Kisah Perempuan Jujur di Zaman Imam Ahmad Bin Hanbal

Kamis, 08 Oktober 2020 - 15:08 WIB
loading...
Kisah Perempuan Jujur di Zaman Imam Ahmad Bin Hanbal
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
A A A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an

Salah seorang wanita tua mendatangi Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 Hijriyah), ulama besar pendiri Mazhab Hanbali untuk meminta fatwa. (Baca Juga: Kisah Khalifah Umar dan Gadis yang Jujur)

"Wahai Imam, saya ini seorang janda tua yang miskin. Saya memiliki banyak tanggungan anak-anak yang masih kecil. Saya tidak memiliki penghasilan yang tetap. Kadang kami makan, kadang pula tidak ada yang bisa dimakan.

Penghasilan yang bisa kuharapkan hanya dari menenun kain sebagai sampingan di malam hari, sebab seharian saya harus bekerja serabotan. Menenun pun hanya bisa saya lakukan di malam hari bila ada cahaya bulan, karena kami tidak memiliki kemampuan membeli minyak untuk cahaya lampu penerangan," kata wanita tua itu.

Imam Ahmad bin Hanbal terenyuh mendengar kisah pilu wanita itu. Beliau ingin segera mengulurkan bantuan, namun beliau ingin mendengar dahulu apa yang ingin disampaikan oleh wanita miskin itu.

"Lantas apa yang engkau inginkan, wahai ibu?" tanya Imam Ahmad.

"Saya hanya ingin bertanya dan meminta fatwa saja, wahai Imam!" ujarnya.

"Fatwa bagaimana, ibu?"

"Begini wahai Imam. Pada suatu malam, ada serombongan pasukan Khalifah memasang tenda di dekat rumah kami. Mereka memasang lampu-lampu penerangan, hingga cahaya biasnya masuk ke beranda rumah kami.

Di beranda itu ada temaram bias cahaya terang dari lampu penerangan para prajurit. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera saja menuju ke beranda bergegas menjahit pakaian, memanfaatkan sinar cahaya yang ada di beranda itu.

Keesokan harinya, setelah selesai jahitan itu saya jual ke pasar, saya justru ragu-ragu mengenai hukum hasil jahitan saya itu, apakah hasilnya halal dimakan atau kah haram, sebab saya baru menyadari bahwa bias temaram cahaya penerangan di malam itu berasal dari uang negara.

Saya memanfaatkan bias cahaya penerangan yang dibiaya negara, tanpa meminta izin pada Khalifah , halal kah hasil jahitan saya itu bagi saya dan anak anak saya?"

Imam Ahmad bin Hanbal terperangah mendengar sifat wara wanita tua. Sang Imam penasaran ingin mengetahui siapakah gerangan wanita tua itu. "Siapakah Anda sebenarnya, wahai ibu?"

Si wanita miskin itu menjawab lirih, "Saya saudara perempuan Bisr bin Hafi!" Makin terkejutlah Imam Ahmad bin Hanbal mendengar pengakuan wanita itu. ( )

Siapa Bisr Bin Hafi?
Bisr bin Hafi adalah seorang Gubernur yang sangat shaleh, adil dan bijaksana. Ia tak memperkenankan kerabat dan keluarganya, anak-anaknya menikmati serta memanfaatkan fasilitas kekuasaan negara.

Bisr bin Hafi, seorang Gubernur yang shaleh yang tak pernah memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi, bahkan adik beliau salah satu orang termiskin pada masa kekuasaannya.

Subhanallah. Begitulah orang-orang dahulu menjaga amanah serta berhati-hati menjaga diri agar tak tersentuh dalam hal-hal yang syubhat sekalipun, apalagi dari hal yang diharamkan.

Bayangkan hari ini? Ada orang yang ingin menjadi pegawai malah dengan cara-cara sogokan dan manipulasi. Ingin berkuasa dengan cara menghalalkan segala cara.

Bila ada pejabat yang berkuasa, anak cucunya pasti diangkat jadi wali kota. Kekuasaan negara dianggapnya kekuasaan keluarga, karena bapaknya, kakeknya dulu pernah jadi pahlawan memerdekakan bangsa katanya, tak peduli rakyat menderita dan sengsara dari ambisi syahwat politiknya.

Semoga kisah ini menjadi iktibar bagi kita semua. Kita berdoa semoga Allah memberi taufiknya agar kita termasuk golongan orang-orang yang amanah. Aamiin! ( )

Wallahu A'lam
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1455 seconds (0.1#10.140)