Iktikaf di Masa Wabah? Begini Penjelasan Ustaz Farid Nu'man

Senin, 11 Mei 2020 - 03:50 WIB
loading...
Iktikaf di Masa Wabah? Begini Penjelasan Ustaz Farid Numan
Ilustrasi iktikaf, berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah dalam rangka mencari keridhaan Allah Taala. Foto/Ist
A A A
Iktikaf (اعتكاف) berasal dari bahasa Arab "akafa" yang artinya menetap, mengurung diri. Secara umum Iktikaf dipahami sebagai ritual berdiam diri di dalam masjid untuk mencari keridhaan Allah Ta'ala.

Sebagaimana ibadah lainnya, iktikaf juga memiliki rukun, salah satunya adalah berdiam diri di masjid. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala: (Baca Juga: Sahkah I'itikaf di Masjid Rumah untuk Hindari Covid-19? )

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Janganlah kalian mencampuri mereka (istri), sedang kalian sedang iktikaf di masjid". (QS. Al-Baqarah: ayat 187)

Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia, Ustaz Farid Nu'man Hasan menjelaskan hakikat iktikaf . Beliau menukil perkataan Syeikh Sayyid Sabiq rahimahullah mengemukakan, hakikat dari iktikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta'ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut iktikaf. (Fiqhus Sunnah, 1/477)

Ketentuan iktikaf bagi kaum laki-laki mesti di masjid sebagaiman ijma' (kesepakatan ulama). Sedangkan bagi muslimah, para ulama mengatakan wajib di masjid, kecuali kalangan Hanafiyah mmbolehkan muslimah iktikaf di rumahnya. (Baca Juga: Di Tengah Wabah, Meraih Lailatul Qadar Haruskah dengan I'tikaf? )

Bagaimana Iktikaf Saat Kondisi Wabah?
Menurut Ustaz Farid Nu'man, kondisi pandemik wabah di bulan Ramadhan ini tidak memungkinkan iktikaf di masjid, maka hendaknya seorang muslim tetap beribadah, bermunajat, dan khalwat bersama Allah Ta’ala, di rumahnya. Semoga hal itu juga mendapatkan pahala dan keutamaan seperti iktikaf , sebab dia terhalang oleh udzur dan telah dihitung berdasarkan niatnya.

Hal ini berdasarkan beberapa dalil dan pertimbangan:

1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ حَضَرَهَا وَلَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

"Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke masjid (untuk berjamaah) dan dia dapatkan jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun". (HR. An Nasa'i No 855, dishahihkan oleh Imam Al-Hakim dan Syeikh Al-Albani)

2. Abu Dzar radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى

"Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan salat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya." (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa'i No. 1787. Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan: sahih. Lihat Takhrijul Ihya', No. 1133)

3. Dari Sahl bin Sa'ad As-Saidi radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

"Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya." (HR. Ath-Thabarani dalam Al Mu'jam Al Kabir, 6/185-186. Imam Al-Haitsami mengatakan: "Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya." (Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)

4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ

"Barang siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka dicatat baginya satu kebaikan." (HR. Muslim No. 130)

Semua Hadis di atas menunjukkan bahwa sebuah nilai kebaikan tetaplah diperoleh seorang hamba saat dia menginginkannya dan meniatkannya namun terhalang oleh udzur syar'i.

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan:

فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ

"Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun dia dihalangi uzur untuk melaksanakannya." (Ihya 'Ulumuddin, 4/352)

Sebagai tambahan, Imam Abul Hasan Al-Mawardi rahimahullah meriwayatkan sebuah hadis (tanpa sanad):

إِذَا كَانَ الْعَبْدُ يَعْمَلُ عَمَلًا ثُمَّ مَرِضَ أَمَرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ مَلَكَيْنِ أَنْ يَكْتُبَا لَهُ أَجْرَ عملهِ فِي صِحَّتِهِ

"Jika seorang hamba melaksanakan sebuah amal lalu dia sakit maka Allah memerintahkan dua malaikat untuk mencatat baginya pahala amal sebagaimana di saat sehatnya". (Al Hawi al Kabir, 2/300)

5. Dalam masalah iktikaf , ternyata ada qaul yang menyebutkan bahwa kaum laki-laki boleh juga iktikaf di rumah walau tidak dalam keadaan udzur, namun ini bukan pendapat yang muktabar. Tetapi, di masa adanya udzur pendapat ini bisa saja dijadikan pijakan.

Imam az-Zurqani rahimahullah mengatakan:

وَفِي وَجْهٍ لِلشَّافِعِيَّةِ وَقَوْلٍ لِلْمَالِكِيَّةِ: يَجُوزُ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ لِأَنَّ التَّطَوُّعَ فِي الْبُيُوتِ أَفْضَلُ

Pada satu pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyah, disebutkan bahwa bolehnya bagi kaum laki-laki dan wanita (iktikaf di rumah), karena ibadah sunnah di rumah itu lebih afdhal. (Syarh az Zurqani ‘alal Muwaththa’, 2/306)

6. Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha, Beliau berkata:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه

"Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan dua pilihan melainkan dia akan memilih paling ringan di antara keduanya, selama itu tidak berdosa, jika itu berdosa maka Beliau adalah manusia paling jauh darinya". (HR. Al-Bukhari No. 3560)

Maka, kondisi yang tidak memungkinkan ke masjid untuk iktikaf, padahal ada niat untuk itu namun masih bisa melakukannya di rumah maka hal itu bisa menjadi pilihan paling mungkin untuk dilaksanakan.

Beberapa Ketentuan:
1. Hendaknya seseorang meniatkan untuk bertaqarub kepada Allah Ta’ala di rumahnya, untuk mendapatkan keutamaan iktikaf di bulan Ramadhan .
2. Hendaknya tempat yang digunakannya di rumah adalah yang memang khusus untuk ibadah bukan untuk selainnya, jika dimungkinkan.
3. Jika kondisi kembali normal maka masjid kembali dibuka dan iktikaf wajib di masjid. (Baca Juga: Bagaimana Cara I'tikaf yang Baik? Ini Kata Quraish Shihab )

Wallahu A'lam
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1282 seconds (0.1#10.140)