Beda Pendapat Hukum Salat Id: Sunnah, Fardhu Kifayah, dan Fardhu Ain
loading...
A
A
A
Ramadhan telah melewati pertengahan. Hari ini, Sabtu tanggal 16 Ramadhan 1441 bertepatan dengan 9 Mei 2020. Lebaran sebentar lagi. Idul Fitri diperkirakan akan jatuh pada tanggal 24 Mei 2020. Jika itu terjadi berarti puasa tahun ini digenapkan 30 hari.
Idul Fitri ditandai dengan salat dua rekaat, biasanya di lapangan atau di masjid. Di era corona ini, ulama menyarankan salat di rumah saja bersama keluarga. Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan hukum salat id? ( )
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang hukum salat Idul Fitri.
Pertama, salat Id hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Kedua, Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya salat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan salat Id itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Hambali.
Ketiga, Fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Sunnah
Mereka yang berpendapat sunnah, berdalil dengan hadis yang muttafaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
“Artinya: Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Salat lima waktu dalam sehari dan semalam”.
Ia bertanya lagi: Adakah saya punya kewajiban salat lainnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Beliau melanjutkan sabdanya, ”Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan”.
Ia bertanya: Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya?
Beliau menjawab, ”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”.
Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya.
Iapun bertanya ;”Adakah saya punya kewajiban lainnya? “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja”.
Perawi mengatakan :”Setelah itu orang ini pergi seraya berkata: Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini”.
(Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)”.
Mereka yang berpendapat salat id sunnah mengatakan, hadis ini menunjukkan bahwa salat selain salat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (fardhu) ‘Ain (bukan kewajiban perkepala).
Dua salat ‘Ied termasuk ke dalam keumuman ini, yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja. Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam “Al-Ausath IV/252”.
Fardhu Khifayah
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa salat id adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa salat Id adalah salat yang tidak diawali azan dan iqamat. Karena itu salat ini serupa dengan salat jenazah, padahal salat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula salat ‘Id juga merupakan syi’ar Islam.
Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
“Artinya: Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2]
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadis (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya salat ‘Id.
Fardu Ain
Sementara para pengikut pendapat ketiga, bahwa salat ied adalah fardhu ain, berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa salat ‘Id adalah wajib ‘Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan salat ‘Id di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan salat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa salat ‘Id termasuk jenis salat Jum’at, bukan termasuk jenis salat-salat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan salat ‘Id tanpa khutbah, persis seperti dalam salat Jum’at.
Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam salat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada salat khusus untuk istisqa’.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami salat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah.
Andaikata salat ‘Id itu sunnah, tentu Sayyidina Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin.
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak salat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci.
Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: ”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
“Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam salat Jum’at dan salat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita). “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.
Juga bahwa salat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan salat ‘Ied (yang tidak ada gantinya).
Salat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan salat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun).
Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan salat ‘Id, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju salat ‘Id.
Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan salat ‘Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negei Islam salat ‘ied ditinggalkan, sedangkan salat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.
“Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya”. [Al-Baqarah : 185].
Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan salat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu’ Fatawa XXIV/179-183].
Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Id dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Id menggugurkan kewajiban salat Jum’at. Padahal salat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].
Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadis (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
Pertama, mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan salat Jum’at, sehingga apalagi salat Id.
Kedua, mungkin pula karena hadis tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban salat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal salat Id termasuk kewajiban salat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah” halaman 39].
Adapun argumentasi yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa salat Id hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.
“Artinya : Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2].
Atau bahwa salat ‘Id merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa salat ‘Id hukumnya wajib ‘ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap salat jenazah bahwa salat ‘Id adalah salat yang tidak didahului azan maupun iqamat (qamat) hingga mirip dengan salat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.
Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Siapa yang berpendapat salat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan salat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat salat ‘Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat salat tersebut dapat tercapai..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya”. [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].
Imam Shana’ani, Imam Syaukani, Syaikh Al-Albani dan Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin berpegang kepada pendapat bahwa salat Id adalah “wajib ‘ain.
Di Lapangan atau Masjid
Pada hari raya idul fitri kita menyaksikan banyak umat Islam yang melaksanakan ibadah salat id di sebuah tanah lapang hal ini sesuai hadis rasullullah SAW yang menyatakan bahwa salat idul fitri di sebuah tanah lapang lebih afdhal daripada salat id dalam masjid
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.” (HR Abu Said)
Menurut pendapat Imam Malik salat Id baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan salat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
HM Cholil Nafis MA dalam tulisannya berjudul "Hukum Shalat Id di Masjid atau di Lapangan" yang dipublikasikan di laman Nahdlatul Ulama (23/9/2008) menjelaskan adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah salat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )
Mengerjakan salat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, karena dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya.
Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Namun demikian, menurut Cholil Nafis menunaikan salat Id di masjid lebih utama.
Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan salat Id) karena salat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan salat Id di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya salat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena salat di masjid lebih utama”
Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, karena diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka salat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan salat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Menurut Cholil Nafis, sebenarnya, melaksanakan salat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. ( )
Salat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan salat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.
Fokus utama dalam hukum salat Id ini, menurut dia, adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.
Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. ( )
Idul Fitri ditandai dengan salat dua rekaat, biasanya di lapangan atau di masjid. Di era corona ini, ulama menyarankan salat di rumah saja bersama keluarga. Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan hukum salat id? ( )
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang hukum salat Idul Fitri.
Pertama, salat Id hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Kedua, Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya salat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan salat Id itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Hambali.
Ketiga, Fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Sunnah
Mereka yang berpendapat sunnah, berdalil dengan hadis yang muttafaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
“Artinya: Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Salat lima waktu dalam sehari dan semalam”.
Ia bertanya lagi: Adakah saya punya kewajiban salat lainnya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Beliau melanjutkan sabdanya, ”Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan”.
Ia bertanya: Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya?
Beliau menjawab, ”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”.
Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya.
Iapun bertanya ;”Adakah saya punya kewajiban lainnya? “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja”.
Perawi mengatakan :”Setelah itu orang ini pergi seraya berkata: Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini”.
(Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)”.
Mereka yang berpendapat salat id sunnah mengatakan, hadis ini menunjukkan bahwa salat selain salat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (fardhu) ‘Ain (bukan kewajiban perkepala).
Dua salat ‘Ied termasuk ke dalam keumuman ini, yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja. Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam “Al-Ausath IV/252”.
Fardhu Khifayah
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa salat id adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa salat Id adalah salat yang tidak diawali azan dan iqamat. Karena itu salat ini serupa dengan salat jenazah, padahal salat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula salat ‘Id juga merupakan syi’ar Islam.
Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
“Artinya: Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2]
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadis (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya salat ‘Id.
Fardu Ain
Sementara para pengikut pendapat ketiga, bahwa salat ied adalah fardhu ain, berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa salat ‘Id adalah wajib ‘Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan salat ‘Id di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan salat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa salat ‘Id termasuk jenis salat Jum’at, bukan termasuk jenis salat-salat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan salat ‘Id tanpa khutbah, persis seperti dalam salat Jum’at.
Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam salat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada salat khusus untuk istisqa’.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami salat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah.
Andaikata salat ‘Id itu sunnah, tentu Sayyidina Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin.
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak salat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci.
Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: ”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
“Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam salat Jum’at dan salat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita). “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.
Juga bahwa salat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan salat ‘Ied (yang tidak ada gantinya).
Salat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan salat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun).
Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan salat ‘Id, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju salat ‘Id.
Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan salat ‘Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negei Islam salat ‘ied ditinggalkan, sedangkan salat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.
“Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya”. [Al-Baqarah : 185].
Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan salat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu’ Fatawa XXIV/179-183].
Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Id dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Id menggugurkan kewajiban salat Jum’at. Padahal salat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].
Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadis (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
Pertama, mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan salat Jum’at, sehingga apalagi salat Id.
Kedua, mungkin pula karena hadis tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban salat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal salat Id termasuk kewajiban salat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah” halaman 39].
Adapun argumentasi yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa salat Id hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.
“Artinya : Maka dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2].
Atau bahwa salat ‘Id merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa salat ‘Id hukumnya wajib ‘ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap salat jenazah bahwa salat ‘Id adalah salat yang tidak didahului azan maupun iqamat (qamat) hingga mirip dengan salat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.
Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Siapa yang berpendapat salat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan salat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat salat ‘Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat salat tersebut dapat tercapai..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya”. [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].
Imam Shana’ani, Imam Syaukani, Syaikh Al-Albani dan Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin berpegang kepada pendapat bahwa salat Id adalah “wajib ‘ain.
Di Lapangan atau Masjid
Pada hari raya idul fitri kita menyaksikan banyak umat Islam yang melaksanakan ibadah salat id di sebuah tanah lapang hal ini sesuai hadis rasullullah SAW yang menyatakan bahwa salat idul fitri di sebuah tanah lapang lebih afdhal daripada salat id dalam masjid
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.” (HR Abu Said)
Menurut pendapat Imam Malik salat Id baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan salat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
HM Cholil Nafis MA dalam tulisannya berjudul "Hukum Shalat Id di Masjid atau di Lapangan" yang dipublikasikan di laman Nahdlatul Ulama (23/9/2008) menjelaskan adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.
عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah salat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )
Mengerjakan salat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, karena dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya.
Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini. Namun demikian, menurut Cholil Nafis menunaikan salat Id di masjid lebih utama.
Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan salat Id) karena salat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan salat Id di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya salat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena salat di masjid lebih utama”
Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, karena diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka salat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan salat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)
Menurut Cholil Nafis, sebenarnya, melaksanakan salat Id hukumnya sunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. ( )
Salat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan salat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.
Fokus utama dalam hukum salat Id ini, menurut dia, adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.
Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. ( )
(mhy)