirikan ponpes putri dengan nama Nurul Ummahat.
Dari yang semula hanya dua santri, saat ini terdapat 80 santri yang modok di tempat ini. Para santriwati yang mondok terdiri dari berbagai jenjang pendidikan. Ada yang masih SMA dan menempuh kuliah S1 hingga S2. Total ada 64 santri menempuh S1 dan dua santri yang menempuh jenjang S2, sisanya SMA sederajat.
Rata-rata mereka memiliki prestasi di kampusnya. Hebatnya, dari 80 santri, 38 di antaranya hafal Alquran. “Kelulusannya semua cum laude,” kata Kiai Abdul Muhaimin melalui pesan WhatsApp kepada SINDOnews.
Kiprah Kiai Abdul Muhaimin dalam berbagai kegiatan sosial ternyata juga memberi warna. Berbagai kegiatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang menghadirkan tokoh-tokoh agama lain sering digelar di pondok ini. Para santri juga diajak menggeluti wacana gender, demokrasi, dan HAM, namun berbasis tafsir.
“Ponpes Putri Nurul Ummahat memang berbeda dengan pondok lainnya khususnya yang ada di Yogya. Pondok ini memiliki visi-misi modern, moderat, manusiawi. Ponpes ini pula terbuka untuk semua kalangan dalam arti, semua orang, baik personal atau organisasi bisa ikut belajar mengaji di sini,” ujar Eva Lutfiani ‘Azizah, salah satu santri di Nurul Ummahat.
Mahasiswi Manajeman Pendidikan Islam UIN Yogya ini mengakui latar belakang Kiai Abdul Muhaimin sebagai seorang aktivis memang memberi warna di pondok. Mereka secara langsung bisa melihat bagaimana bertoleransi dan berdemokrasi dari sosok kiainya.
“Umat agama lain pun tak jarang mengadakan live in di pesantren kami. Tentu, banyak pelajaran yang dapat kami amati dan fahami. Yang paling pokok adalah bagaimana kami bisa hidup di negara yang berasas Bhineka Tunggal Ika. Memahami berbagai pendapat dan perbedaan. Belajar dan mencoba berkolaborasi untuk mewujudkan cita-cita damai di negeri ini,” katanya.
Zaenab, salah satu alumni, menyebut hal yang membedakan Ponpes Nurul Ummahat dengan yang lain adalah toleransi dan kedekatan antara santri dan pengasuh. “Ponpes ini terbuka untuk semua kalangan, bahkan dari para mahasiswi kampus nonmuslim banyak yang nginep untuk penelitian atau tugas kampus lainnya,” ungkapnya.
Soal kendekatan pengasuh dan santrinya ini, Zaenab menceritakan secara khusus Kiai Abdul Muhaimin dan istrinya datang ke pernikahannya di Trenggalek, Jawa Timur. “Bapak pernah ngendika sopo wae santriku seng nikah bakal tak tekani. Sejauh manapun rumahnya kalau santrinya nikah beliau rawuh Pak. Dan itu dibuktikan saat saya nikah, Beliau khusus dari Yogya ke Trenggalek untuk menghadiri pernikahan saya,” ujarnya.
Saat pandemi corona ini santri yang tinggal di ponpes hanya 12 orang. Kebanyakan dari mereka pulang kampung saat wabah corona mulai merebak. Meski di tengah situasi yang sulit, para santri tak dikhawatir dengan berbagai kebutuhan karena pihak pondok menanggung kebutuhan mereka mulai dari makan, perlengkapan mandi sabun, sampo, pasta gigi, hingga pembalut diberikan gratis oleh pondok.
Kajian rutin juga tetap dilaksanakan. Setiap pagi para santri belajar kitab Faraidul Bahiyyah dan agak siang tadarus Alquran. Pada sore hari para santri belajar kitab At-Tibyan dan malam sehabis tarawih tadarus Alquran lagi. Khusus hari Jumat, habis salat subuh digelar kegiatan Ratib Al-Hadad kemudian dilanjutkan dengan ziaroh maqbaroh Ibu Nyai. (Ainun Najib)
Letaknya berada di tengah pemukiman warga. Tak ada gapura atau petunjuk di jalan masuk. Meski demikian, tak sulit untuk mencapai pondok ini. Hampir semua warga di Kotagede mengenalnya. Pengasuh ponpes ini, Kiai Abdul Muhaimin merupakan seorang “aktivis”. Tak heran jika ponpes ini semakin dikenal warga.
Pesantren ini didirikan tahun 1989. Awalnya Kiai Mufid dari Ponpes Sunan Pandangan Sleman menitipkan dua santri perempuan kepada Kiai Abdul Muhaimin dan Ibu Nyai Umi As'adah. Kiai Mufid saat itu berpesan untuk mengasuh dua santri perempuan tersebut. Dari situlah, Kiai Abdul Muhaimin dan Ibu Nyai Umi As'adah mendirikan ponpes putri dengan nama Nurul Ummahat.
Dari yang semula hanya dua santri, saat ini terdapat 80 santri yang modok di tempat ini. Para santriwati yang mondok terdiri dari berbagai jenjang pendidikan. Ada yang masih SMA dan menempuh kuliah S1 hingga S2. Total ada 64 santri menempuh S1 dan dua santri yang menempuh jenjang S2, sisanya SMA sederajat.
Rata-rata mereka memiliki prestasi di kampusnya. Hebatnya, dari 80 santri, 38 di antaranya hafal Alquran. “Kelulusannya semua cum laude,” kata Kiai Abdul Muhaimin melalui pesan WhatsApp kepada SINDOnews.
Kiprah Kiai Abdul Muhaimin dalam berbagai kegiatan sosial ternyata juga memberi warna. Berbagai kegiatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang menghadirkan tokoh-tokoh agama lain sering digelar di pondok ini. Para santri juga diajak menggeluti wacana gender, demokrasi, dan HAM, namun berbasis tafsir.
“Ponpes Putri Nurul Ummahat memang berbeda dengan pondok lainnya khususnya yang ada di Yogya. Pondok ini memiliki visi-misi modern, moderat, manusiawi. Ponpes ini pula terbuka untuk semua kalangan dalam arti, semua orang, baik personal atau organisasi bisa ikut belajar mengaji di sini,” ujar Eva Lutfiani ‘Azizah, salah satu santri di Nurul Ummahat.
Mahasiswi Manajeman Pendidikan Islam UIN Yogya ini mengakui latar belakang Kiai Abdul Muhaimin sebagai seorang aktivis memang memberi warna di pondok. Mereka secara langsung bisa melihat bagaimana bertoleransi dan berdemokrasi dari sosok kiainya.
“Umat agama lain pun tak jarang mengadakan live in di pesantren kami. Tentu, banyak pelajaran yang dapat kami amati dan fahami. Yang paling pokok adalah bagaimana kami bisa hidup di negara yang berasas Bhineka Tunggal Ika. Memahami berbagai pendapat dan perbedaan. Belajar dan mencoba berkolaborasi untuk mewujudkan cita-cita damai di negeri ini,” katanya.
Zaenab, salah satu alumni, menyebut hal yang membedakan Ponpes Nurul Ummahat dengan yang lain adalah toleransi dan kedekatan antara santri dan pengasuh. “Ponpes ini terbuka untuk semua kalangan, bahkan dari para mahasiswi kampus nonmuslim banyak yang nginep untuk penelitian atau tugas kampus lainnya,” ungkapnya.
Soal kendekatan pengasuh dan santrinya ini, Zaenab menceritakan secara khusus Kiai Abdul Muhaimin dan istrinya datang ke pernikahannya di Trenggalek, Jawa Timur. “Bapak pernah ngendika sopo wae santriku seng nikah bakal tak tekani. Sejauh manapun rumahnya kalau santrinya nikah beliau rawuh Pak. Dan itu dibuktikan saat saya nikah, Beliau khusus dari Yogya ke Trenggalek untuk menghadiri pernikahan saya,” ujarnya.
Saat pandemi corona ini santri yang tinggal di ponpes hanya 12 orang. Kebanyakan dari mereka pulang kampung saat wabah corona mulai merebak. Meski di tengah situasi yang sulit, para santri tak dikhawatir dengan berbagai kebutuhan karena pihak pondok menanggung kebutuhan mereka mulai dari makan, perlengkapan mandi sabun, sampo, pasta gigi, hingga pembalut diberikan gratis oleh pondok.
Kajian rutin juga tetap dilaksanakan. Setiap pagi para santri belajar kitab Faraidul Bahiyyah dan agak siang tadarus Alquran. Pada sore hari para santri belajar kitab At-Tibyan dan malam sehabis tarawih tadarus Alquran lagi. Khusus hari Jumat, habis salat subuh digelar kegiatan Ratib Al-Hadad kemudian dilanjutkan dengan ziaroh maqbaroh Ibu Nyai. (Ainun Najib)
(ysw)