Di Tengah Wabah, Meraih Lailatul Qadar Haruskah dengan I'tikaf?

Selasa, 05 Mei 2020 - 17:10 WIB
loading...
Di Tengah Wabah, Meraih Lailatul Qadar Haruskah dengan Itikaf?
I’tikaf bukanlah syarat untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
RAMADHAN hari ini adalah hari ke-12. Besok kita memasuki hari ke-13. Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (SAW) telah memberi kisi-kisi bahwa malam Lailatul Qadar akan turun 10 hari terakhir pada tiap Ramadhan. ( )

Ahmad Zarkasih, Lc, dalam buku "Meraih Lailatul Qadar, Haruskah I’tikaf?" menyebut tidak diragukan lagi bahwa ibadah yang sangat galak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika masuk sepuluh terakhir Ramadhan ialah beri’tikaf. Yaitu berdiam diri di masjid dengan segala kegiatan ibadah.

Namun, menurut Zarkasih, kaitannya dengan malam Lailatul Qadar, Itikaf bukanlah syarat dengan yang disyarati. "I’tikaf bukanlah syarat untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar," ujarnya.

Hanya saja, menurut Zarkasih, jika mampu beri’tikaf mengapa tidak? "Karena itu ialah sunnah yang sangat besar pahalanya. Dan itulah sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi selama 10 terakhir Ramadhan sepanjang hidup beliau," ujarnya.

‘Aisyah ra bercerita bahwa: “Nabi saw (selalu) beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau” (HR Bukhari & Muslim)

Tapi sesungguhnya, malam Lailatul Qadar tidaklah dikhususkan untuk mereka yang beri’tikaf saja, tapi siapapun yang ketika malam itu menghidupkan malamnya dengan ibadah.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau” (HR Bukhari)

Bagi mereka yang harus bekerja di malam hari, ia terhalang untuk bisa beri’tikaf. Juga bagi wanita yang tidak bisa beri’tikaf karena mendapatkan dirinya dalam keadaan tidak suci. Mereka-mereka ini masih punya kesempatan juga untuk mendapatkan kemuliaan malam Lailatul Qadar.

Menurut Zarkasih, i’tikaf itu sendiri bukanlah suatu kewajiban. "Hanya saja memang dengan beri’tikaf, kesempatan untuk terus beribadah sangatlah terbuka lebar," paparnya.

Orang yang beri’tikaf bagaimanapun keadaannya di masjid, ia tetap terhitung sebagai orang yang beri’tikaf dan tentu saja itu dalam ibadah, walaupun ia tidur.

Dan keinginan untuk beribadah sangatlah besar ketika seseorang itu berada dalam masjid, karena termotivasi oleh saudara-saudaranya yang sedang beri’tikaf juga.

Tetapi bagi yang tidak beri’tikaf, ia tidak bisa disebut dalam ibadah. Ibadahnya di rumah tentu tidak bisa disamakan dengan ibadahnya orang yang beri’tikaf, karena ia mendapatkan pahala lebih dari ritual i’tikafnya tersebut.

Anggota Tim Asatidz di Rumah Fiqih Indonesia itu selanjutnya menjelaskan semangat beribadah ketika berada dalam rumah tentu tidak sebesar ketika kita beri’tikaf di masjid. "Di rumah kita bisa saja berpaling dari ibadah ke kegiatan lain dengan sangat mudah. Sekitar kita ada ponsel, laptop yang bisa kita nyalakan kapan saja, remote control telivisi yang bisa kita pencet tombolnya untuk menonton," katanya.

Fokus ibadahnya pun menjadi buyar, karena banyak gangguannya. Dan itu berbeda jika kita berada dalam masjid ketika i’tikaf.

Orang yang beri’tikaf, karena kedekatannya dengan ibadah di malam itu, maka kedekatannya untuk mendapatkan malam Lailatul-Qadar pun menjadi sangat terbuka lebar.

I'tikaf di Tengah Wabah
Kini i’tikaf menjadi terganggu karena di tengah pandemi virus corona. Dalam kondisi saat ini, mengedepankan keselamatan diri sendiri dan masyarakat secara umum jauh lebih penting. Ustaz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember, Jawa Timur, berpendapat dalam kondisi saat ini i’tikaf cukup di ruangan yang dikhususkan untuk salat yang terdapat di rumah kita, atau yang biasa disebut dengan istilah masjid al-bait.

Menurut Ustaz Ali Zainal, melaksanakan ibadah i’tikaf di ruangan dalam rumah yang dikhususkan untuk salat hukumnya boleh dan sah dilakukan bagi perempuan menurut pandangan Imam Abu Hanifah dan qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’i.

Sedangkan bagi laki-laki juga sah dan diperbolehkan menurut pandangan sebagian ulama mazhab Syafi’i, dengan mengikut pada nalar “jika salat sunnah saja yang paling utama dilakukan di rumah, maka i’tikaf di rumah semestinya bisa dilakukan”.

Pandangan bolehnya i’tikaf di ruangan salat yang terdapat di rumah baik bagi laki-laki dan perempuan rupanya juga diusung oleh sebagian ulama mazhab Maliki.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1302 seconds (0.1#10.140)