Begini Tata Cara Salat Saat Kondisi Bencana
loading...
A
A
A
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam buku " Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah " memfatwakan bahwa dalam situasi masyarakat sedang mengalami bencana atau dalam kondisi siaga bencana, maka pelaksanaan salat dapat menggunakan prinsip rukhsah (keringanan). Salat dapat dilakukan dengan dijamak.
Pelaksanaan salat dengan cara dijamak, dapat dilakukan dengan cara taqdim atau ta’khir. Dalil dari pelaksanaan salat jamak dalam situasi bencana adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, “ Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam salat zuhur dan Ashar di Madinah secara Jamak, bukan karena takut, dan juga bukan dalam perjalanan”.
Abu Az Zubair berkata, Saya bertanya kepada Sa’id ‘mengapa Beliau berbuat demikian?’” lalu dia menjawab, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana engkau bertanya demikian kepadaku”.
Ibnu Abbas berkata, “Beliau (Rasulullah) menghendaki agar tidak menyulitkan seseorang pun dari ummatnya” (HR Muslim).
Dalam hadis tersebut, Rasulullah diceritakan menjamak salat tidak dalam situasi bencana/ketakutan, melainkan dalam kondisi normal. Maknanya, dalam situasi bencana maka salat jamak dapat dilakukan.
Dalam situasi bencana, bagi siapa saja yang mengalami kesulitan untuk berdiri dalam melaksanakan salat karena cedera yang menimpanya atau karena alasan lain, maka ia bisa mengerjakannya dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, ia bisa melakukanya sambil berbaring. Sebagaimana kaidah ushul fiqih menyebutkan,
إنّ تعذّر الأصل يصار إلى البدلَ
Apabila uzur (berhalangan) pada yang asal (pokok/dasar), maka dialihkan pada penggantinya.
Bagaimana tata cara shalat pada saat evakuasi korban bencana?
Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, orang yang berada dalam situasi evakuasi di mana mereka tidak sempat salat, maka kewajiban salat tidak gugur bagi mereka. Karena salat adalah kewajiban yang tidak dapat digugurkan kecuali karena alasan: hilang akal sehat (gila dan semacamnya), haid atau nifas bagi perempuan.
Dalam kondisi salat tidak dapat dilakukan pada waktunya karena alasan darurat, maka salat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya).
Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk menqadha salat terutama bagi mereka yang tidak melaksanakan salat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkutan melakukan salat ketika ia terbangun atau ketika ingat, sebagaimana dinyatakan oleh hadis,
Dari Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, “para sahabat memberitahu kepada Nabi SAW bahwa mereka tertidur sehingga luput salat (pada waktunya), maka Nabi bersabda, “Tidak ada kelalaian karena ketiduran. Sesungguhnya lalai itu dalam keadaan terjaga. Maka apabila seseorang dari kalian lupa atau tertidur sehingga luput salatnya, maka kerjakanlah salat itu apabila telah ingat” (HR At Tirmidzi).
Permasalahan kehilangan waktu salat karena situasi evakuasi dapat diqiyaskan dengan orang yang tertidur dan lupa. ‘illatnya (sebab) adalah sama-sama luput dari salat secara tidak sengaja.
Lalu, berapa batasan waktu jamak pada saat bencana?
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan bahwa bagi yang dalam kondisi safar (perjalanan) batasan waktu jamak dan qashar baginya adalah 19 hari.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu salat qashar. Maka apabila kami berpergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar salat, dan apabila lebih, kami menyempurnakannya (HR Bukhari).
Sedangkan bagi yang berada dalam kondisi bencana, tidak ada batasan pasti kapan paling lama jamak dilakukan. Batasan sebenarnya adalah hilangnya kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) itu sendiri. Jadi, jika situasi yang menyulitkan untuk salat tanpa jamak berlangsung lama, maka selama waktu tersebutlah jamak dapat dilakukan.
Pelaksanaan salat dengan cara dijamak, dapat dilakukan dengan cara taqdim atau ta’khir. Dalil dari pelaksanaan salat jamak dalam situasi bencana adalah hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, “ Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam salat zuhur dan Ashar di Madinah secara Jamak, bukan karena takut, dan juga bukan dalam perjalanan”.
Abu Az Zubair berkata, Saya bertanya kepada Sa’id ‘mengapa Beliau berbuat demikian?’” lalu dia menjawab, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana engkau bertanya demikian kepadaku”.
Ibnu Abbas berkata, “Beliau (Rasulullah) menghendaki agar tidak menyulitkan seseorang pun dari ummatnya” (HR Muslim).
Dalam hadis tersebut, Rasulullah diceritakan menjamak salat tidak dalam situasi bencana/ketakutan, melainkan dalam kondisi normal. Maknanya, dalam situasi bencana maka salat jamak dapat dilakukan.
Dalam situasi bencana, bagi siapa saja yang mengalami kesulitan untuk berdiri dalam melaksanakan salat karena cedera yang menimpanya atau karena alasan lain, maka ia bisa mengerjakannya dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, ia bisa melakukanya sambil berbaring. Sebagaimana kaidah ushul fiqih menyebutkan,
إنّ تعذّر الأصل يصار إلى البدلَ
Apabila uzur (berhalangan) pada yang asal (pokok/dasar), maka dialihkan pada penggantinya.
Bagaimana tata cara shalat pada saat evakuasi korban bencana?
Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, orang yang berada dalam situasi evakuasi di mana mereka tidak sempat salat, maka kewajiban salat tidak gugur bagi mereka. Karena salat adalah kewajiban yang tidak dapat digugurkan kecuali karena alasan: hilang akal sehat (gila dan semacamnya), haid atau nifas bagi perempuan.
Dalam kondisi salat tidak dapat dilakukan pada waktunya karena alasan darurat, maka salat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya).
Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk menqadha salat terutama bagi mereka yang tidak melaksanakan salat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkutan melakukan salat ketika ia terbangun atau ketika ingat, sebagaimana dinyatakan oleh hadis,
Dari Abu Qotadah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, “para sahabat memberitahu kepada Nabi SAW bahwa mereka tertidur sehingga luput salat (pada waktunya), maka Nabi bersabda, “Tidak ada kelalaian karena ketiduran. Sesungguhnya lalai itu dalam keadaan terjaga. Maka apabila seseorang dari kalian lupa atau tertidur sehingga luput salatnya, maka kerjakanlah salat itu apabila telah ingat” (HR At Tirmidzi).
Permasalahan kehilangan waktu salat karena situasi evakuasi dapat diqiyaskan dengan orang yang tertidur dan lupa. ‘illatnya (sebab) adalah sama-sama luput dari salat secara tidak sengaja.
Lalu, berapa batasan waktu jamak pada saat bencana?
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan bahwa bagi yang dalam kondisi safar (perjalanan) batasan waktu jamak dan qashar baginya adalah 19 hari.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan bahwa) dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu salat qashar. Maka apabila kami berpergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar salat, dan apabila lebih, kami menyempurnakannya (HR Bukhari).
Sedangkan bagi yang berada dalam kondisi bencana, tidak ada batasan pasti kapan paling lama jamak dilakukan. Batasan sebenarnya adalah hilangnya kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) itu sendiri. Jadi, jika situasi yang menyulitkan untuk salat tanpa jamak berlangsung lama, maka selama waktu tersebutlah jamak dapat dilakukan.
Baca Juga
(mhy)