Menghormati dan Memuliakan Tetangga

Selasa, 06 Oktober 2020 - 13:07 WIB
loading...
Menghormati dan Memuliakan Tetangga
Berbuat baik kepada tetangga bukan hanya berarti tidak mengganggu mereka, tetapi juga bertindak aktif untuk memberikan kebaikan kepada mereka. Foto ilustrasi/istimewa
A A A
Berbuat baik kepada tetangga termasuk perkara yang mulai hilang atau pudar di kalangan kaum muslimin. Bahkan kita jumpai di sebagian kota, seseorang tidak mengenal tetangganya sama sekali. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Padahal seharusnya tidak demikian. Rasūlullāh Shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan agar sesama tetangga harus saling mengenal , karena kepada tetangga terdapat hak-hak yang harus ditunaikan. Bahkan ada hadis Rasulullah yang memberi penegasan soal tetangga ini.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shalllalalhu alaihi was sallam, beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah (sempurna) iman seorang hamba sampai dia menyukai bagi tetangganya kebaikan yang dia suka untuk dirinya.” (Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

(Baca juga : Muslimah, Hati-hati dengan Perkara-Perkara Ini! )

Dalam uraian ceramahnya di laman dakwahnya, Ustadz Dr Firanda Andirja, Lc, MA menjelaskan, hadis tentang tetangga ini adalah hadis yang agung. Bahkan Rasūlullāh mengawali sabdanya ini dengan sumpah. Kata Rasūlullāh, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya”

Untuk apa Rasūlullāh bersumpah? Tidak lain adalah untuk menekankan agungnya hak tetangga . Bahkan AllāhTa'ala menyebutkan tentang tetangga ini dalam Al-Qurān. Allah berfirman,

والجَارِ الْجُنُبِ

“...Dan berbuat baiklah kepada tetangga dekat”. (QS. An-Nisā: 36)

Rasūlullāh Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Tidaklah beriman seorang hamba sampai dia menghendaki kebaikan bagi tetangganya, apa-apa kebaikan yang disuka untuk dirinya.”

Para ulama mengatakan bahwa ungkapan “tidaklah beriman seorang hamba” yang mengawali hadis ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dibelakangnya, yaitu “menyukai kebaikan bagi tetangga sebagaimana kita menyukai kebaikan-kebaikan itu untuk diri kita sendiri” merupakan perkara yang wajib.

(Baca juga : Etika Berpakaian yang Sering Terlewatkan )

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitābul Īmān, menjelaskan bahwasannya, “Tidaklah sesuatu dinafikan dalam syari’at kecuali karena ada suatu kewajiban yang ditinggalkan.”

Jadi, adanya penafikan dengan ungkapan, “tidaklah beriman seorang hamba” disebabkan oleh ada kewajiban yang ditinggalkan, yaitu “menyukai kebaikan bagi tetangga sebagaimana kita menyukai kebaikan-kebaikan itu untuk diri kita sendiri”

Perhatikan pula hadis yang umum yang berkaitan dengan hubungan sesama muslim,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sampai dia menghendaki kebaikan bagi saudaranya, apa kebaikan yang dia kehendaki untuk dirinya.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

(Baca juga : Mengapa Hanya Maryam, Perempuan Terpilih yang Diabadikan Al-Qur'an? )

Dari hadis ini dapat diambil pemahaman, jika kepada saudara secara umum, meskipun tetangga jauh atau bahkan bukan tetangga saja kita wajib untuk menghendaki kebaikan baginya selama dia seorang muslim, apalagi dengan tetangga yang dekat? Oleh karenanya, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, Rasulullah pernah bersabda,

مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Senantiasa malaikat Jibrīl ‘alayihissalām berwasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku menyangka malaikat Jibrīl akan menuliskan atau menetapkan warisan bagi tetangga.” (HR. Bukhari no. 6.014 dan Muslim no. 2.624)

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya tetangga bukan ahli waris kita. Kalau kita meninggal, tetangga tidak dapat mewarisi harta kita. Akan tetapi, karena sedemikian sering malaikat Jibrīl mewasiatkan kepada Rasulullah untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Rasulullah menyangka malaikat Jibrīl akan menulis bahwa tetangga akan memiliki jatah warisan.

(Baca juga : Kemenag: Seluruh Pesantren di Tanah Air Harus Bentuk Satgas Penanganan COVID-19 )

Namun ternyata hal itu tidak terjadi. Hal ini hanyalah penekanan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan perhatian malaikat Jibril terhadap tetangga. Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa hak-hak Tetangga mirip dengan hak-hak kerabat, karena Tetangga seakan-akan menjadi ahli waris.

Siapakah Tetangga Itu?

Terdapat khilaf di antara para ulama tentang “Siapakah tetangga itu?” Sebagian ulama mengatakan, “Tetangga ialah orang-orang yang saling bertemu di masjid (satu masjid).” Artinya, semakin dekat seorang tetangga semakin tinggi haknya. Tetangga yang pintunya paling dekat dengan pintu rumah kita memiliki hak yang paling tinggi untuk ditunaikan hak-haknya, seperti hak untuk dikunjungi/diziarahi, hak untuk dijenguk ketika sakit, hak untuk diakrabi, hak untuk berbagi makanan, dan lai-lain.

Sebagaimana telah datang hadis-hadis yang tegas menyeru kita untuk berbuat baik kepada tetangga, maka demikian pula sebaliknya telah datang hadis-hadis yang tegas melarang mengganggu tetangga. Di antara hadis-hadis tersebut :

(Baca juga : Paceklik Penerbangan Masih Panjang, Bos Garuda Ngarep Peluang Emas di Akhir Tahun )

Rasulullah bersabda :

«وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ» قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ»

“Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman !”. Dikatakan kepada Nabi, “Siapakah yang tidak beriman Ya Rasulullah?”. Nabi berkata, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (HR Al-Bukhari No. 6016)

Juga hadis: "Dari Abu Hurairah ia berkata, seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si fulanah disebutkan tentang banyaknya sholatnya, puasanya, dan sedekahnya, hanya saja ia mengganggu tetangga-tetangganya dengan lisannya”. Nabi berkata, “Ia di neraka”. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya si fulanah disebutkan tentang sedikitnya puasa, sedekah, dan sholatnya, dan ia hanya bersedekah dengan beberapa potong susu yang dikeringkan, dan ia tidak mengganggu tetangga-tetangganya dengan lisannya”. Nabi berkata, “Ia di surga” (HR Ahmad No. 9675 dengan sanad yang hasan)

(Baca juga : 32 Persen Klaster Keluarga Terpapar dari Tempat Kerja, Pengawasan Perkantoran Diperketat )

Contoh sederhana mengganggu tetanga di antaranya dengan membuat gaduh di rumah sendiri yang terdengar sampai di rumah tetangga, menyetel radio atau TV dengan suara yang keras sehinga mengganggu ketenangan dan istirahat tetangga, saluran air bocor sehingga masuk ke lingkungan rumah tetangga, tidak segera membuang sampah dari halaman sehingga baunya sampai ke rumah tetangga, dan lain-lain. Semua itu dilarang dan bertentangan dengan hadis yang mulia ini.

Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga bukan hanya berarti tidak mengganggu mereka, tetapi juga bertindak aktif untuk memberikan kebaikan kepada mereka. Misalnya dengan berbagi makanan jika kita memasak dan lain-lain yang akan membuat tetangga kita bahagia dan nyaman hidup berdampingan dengan kita.

(Baca juga : Berani! Ekonom Ini Duga Ada Permufakatan Jahat antara Pemerintah dan DPR Soal UU Ciptaker )

Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4302 seconds (0.1#10.140)