Benarkah Ka'bah Selalu Dikunjungi Salah Seorang Wali? (Bagian 3)
loading...
A
A
A
Ulasan tentang karamah para wali ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul "Apakah Seorang Wali Dapat Mengetahui Kewalian Dirinya?"
Pada ulasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa karamah waliyullah itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba’nya (ketaatannya) kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kemudian didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh. [ ]
Dalam Kitab Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang yang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid'ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka, padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka. Mereka tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan.
Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham di Basrah dan Makkah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal tersebut adalah kafir.
Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika beliau ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka'bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali , betulkah kabar itu? Al-Nasafi menjawab: "Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah , tetapi mungkin saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Nabi yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat. Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat."
Ibnu Hajar al-Haitami As-Syafi'i menjelaskan dalam Kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari belum terbenam, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya.
Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali , kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja'far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali.
Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi'i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wal-jama'ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul dari karamah para wali . Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin ‘Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. (Baca Juga: Ingin Jadi Waliyullah? Penuhi 12 Syarat Ini)
Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi'i berkata: "Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wal-jamaah. Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata. Tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukjizat.
Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional. Lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya.
Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah . Dalilnya adalah bahwa ilmu makrifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak.
Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali . Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
[ ]
(Bersambung)!
Sumber:
Kitab "Jami' Karamat Al-Aulia" karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani
Pada ulasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa karamah waliyullah itu benar-benar ada. Karamah adalah munculnya hal-hal luar biasa yang tidak dibarengi niat untuk menampakkannya, yang muncul di tangan seorang hamba untuk menampakkan kemaslahatan, dipakai untuk menetapkan ittiba’nya (ketaatannya) kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Kemudian didukung oleh keyakinan yang benar dan amal saleh. [ ]
Dalam Kitab Syarh Maqasid al-Maqasid, Al-Dulji berkata, "Orang-orang yang mengingkari karamah bukan termasuk ahli bid'ah. Anehnya, meskipun mereka belum pernah meyaksikan langsung karamah para wali dan belum pernah mendengarnya secara langsung dari para pemimpin mereka, padahal mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjauhi kemaksiatan, tetapi mereka mencaci maki wali-wali Allah sebagai pemilik karamah dan menyakiti hati mereka. Mereka tidak mengerti bahwa karamah didasarkan pada akidah yang jernih, jiwa yang bersih, jalan dan hakikat pilihan.
Bahkan sangat mengherankan pendapat sebagian ahli fikih pengikut Sunnah yang diriwayatkan Ibrahim bin Adham di Basrah dan Makkah pada hari tarwiyyah (lempar jumrah), yang menyatakan bahwa orang yang meyakini hal-hal tersebut adalah kafir.
Pendapat yang moderat diungkapkan oleh Al-Nasafi ketika beliau ditanya tentang suatu berita yang menyatakan bahwa Ka'bah selalu dikunjungi oleh salah seorang wali , betulkah kabar itu? Al-Nasafi menjawab: "Itu melanggar kebiasaan para wali yang menempuh jalan karamah , tetapi mungkin saja bagi orang yang mengikuti Sunnah Nabi yang biasa menempuh jarak jauh dalam waktu singkat. Hal-hal tersebut dimasukkan oleh para ahli fikih pengikut Hanafi dan Syafi'i ke dalam pembahasan masalah-masalah syariat."
Ibnu Hajar al-Haitami As-Syafi'i menjelaskan dalam Kitab Al-Fatawa bahwa jika seorang musafir tiba di suatu negeri saat matahari telah terbenam, lalu ia melaksanakan shalat Maghrib di sana, kemudian ia sampai di tempat pemberhentian lain yang di sana matahari belum terbenam, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya.
Munculnya makanan, minuman, dan pakaian secara gaib ketika dibutuhkan seperti yang terjadi pada para wali , kemampuan terbang di udara seperti dikutip dari Ja'far bin Abi Thalib dan Luqman al-Sarkhasi, kemampuan berjalan di atas air, berbicara dengan benda mati dan binatang seperti binatang ternak dan burung dan lain-lain adalah sebagian dari kejadian-kejadian luar biasa yang terjadi pada para wali.
Semua itu adalah penghormatan dari Allah untuk mereka, dan merupakan mukjizat bagi Rasul-Nya, meskipun beliau sudah wafat. Dalam hal ini, munculnya mukjizat tidak harus ketika Rasul masih hidup, tetapi juga bisa terjadi setelah beliau wafat. Demikian pula karamah bisa terjadi setelah sang wali wafat, seperti telah dijelaskan pada akhir penjelasan Sayyid Abdul Ghani al-Nablusi dalam Syarh al-Thariqah al-Muhammadiyyah.
Dalam kitabnya Nasyrul Mahasin al-Ghaliyyah, Imam Yafi'i mengutip pendapat tokoh-tokoh umat ahlus sunnah wal-jama'ah dan para syaikh tentang kemungkinan terjadinya sesuatu di luar adat yang muncul dari karamah para wali . Di antara ulama-ulama tersebut adalah Imam Haramain, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Fauraq, Hujjatul Islam Al-Ghazali, Fahruddin al-Razi, Nashiruddin al-Baidhawi, Muhammad bin ‘Abdul Malik al-Salma, Nashiruddin al-Thusi, Hafiduddin al-Nasafi, dan Abu Qasim al-Qusyairi. (Baca Juga: Ingin Jadi Waliyullah? Penuhi 12 Syarat Ini)
Setelah mengutip pendapat mereka, Al-Yafi'i berkata: "Mereka adalah sepuluh imam yang sebagiannya menyusun kitab-kitab dan memiliki pembicaraan tentang agama yang bisa dijadikan pegangan dalam bidang akidah ahlus sunnah wal-jamaah. Tidak perlu menyebut lebih banyak lagi, karena menyebut sepuluh saja sudah dianggap cukup. Mereka sepakat bahwa perbedaan antara karamah dan mukjizat adalah pada tingkat kenabian semata. Tidak satu pun dari mereka yang mensyaratkan bahwa jenis dan keagungan karamah tergantung kepada mukjizat.
Imam Abu Qasim al-Qusyairi mengungkapkan dalam Al-Risalah karyanya bahwa kemunculan karamah pada para wali mungkin terjadi karena bisa dipahami secara rasional. Lagi pula kemunculannya tidak melenyapkan asal-usul karamah, tetapi justru menunjukkan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Jika keberadaan karamah sangat tergantung kepada Allah, maka tidak ada satu pun hal yang dapat merintangi keberadaannya.
Kemunculan karamah merupakan tanda kejujuran orang yang memilikinya. Orang yang tidak jujur tidak mungkin mampu memunculkan karamah . Dalilnya adalah bahwa ilmu makrifat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga ia bisa membedakan antara orang yang jujur dengan orang yang batil ketika meniti jalan yang ditempuhnya adalah persoalan yang abstrak.
Hal-hal itu tidak akan terjadi kecuali pada para wali secara khusus, tidak pada orang yang hanya berpura-pura mengaku wali . Inilah persoalan karamah yang sedang kita bicarakan. Karamah pasti merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan dan menjelaskan sifat kewalian untuk menyatakan kebenaran keadaannya.
[ ]
(Bersambung)!
Sumber:
Kitab "Jami' Karamat Al-Aulia" karya Yusuf bin Ismail an-Nabhani
(rhs)