Jenis-Jenis Puasa Sunnah, Syarat Sah, dan Rukun Puasa

Senin, 01 Februari 2021 - 19:47 WIB
loading...
Jenis-Jenis Puasa Sunnah, Syarat Sah, dan Rukun Puasa
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
PUASA tak hanya di bulan Ramadhan . Rasulullah SAW telah mengajarkan bermacam-macam Puasa Sunnah . Ada Puasa Syawal, misalnya, yang merupakan puasa sunnah yang dilakukan selama enam hari pada bulan Syawal, pasca hari raya Idul Fitri. Lalu, Puasa Sunnah 1-7 Dzulhijjah, Puasa Arafah 9 Dzulhijjah, Puasa Muharram, Puasa Syaban, Puasa Ayyamul Bidh, Puasa Nabi Daud, dan Puasa Senin Kamis.

Ibadah puasa adalah ibadah yang luar biasa. Puasa Sunnah adalah menahan diri dari kegiatan makan dan minum, serta segala hal yang membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga Waktu Buka Puasa yaitu terbenanmya matahari, dimana bagi yang melaksanakannya akan mendapatkan pahala, dan bagi yang tidak melaksanakannya atau meninggalkannya tidak akan mendapatkan dosa.

Jadi bisa diartikan bahwa puasa sunnah adalah puasa yang tidak diwajibkan untuk dilakukan bagi umat islam, akan tetapi jika puasa tersebut dilakukan, maka akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Hikmah Puasa Sunnah adalah dapat menjauhkan diri dari segala perbuatan maksiat yang pada akhirnya akan berujung pada datangnya siksa dari Allah SWT. Selain itu, puasa juga bermanfaat bagi kesehatan kita. Selama menjalankan puasa, seseorang dilatih untuk dapat menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak diperbolehkan selama menjalankan puasa, serta membantu kita untuk menahan hawa nafsu.

Syarat puasa
Syarat secara bahasa artinya al-’alamah; tanda. Para ulama ushul fikih, mendefinisikan syarat sebagai: “Sesuatu yang jika ia tidak ada maka suatu amalan dianggap tidak ada. Namun dengan adanya dia, belum tentu suatu amalan dianggap ada, yang ia terletak di luar amalan.”

Maksudnya, jika suatu amalan, baik itu berupa ibadah atau akad muamalah, hilang darinya satu syarat saja maka amalan tersebut dianggap tidak ada atau tidak sah. Namun, dengan terpenuhinya satu syarat, tidak menjadikan amalan tersebut sah karena perlu melihat syarat-syarat yang lain. Contohnya, wudhu adalah syarat salat. Jika seseorang salat tanpa wudhu maka salatnya tidak sah. Dan wudhu ada di luar salat.

Sedangkan rukun, secara bahasa artinya al-’amud; tiang. Dan definisi rukun menurut para ulama ushul fikih adalah: “Sesuatu yang jika ia tidak ada maka suatu amalan dianggap tidak ada. Namun dengan adanya dia, belum tentu suatu amalan dianggap ada, yang ia terletak di dalam amalan.”

Maka rukun mirip dengan syarat, jika tidak terpenuhi satu saja, amalan dianggap tidak ada atau tidak sah. Bedanya, rukun berada di dalam amalan, sedangkan syarat berada di luar amalan. Contohnya, rukuk dan sujud adalah rukun salat. Salat seseorang tidak sah jika kurang satu sujud atau kurang satu rukuk, baik karena sengaja atau lupa. Sedangkan rukuk dan sujud ada di dalam salat.

Syarat puasa dibagi menjadi dua: syarat wajib dan syarat sah puasa. Syarat wajib artinya sesuatu yang jika ia tidak ada pada diri seseorang maka suatu amalan tersebut tidak wajib baginya. Sedangkan syarat sah artinya sesuatu yang jika ia tidak ada pada diri seseorang maka suatu amalan tersebut tidak sah baginya.

Syarat sah puasa

1. Islam

Islam adalah syarat sah dari semua amalan. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma`idah: 27)

Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”” (QS. Az-Zumar: 65)

2. Tamyiz

Anak kecil yang sudah mumayiz jika melakukan ibadah dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka sah ibadahnya. Adapun yang belum mumayiz, maka ia belum bisa beribadah sesuai berdasarkan niat dari dirinya. Maka tidak sah ibadahnya.

Juga berdasarkan hadis dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu

رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا، فَقالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَلِهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرٌ

“Seorang wanita mengangkat seorang anak kecil (ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kemudian ia berkata: ‘Apakah anak ini hajinya sah?’ Nabi menjawab: ‘Iya sah, dan engkau mendapatkan pahala.’” (HR. Muslim no. 1336)

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap sah ibadah haji anak kecil yang belum balig. Maka dengan demikian, ibadah-ibadahnya yang lain pun sah.

Patokan tamyiz menurut para ulama adalah ketika seorang anak sudah bisa memahami perkataan orang lain secara umum dengan baik.

3. Berakal

Orang yang tertutup akalnya, tidak sah dan tidak teranggap amalannya karena tidak ada niat dari dirinya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ القلَمُ عَنْ ثَلاثٍ ، عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ ، وَعَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبُرَ ، وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ

“Pena catatan amalan diangkat terhadap tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia besar, dan orang gila sampai ia berakal atau waras.” (HR. An-Nasa`i no.3432, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i)

4. Suci dari haid dan nifas

Wanita haid dan nifas tidak sah ibadahnya karena mereka berada dalam kondisi hadas akbar. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha pernah ditanya,

مَا بَالُ الحَائِضِ تَقْضِيْ الصَّوْمَ، ولَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقالَتْ: أَحَرُوْرِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قالَتْ: كاَنَ يُصِيْبُنَا ذلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، ولَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Mengapa wanita haid mengganti puasanya namun tidak mengganti shalat?” Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang wanita Haruriyah (Khawarij)?” Penanya berkata, “Bukan, aku bukan wanita Haruriyah, namun aku sekedar bertanya.” Aisyah berkata, “Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” “(HR. Al-Bukhari no. 321, Muslim no.335)

Hadis ini menunjukkan bahwa wanita haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak berpuasa namun mengganti di hari lain.

Mengenai nifas, Ummu Salamah radhiyallahu ’anha mengatakan:

كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا

“Dahulu wanita yang sedang nifas di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (tidak shalat dan puasa) selama 40 hari.” (HR. Ibnu Majah no. 530, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita nifas di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak berpuasa.

5. Masuk waktu

Puasa hanya sah jika dikerjakan pada waktunya. Yaitu, ketika bulan Ramadan dan antara terbit fajar shadiq sampai tenggelam matahari. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al- Baqarah: 187)

Yang dimaksud dengan khaithul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِيْ يَكُوْنُ كَذَنَبِ السِّرْحَانِ فَلَا يَحِلُّ الصَّلَاةُ وَلَا يُحَرِّمُ الطَّعَامَ، وَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِيْ يَذْهَبُ مُسْتَطِيْلًا فِيْ الأُفُقِ فَإِنَّهُ يَحِلُّ الصَّلَاةُ وَ يُحَرِّمُ الطَّعَامَ

“Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (subuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (subuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa).” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

6. Niat

Niat adalah syarat sah semua amalan. Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّما الأعْمالُ بِالنِّيَّةِ، وإنَّما لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya. Dan amalan-amalan akan diganjar sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa yang niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun dianggap berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk suatu tujuan duniawi, atau untuk menikahi seorang wanita maka ganjaran hijrahnya sebatas itu saja.” (HR. Al-Bukhari no.1, Muslim no. 1907)

Untuk puasa wajib, niat harus dijatuhkan dalam hati sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. An-Nasa`i no. 2331, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i)

Adapun puasa nafilah (sunnah) maka boleh menghadirkan niat setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ ! هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ قَالَتَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘Kalau begitu aku akan puasa.’” (HR. Muslim no. 1154)

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan:

وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ

“Hadis ini merupakan dalil bagi jumhur ulama bahwa dalam puasa sunnah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal (matahari mulai bergeser dari tegak lurus).” (Syarah Shahih Muslim, 8/35)

Syarat wajib puasa
1. Islam

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang-orang kafir juga mukhaththab bi furu’isy syar’iyyah (menjadi objek hukum-hukum syar’i dalam masalah furu’). Sehingga mereka juga terkena kewajiban shalat, puasa, dan zakat. Namun, andai mereka mengerjakannya, tetap tidak sah hingga mereka masuk Islam. Di antara dalilnya, Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir.

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

(mereka ditanya) mengapa kalian masuk neraka Saqar? Mereka (orang-orang kafir) menjawab: “Dahulu kami tidak shalat.”” (QS. Al-Muddatstsir: 42-43)

Sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa orang-orang kafir mukhaththab bi ushulis syar’iyyah (menjadi objek dari hukum-hukum syar’i dalam masalah ushul) saja. Yaitu, mereka wajib mentauhidkan Allah, wajib mengimani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengimani hari Akhir, dan seterusnya. Adapun shalat, puasa, dan zakat, maka tidak ada kewajiban bagi mereka hingga mereka masuk Islam.

‘ala kulli hal, tidak mengapa kita sebutkan bahwa “Islam” adalah salah satu syarat wajib puasa.

2. Baligh

Ketika orang anak menginjak usia balig, barulah ia terkena beban syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ ، وَعَنِ الصَّبيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal.” (HR. An-Nasa`i no. 7307, Abu Dawud no. 4403, Ibnu Hibban no. 143, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3513)

Patokan balig bagi anak laki-laki adalah salah satu dari perkara berikut ini:

– Keluar mani, baik karena mimpi basah atau sebab lainnya
– Berusia 15 tahun
– Tumbuh rambut kasar di sekitar kemaluan

Adapun patokan balig bagi anak perempuan adalah salah satu dari perkara berikut ini:

– Keluar mani, baik karena mimpi basah atau sebab lainnya
– Berusia 15 tahun
– Tumbuh rambut kasar di sekitar kemaluan
– Haid
– Hamil

3. Berakal

Seseorang dikenai beban syariat ketika ia memiliki akal. Orang yang gila, pingsan, koma, tidak dikenai beban syariat hingga kembali akalnya. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ القلَمُ عَنْ ثَلاثٍ ، عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ ، وَعَنِ الصَّغِيْرِ حَتَّى يَكْبُرَ ، وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيْقَ

“Pena catatan amalan diangkat terhadap tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia besar, dan orang gila sampai ia berakal atau waras.” (HR. An Nasa`i no.3432, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i)

4. Mukim (tidak sedang safar)

Orang yang sedang dalam perjalanan jauh, tidak ada kewajiban untuk berpuasa. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.

5. Suci dari haid dan nifas

Wanita haid dan nifas tidak diperbolehkan berpuasa karena ia dalam kondisi hadas akbar. Telah kami sebutkan dalilnya di pembahasan syarat sah puasa.

6. Mampu berpuasa

Orang yang tidak mampu berpuasa karena ada udzur seperti sakit, atau sudah tua, atau uzur yang lain, maka tidak ada kewajiban berpuasa. Jika uzurnya bersifat sementara, maka ia wajib mengganti di hari lain. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Namun, jika uzurnya terus-menerus seperti, sakit kronis yang harapan sembuhnya kecil, kondisi tua renta, dan tidak mungkin bisa puasa lagi, dan semisalnya, maka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Allah Ta’ala berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Demikianlah, dalam agama Islam, kewajiban itu tergantung kemampuan. Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Rukun puasa

1. Niat

Ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa niat adalah rukun puasa, bukan syarat. Karena niat puasa selalu ada dalam diri seseorang, kecuali ia berniat membatalkan puasanya. Sedangkan ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa niat adalah syarat sah puasa, bukan rukun. Karena niat dilakukan sebelum fajar, di luar puasa.

Terlepas dari perbedaan ulama dalam masalah ini, orang yang berpuasa Ramadan wajib berniat di malam hari sebelum fajar. Tidak sah puasa orang yang tidak berniat. Dalil-dalilnya telah kami sebutkan pada bagian ‘syarat sah puasa’.

2. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga tenggelam matahari

Dalilnya firman Allah Ta’ala :

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dan dalam hadis, dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا، وغَرَبَتِ الشَّمْسُ فقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” (HR. Al-Bukhari no.1954, Muslim no.1100)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.1116 seconds (0.1#10.140)