Sering Sujud, Kulit Kening Ali bin Abu Thaib Menebal dan Keras Kehitam-hitaman

Rabu, 24 Februari 2021 - 05:00 WIB
loading...
Sering Sujud, Kulit Kening Ali bin Abu Thaib Menebal dan Keras Kehitam-hitaman
Ilustrasi Ali Bin Abi Thalib/Ist/mhy
A A A
Ali bin Abu Thalib r.a. merupakan orang yang paling tekun dan banyak beribadah. Ia pun paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya.



Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini menceritakan bila sedang menghadap ke hadhirat Allah 'Azaa wa Jalla, Ali bin Abu Thalib r.a. sedemikian khusyu' dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan pikiran dan perasaannya. Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan salat, Ali bin Abu Thalib r.a. tekun berwirid, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata.

Di malam yang sangat mengerikan itu, Ali bin Abu Thalib r.a. bersembah sujud di hadapan Allah SWT, padahal tidak sedikit anak panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang berjatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas.

Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-hitaman. Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepada Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ikhlas.

Hatinya, perbuatannya dan ucapannya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah. Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Ali bin Abu Thalib r.a.-- pernah ditanya orang tentang "bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?"

Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: "Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasulullah SAW"

Tentang ibadah Ali bin Abu Thalib r.a. ini, 'Urwah bin Zubair mengemukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:



Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-sela batang kurma yang sangat lebat: Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tiba-tiba aku mendengar suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku, betapa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat.

Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak dosaku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'…"

"Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di tengah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t.

Di antara munajat yang diucapkannya ialah: "Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan keampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahanku."

Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kupikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk salat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan kubalik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya."

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaannya?"

Sesudah kujelaskan keadaan Ali bin Abu Thalib r.a., Sitti Fatimah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa "…dia sedang pingsan, karena sangat takut kepada Allah!"

Bada juga: Muawiyah Tinggal di Istana Megah, Ali bin Abu Thalib: Itu Istana Celaka!

Keluarganya lantas mendatangi Ali bin Abu Thalib r.a. dengan membawa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang kepadaku dan aku menangis.

Ia bertanya: "Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?"

"Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku.

"Hai Abu Darda," ujar Ali bin Abu Thalib r.a. lebih lanjut, "bagaimanakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk menghadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang berbuat dosa sedang menderita siksa azab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya."

"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasulullah SAW yang lain…," sahut Abu Darda.

Itulah keistimewaan Ali bin Abu Thalib r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Ali bin Abu Thalib r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Ali bin Abu Thalib r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.

Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Ali bin Abu Thalib r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut: "Pada satu hari aku menginap di rumah Ali bin Abu Thalib r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?"

"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.



"Hai Nauf," ujar Ali bin Abu Thalib r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!"

Selama hidupnya Ali bin Abu Thalib r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Ali bin Abu Thalib r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggalkan salat malam semenjak kudengar Rasulullah SAW mengatakan, bahwa salat malam itu adalah cahaya."

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Ali bin Abu Thalib r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang untuk beribadah."

Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Ali bin Abu Thalib r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah.

Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasulullah SAW.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekadar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekadar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"

Di samping Ali bin Abu Thalib r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban salat, ia pun terus-menerus mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan salat tepat pada waktunya.

Salat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia. Hanya salatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasulullah SAW salat diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim.

Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!



Sekalipun Rasulullah SAW telah menjanjikan nikmat kepada Ali bin Abu Thalib r.a., namun kewajiban salat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…" (S. Thaha: 132).
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2344 seconds (0.1#10.140)