Takluknya Brandal Lokajaya kepada Sunan Bonang
loading...
A
A
A
SETELAH diusir ayahnya, Raden Said mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman . (
)
Disebut demikian karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya, melainkan diberikan kepada fakir miskin . Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat .
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya .
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas ,” pikir Brandal Lokajaya.
Ia terus mengawasi orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat!”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda... Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap. Dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.” ( )
“Tapi saat ini hari masih siang. Tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini,” sahut Lokajaya.
Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif. “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawaban yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said.
Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya.
Raden Said mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.” ( )
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!” jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?”
“Saya mengintai harta.”
“Untuk apa?”
Disebut demikian karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya, melainkan diberikan kepada fakir miskin . Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat .
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya .
Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan.
“Pasti gagang tongkat itu terbuat dari emas ,” pikir Brandal Lokajaya.
Ia terus mengawasi orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya sembari berkata, “Orang tua, apa kau pakai tongkat? Tampaknya kau tidak buta, sepasang matamu masih awas dan kau juga masih kelihatan tegar, kuat berjalan tanpa tongkat!”
Lelaki berjubah putih itu tersenyum, wajahnya ramah, dengan suara lembut dia berkata, “Anak muda... Perjalanan hidup manusia itu tidak menentu, kadang berada di tempat terang, kadang berada di tempat gelap. Dengan tongkat ini aku tidak akan tersesat bila berjalan dalam kegelapan.” ( )
“Tapi saat ini hari masih siang. Tanpa tongkat saya kira kau tidak akan tersesat berjalan di hutan ini,” sahut Lokajaya.
Kembali lelaki berjubah putih itu tersenyum arif. “Anak muda tongkat adalah pegangan, orang hidup haruslah mempunyai pegangan supaya tidak tersesat dalam menempuh perjalanan hidupnya.”
Agaknya jawaban yang mengandung filosofi itu tak menggugah hati Raden Said.
Dia mendengar dan mengakui kebenarannya tapi perhatiannya terlanjur tertumpah kepada gagang tongkat lelaki berjubah putih itu. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya.
Raden Said mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu, “Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.”
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah ! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.” ( )
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!” jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?”
“Saya mengintai harta.”
“Untuk apa?”