Kisah Berkesan Bersama Habib Thahir Al-Kaff Dipertemukan Wali Mastur (3)
loading...
A
A
A
Ustaz Miftah el-Banjary
Pakar Ilmu Linguistik Arab
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Mobil taksi berhenti. Kami turun dari mobil. Sebenarnya tempat kami parkir masih sangat jauh dari lokasi tujuan. Tapi, apa mau dikata, jalanan begitu penuh dengan massa demo yang didominasi pendukung Presiden Morsie .
Beruntungnya, si sopir berkenan menemani kami membuka jalan lautan massa itu. Dia yang menolong kami melewati para pendemo yang wajah mereka telah tampak taring kemarahan atas apa yang sedang mereka alami. Kami berjalan lebih dari 1 kilometer.
[Baca Juga: Kisah Berkesan Bersama Habib Thahir Al-Kaff Dipertemukan Wali Mastur (1) ]
Malam itu, semua kemungkinan bisa saja terjadi pada kami. Hanya kami satu-satu WNI yang berada di lautan massa di malam itu. Wallahi, hanya kami orang Indonesia yang berada di tengah gelombang puncak demonstrasi yang pada akhirnya terjadi kerusuhan terbesar di Mesir yang berujung pada pembakaran Masjid Rabiatul Adawiyyah.
Kami lah saksi sejarah itu! Saya mengambil posisi berjalan tepat di belakang Habib Thahir; yang saya kenal melalui ceramah-ceramah beliau sejak tahun 2000-an terkenal sangat lantang, tegas pemberani menyampaikan kebenaran.
Saya meyakinkan diri saya, dengan berkah cucu Rasulullah صلى الله عليه وسلم insya Allah aman dan tak terjadi sesuatu apa-apa. "Kheir insya Allah."
Perjalanan kami sempat dicegat seseorang Mesir untuk meminta identitas kami. Sebab, kami orang asing di kerumunan massa itu.
Beruntung, Habib Thahir masih membawa paspor. Saya sendiri kelupaan membawa paspor, entah dua orang teman saya di belakang, apakah mereka membawa paspor.
Tapi yang jelas, satu paspor itu kami sudah diizinkan memasuki kerumunan lautan massa demontrasi di malam itu. Kami diizinkan melintasi ratusan atau ribuan massa yang awas mengamati kami. Di tangan mereka masing-masing memegangi benda-benda tajam yang bisa melukai, tongkat pemukul bisbol, ger besi dan senjata tajam lainnya.
Saya tidak membayangkan sekiranya ada kerusuhan atau penembak misterius, bagaimana nasib kami di malam itu. Wallahu A'lam.
( )
Akhirnya, beberapa lama dengan perasaan was-was, antara bangga dan takut, saya dan kawan-kawan berhasil selamat melewati gerombolan massa itu, tentu lagi-lagi dengan susah payah dan perasaan campur aduk berkecamuk. Menegangkan dan mencekam.
Si sopir mengarahkan apartemen yang kami maksudkan. Kami tinggal menerobos beberapa meter lagi. Sementara itu, di halaman apartemen itu ribuan orang memadati kawasan itu dengan suara bising teriakan-teriakan dan pekikan orasi yang membakar dari panggung orasi yang didirikan di halaman Masjid Rab'ah, bersebelahan dengan apartemen yang kami datangi.
Kami memasuki sebuah apartemen tua yang di bagian depannya terdapat pertanda "Baqalah" semacam kios dengan palang nama bertuliskan "Coca-Cola".
Kami menaiki tangga-tangga apartemen. Itulah tujuan tempat tinggal orang Mesir yang ingin dikunjungi Habib Thahir Al-Kaff itu. Bel dipencet. Pintu dibuka. Tampak seorang tua sepuh menyambut kami dengan sangat ramah dan hangat.
"Ahlan.. ahlan!! Marhaba ya Marhabaa!" Sambut empunya rumah dengan senang. "Fadhal.. fadhal khuz guwwah. Silakan masuk!" ucap orang Mesir itu dengan senyum bahagia.
Alhamdulillah, kami sudah sampai tujuan dengan selamat. Masa-masa menegangkan dan menakutkan baru saja kami alami seperti mimpi. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi sekiranya ada amukan massa di bawah tadi. Tentu, segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada kondisi yang sangat kacau dan buruk ini.
[ ]
(Bersambung)!
Pakar Ilmu Linguistik Arab
Pensyarah Kitab Dalail Khairat
Mobil taksi berhenti. Kami turun dari mobil. Sebenarnya tempat kami parkir masih sangat jauh dari lokasi tujuan. Tapi, apa mau dikata, jalanan begitu penuh dengan massa demo yang didominasi pendukung Presiden Morsie .
Beruntungnya, si sopir berkenan menemani kami membuka jalan lautan massa itu. Dia yang menolong kami melewati para pendemo yang wajah mereka telah tampak taring kemarahan atas apa yang sedang mereka alami. Kami berjalan lebih dari 1 kilometer.
[Baca Juga: Kisah Berkesan Bersama Habib Thahir Al-Kaff Dipertemukan Wali Mastur (1) ]
Malam itu, semua kemungkinan bisa saja terjadi pada kami. Hanya kami satu-satu WNI yang berada di lautan massa di malam itu. Wallahi, hanya kami orang Indonesia yang berada di tengah gelombang puncak demonstrasi yang pada akhirnya terjadi kerusuhan terbesar di Mesir yang berujung pada pembakaran Masjid Rabiatul Adawiyyah.
Kami lah saksi sejarah itu! Saya mengambil posisi berjalan tepat di belakang Habib Thahir; yang saya kenal melalui ceramah-ceramah beliau sejak tahun 2000-an terkenal sangat lantang, tegas pemberani menyampaikan kebenaran.
Saya meyakinkan diri saya, dengan berkah cucu Rasulullah صلى الله عليه وسلم insya Allah aman dan tak terjadi sesuatu apa-apa. "Kheir insya Allah."
Perjalanan kami sempat dicegat seseorang Mesir untuk meminta identitas kami. Sebab, kami orang asing di kerumunan massa itu.
Beruntung, Habib Thahir masih membawa paspor. Saya sendiri kelupaan membawa paspor, entah dua orang teman saya di belakang, apakah mereka membawa paspor.
Tapi yang jelas, satu paspor itu kami sudah diizinkan memasuki kerumunan lautan massa demontrasi di malam itu. Kami diizinkan melintasi ratusan atau ribuan massa yang awas mengamati kami. Di tangan mereka masing-masing memegangi benda-benda tajam yang bisa melukai, tongkat pemukul bisbol, ger besi dan senjata tajam lainnya.
Saya tidak membayangkan sekiranya ada kerusuhan atau penembak misterius, bagaimana nasib kami di malam itu. Wallahu A'lam.
( )
Akhirnya, beberapa lama dengan perasaan was-was, antara bangga dan takut, saya dan kawan-kawan berhasil selamat melewati gerombolan massa itu, tentu lagi-lagi dengan susah payah dan perasaan campur aduk berkecamuk. Menegangkan dan mencekam.
Si sopir mengarahkan apartemen yang kami maksudkan. Kami tinggal menerobos beberapa meter lagi. Sementara itu, di halaman apartemen itu ribuan orang memadati kawasan itu dengan suara bising teriakan-teriakan dan pekikan orasi yang membakar dari panggung orasi yang didirikan di halaman Masjid Rab'ah, bersebelahan dengan apartemen yang kami datangi.
Kami memasuki sebuah apartemen tua yang di bagian depannya terdapat pertanda "Baqalah" semacam kios dengan palang nama bertuliskan "Coca-Cola".
Kami menaiki tangga-tangga apartemen. Itulah tujuan tempat tinggal orang Mesir yang ingin dikunjungi Habib Thahir Al-Kaff itu. Bel dipencet. Pintu dibuka. Tampak seorang tua sepuh menyambut kami dengan sangat ramah dan hangat.
"Ahlan.. ahlan!! Marhaba ya Marhabaa!" Sambut empunya rumah dengan senang. "Fadhal.. fadhal khuz guwwah. Silakan masuk!" ucap orang Mesir itu dengan senyum bahagia.
Alhamdulillah, kami sudah sampai tujuan dengan selamat. Masa-masa menegangkan dan menakutkan baru saja kami alami seperti mimpi. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi sekiranya ada amukan massa di bawah tadi. Tentu, segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada kondisi yang sangat kacau dan buruk ini.
[ ]
(Bersambung)!
(rhs)