Sholat Jum’at Online Saat Darurat, Begini Pendapat Muhammadiyah

Kamis, 04 Maret 2021 - 15:42 WIB
loading...
Sholat Jum’at Online Saat Darurat, Begini Pendapat Muhammadiyah
Ilustrasi/muhammadiyah.or.id
A A A
Problematika umat di tengah pandemi semakin bertambah. Kali ini giliran ibadah-ibadah jama’ah yang terbatasi karena dapat berpotensi menjadi saluran penyebaran virus covid-19 . Salah satunya adalah sholat jumat , sholat yang diwajibkan dilakukan secara berjamaah ini terhalang pandemi.

Beberapa bulan lalu saat awal pandemi covid-19 menyerang sholat jumat sempat ditiadakan untuk berjaga-jaga dan menjaga umat dari bahaya virus. Hal ini lama berlangsung hingga muncul suatu gagasan ijtihad untuk melakukan sholat jumat secara daring atau online.



Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengeluarkan beberapa fatwa berkaitan dengan shalat Jum‘at, di antaranya adalah fatwa tentang shalat Zuhur gantinya shalat Jum‘at, yakni seseorang yang tidak bisa melaksanakan shalat Jum‘at karena suatu hal maka penggantinya adalah shalat Zuhur.

Pada Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.0/H/2020 tertanggal 14 Maret 2020 tentang Tuntunan Ibadah pada masa Pandemi Covid-19 juga disebutkan kebolehan shalat Jum‘at di rumah untuk menghindari penyebaran virus corona: Apabila kondisi dipandang darurat maka pelaksanaan shalat Jum‘at dapat diganti dengan shalat Zuhur di rumah.

Berkaitan dengan sholat jumat daring, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan ibadah Jum‘at online adalah khutbah dan shalat Jum‘at yang dilaksanakan secara online atau dalam jaringan (daring) melalui aplikasi telekonferensi video, dalam hal ini Zoom Clouds Meeting, sehingga membutuhkan ketersediaan teknologi informasi berupa perangkat keras seperti laptop, komputer atau gawai; jaringan atau daya listrik; serta jaringan internet dan paket data yang memadai. Termasuk dalam persoalan ini adalah shalat Jum‘at berimam pada siaran on air radio dan televisi.

Ibadah Khusus
Ibadah Jum‘at online ini dilakukan atas dasar prinsip at-taysīr (kemudahan) pada situasi darurat pandemi Covid-19, sebab tidak mungkin dilakukan secara normal dengan mengumpulkan banyak orang di masjid.

Hal ini karena salah satu protokol kesehatan terkait pandemi Covid-19 adalah tidak boleh berkerumun atau mengumpulkan banyak orang di suatu tempat.

Jadi, ibadah Jum‘at online, selanjutnya cukup disebut shalat Jum‘at online, merupakan persoalan kekininan yang belum pernah dipraktikkan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam. Shalat Jum‘at online ini termasuk persoalan ijtihādī, sehingga memunculkan ragam pendapat dalam memahaminya.

Sholat Jum‘at adalah salah satu bentuk ibadah maḥḍah (ibadah khusus). Yang dimaksud dengan ibadah adalah sebagai berikut,

اَلْعِباَدَةُ هِيَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللهِ بِامْتِثاَلِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَاْلعَمَلِ بِماَ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ، وَهِيَ عَامَّةٌ وَخَاصَّةٌ، فَاْلعَامَّةُ كُلُّ عَمَلٍ أَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ، وَاْلخَاصَّةُ ماَ حَدَّدَهُ الشَّارِعُ فِيْهاَ بِجُزْئِيَّاتٍ وَهَيْئَاتٍ وَكَيْفِيَّاتٍ مَخْصُوْصَةٍ.

Artinya: “Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah itu meliputi ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu” [HPT, 2009, I: 278-279].

Sholat Jum‘at termasuk ibadah khusus (ibadah maḥḍah), yaitu ibadah yang telah ditentukan rincian tata cara pelaksanaannya baik mengenai kaifiat, perbuatan maupun ucapannya yang harus dibaca. Dalam pelaksanaan ibadah khusus (ibadah maḥḍah) itu terdapat ketentuan-ketentuan umum, yaitu harus mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam tentang cara-cara dan rincian kaifiatnya dan tidak boleh dibuat-buat, sebagaimana dituntunkan dalam beberapa nas syariah,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَآءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ].

Artinya:“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain dari Allah yang mensyariatkan untuk mereka aturan agama yang tidak diizinkan Allah” [Q.S. asy-Syūrā: 21].

عَنْ أَنَسٍ قَالَ … قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْرِ دِيْنِكُمْ فَإِلَيَّ [رواه أحمد واللفظ له وابن ماجه وابن حبان وابن خزيمة].

Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: … Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Apabila ada suatu urusan duniamu, maka kamu lebih tahu mengenainya, dan apabila ada suatu urusan mengenai agamamu, maka kembali kepadaku” [H.R. Aḥmad, Ibn Mājah, Ibn Ḥibbān, dan Ibn Khuzaimah].

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهاَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Dari ‘Āisyah radhiyallahu anha (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami ini sesuatu yang tidak termasuk ke dalamnya, maka ditolak” [H.R. al-Bukhārī dan Muslim].

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [رواه سلم].

Dari ‘Āisyah (diriwayatkan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak berdasarkan kepada perintah kami, maka ditolak [H.R. Muslim].

… صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى [رواه البخاري].

Artinya:… Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat [H.R. al-Bukhārī].

Atas dasar nas-nas di atas para fukaha merumuskan kaidah fikihiah mengenai ibadah sebagai berikut,

اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ التَّحْرِيْمُ حَتَى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهَا عِبَادَةٌ مَشْرُوْعَةٌ.

Artinya: “Pada asasnya ibadah itu dilarang untuk dilakukan kecuali yang terdapat dalil yang menunjukkannya sebagai ibadah yang masyruk.”

اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ التَّوْقِيْفُ فَلاَ يُشْرَعُ مِنْهَا إِلَّا مَا شَرَعَهُ اللهُ.

Artinya: “Pada asasnya ibadah itu bersifat taukif, sehingga tidak sah dilakukan, kecuali yang disyariatkan Allah.”

اَلْأَصْلُ فِي اْلعِبَادَاتِ اْلبُطْلَانُ إِلاَّ مَا شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ.

Artinya: “Pada asasnya ibadah itu batal kecuali yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.”



Untuk memahami berbagai masalah agama (akidah, akhlak, ibadah, dan muamalat dunyawiah) digunakan suatu sistem pemahaman yang disebut Manhaj Tarjih.

Manhaj Tarjih sebagai kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang agama Islam tidak sekadar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis, melainkan juga dilandasi oleh wawasan atau perspektif pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah. Salah satu wawasan/perspektif dalam Manhaj Tarjih itu adalah wawasan tajdid.

Tajdid mempunyai dua arti, purifikasi atau pemurnian dan dinamisasi. Dalam bidang akidah dan ibadah tajdid bermakna purifikasi atau pemurnian, yakni mengembalikan kepada kemurniannya sesuai dengan Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam.

Sedangkan dalam bidang muamalat duniawiyah tajdid berarti dinamisasi kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman. Shalat Jum‘at merupakan bagian dari ibadah, sehingga tajdid dalam persoalan shalat Jum‘at adalah purifikasi, bukan dinamisasi, sehingga harus dikembalikan kepada kemurniannya.

Beberapa ketentuan ibadah sholat Jum‘at tersebut adalah sebagai berikut,

Hukum Sholat Jum‘at
Shalat Jum‘at hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang telah memenuhi persyaratan, hal ini dijelaskan beberapa dalil berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوآ إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [Q.S. al-Jumu‘ah :9].

Ayat ini berisi tentang seruan atau panggilan untuk melaksanakan shalat Jum‘at. Panggilan tersebut berupa azan, artinya apabila muazin telah mengumandangkan azan untuk shalat Jum‘at maka umat Islam harus bergegas mendengarkan khutbah dan melaksanakan shalat Jum‘at. Adapun disebut Jum‘at artinya berkumpulnya manusia pada hari itu untuk melaksanakan shalat Jum‘at di tempat yang luas dan besar seperti masjid yang dilakukan sekali dalam satu pekan (lihat Ibnu Kaṡir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓim 4/365-367, Wahbah az-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr 14/573 dan Muhammad ‘Alī aṣ-Ṣābūnī, Tafsīr Āyāt al-Aḥkām II/569-586).

Selain itu Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam mempertegas wajibnya shalat Jum‘at dalam sebuah hadis,

عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ ]رواه أبو داود[.

Artinya: “Dari Thāriq bin Syihāb (diriwayatkan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam beliau bersabda: Shalat Jum‘at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat golongan, yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit” [H.R. Abū Dāwūd].

Wajibnya melaksanakan shalat Jum‘at ini juga disertai dengan beberapa ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bagi orang yang meninggalkannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadis,

عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِقَوْمٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنِ الْجُمُعَةِ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ [رواه أحمد].

Artinya: “Dari ‘Abdullāh (diriwayatkan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda kepada kaum yang meninggalkan shalat Jum‘at: Sungguh aku berkeingian untuk memerintahkan kepada salah seorang shalat bersama orang-orang, kemudian aku bakar rumah-rumah dari orang-orang yang meninggalkan (shalat) Jum‘at” [H.R. Aḥmad].

حَدَّثَنِي الْحَكَمُ بْنُ مِينَاءَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَاهُ أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ [رواه مسلم].

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku al-Ḥakam bin Minā’ bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar dan Abū Hurairah keduanya telah menceritakan kepadanya (diriwayatkan), bahwa keduanya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda di atas mimbarnya: Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum‘at menghentikan perbuatannya, ataukah mereka ingin Allah membutakan hati mereka, dan sesudah itu mereka benar-benar menjadi orang yang lalai” [H.R. Muslim].

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ [رواه أبو داود والترمذي].

Artinya: “Dari Muḥammad bin ‘Amr (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum‘at sebanyak tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan menutup hatinya” [H.R. Abū Dāwūd dan at-Tirmidzī].

Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa shalat Jum‘at termasuk perkara penting yang diungkapkan dalam bentuk perintah maupun ancaman.

Di antara ancaman tersebut adalah akan ditutup hati orang yang meninggalkan sholat Jum‘at dengan sengaja dan meremehkannya. Imam Malik mengatakan bahwa yang dimaksud meninggalkan Jum‘at dengan sengaja adalah meninggalkan karena malas atau tidak ada uzur yang dibenarkan oleh syariat.

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ.

Artinya: “Barangsiapa meninggalkan Jum‘at tiga kali tanpa ada uzur atau sebab (yang dibenarkan), maka Allah mengunci hatinya” [al-Muntaqā Syarḥu al-Muwaṭṭa’, 1/204].

Ancaman meninggalkan sholat Jum‘at ini tentunya tidak berlaku bagi mereka yang tidak termasuk golongan yang wajib melaksanakan sholat Jum‘at, seperti hamba sahaya, anak kecil, wanita dan orang sakit.

Ancaman ini juga tidak berlaku bagi orang yang meninggalkan Jum‘at karena sebab yang dibenarkan syariat seperti adanya bencana atau kondisi lainnya yang dapat membahayakan keselamatan jiwa. Dikaitkan dengan kondisi yang melanda dunia termasuk umat Islam sekarang, yakni pandemi Covid-19 yang dapat membahayakan keselamatan jiwa, maka orang yang meninggalkan sholat Jum‘at tidak termasuk kategori dalam ancaman hadis ini.

Bagi orang yang tidak dapat melaksanakan sholat Jum‘at karena sebab tersebut, diperbolehkan tidak melaksanakan sholat Jum‘at, tetapi diwajibkan untuk melaksanakan sholat Zuhur sebagai pengganti sholat Jum‘at sebagai hukum asal (‘azīmah) bagi orang yang tidak melaksanakan sholat Jum‘at (lihat TJA Jilid 4 halaman 123), dan baginya tetap mendapatkan pahala Jum‘at.

عن أَبى بُرْدَةَ سَمِعْتُ أَبَا مُوسَى مِرَارًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا [رواه البخاري].

Artinya: “Dari Abū Burdah (diriwayatkan), aku mendengar Abū Mūsā beberapa kali berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Apabila seorang hamba sakit atau melakukan perjalanan maka dicatat (pahala) baginya seperti apa yang dilakukan orang yang mukim dan sehat” [H.R. al-Bukhārī].

Selain itu sholat Jum‘at memiliki beberapa keutamaan khusus yang tidak ada pada sholat fardu lainnya, seperti keutamaan mandi janabah menjelang sholat Jum‘at, hadir lebih awal pada sholat Jum‘at, terdapat kafarat dosa antara Jum‘at satu dengan Jum‘at lainnya. Salah satu hadis yang menyebut keutamaan sholat Jum‘at tersebut adalah,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْأُولَى، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ [رواه مالك].

Artinya: “Dari Abū Hurairah (diriwayatkan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Barangsiapa mandi janabah pada hari Jum‘at lalu pergi untuk melaksanakan Jum‘at pada waktu pertama seolah-olah ia berkurban unta, barangsiapa datang pada waktu kedua seperti berkurban sapi, barangsiapa datang pada waktu ketiga seperti kurban seekor kibas yang bertanduk, barangsiapa datang pada waktu keempat seperti berkurban ayam dan barangsiapa datang pada waktu kelima seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam sudah datang maka para malaikat hadir ikut mendengarkan khutbah” [H.R. Mālik].



Tata Cara Shalat Jum‘at
Sholat Jum‘at ini merupakan ibadah maḥḍah, sedangkan prinsip ibadah maḥḍah adalah terlarang kecuali ada perintah. Oleh karenanya tata cara sholat Jum‘at harus mengikuti petunjuk dan sesuai dengan tuntunan berdasarkan al-Qur’an dan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam. Hal ini didasarkan kepada firman Allah swt,

… وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

Artinya: “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras siksa-Nya” [Q.S. al-Ḥasyr: 7].

Prinsip umum tata cara sholat Jum‘at sama dengan sholat fardu lainnya, yakni dilakukan secara berjamaah, menghadap kiblat, pengaturan shaf dan aturan lainnya dalam ketentuan sholat berjamaah. Semua ketentuan sholat berjamaah pada shalat lima waktu berlaku pula pada aturan sholat Jum‘at. Ada beberapa hal penting berkaitan dengan tata cara sholat Jum‘at yang perlu dijelaskan, di antaranya adalah,

Shalat Jum‘at Dilaksanakan di Masjid

Para ulama banyak merumuskan tentang syarat sahnya shalat Jum‘at, Wahbah az-Zuhailī merumuskan ada sebelas syarat sahnya Jum‘at di antaranya shalat Jum‘at dilaksanakan di masjid dengan berjamaah (lihat al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh II/1291, bāb Syurūṭ ṣiḥḥah al-Jumu‘ah: Iḥdā ‘Asyrata).

Dalam kondisi tertentu dibenarkan pelaksanaan shalat Jum‘at tidak di masjid, yakni dapat dilaksanakan di tempat selain masjid. Kebolehan ini bisa disebabkan karena tidak ada masjid yang dapat dipergunakan shalat Jum‘at seperti di ruang sekolah, kantor atau ruang publik lainnya. Sebab lain dibolehkan shalat Jum‘at di luar masjid karena kapasitas masjid tidak dapat menampung banyak jamaah sehingga harus melebar ke ruangan lain di luar masjid (lihat Tanya Jawab Agama jilid II/92 dan III/92).

Sebagai contoh shalat Jum‘at yang dilaksanakan di Masjidil Haram pada musim haji, hampir selalu meluber sampai ke luar masjid seperti halaman masjid, di hotel-hotel sekitarnya hingga ke jalan-jalan. Dalam keadaan ini, shalat Jum’at tetap sah karena masih adanya ketersambungan antara jamaah yang di luar masjid dengan jamaah yang di dalam masjid dan kesatuan tempat antara imam dengan makmum meski terhalang dinding atau yang lain.

Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam, beliau menjadi imam shalat di balik tabir sedangkan makmum terpisah dengan tabir dan makmum mengikuti imam dari suara Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam, sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَتْ لَنَا حَصِيرَةٌ نَبْسُطُهَا بِالنَّهَارِ، وَنَحْتَجِرُهَا بِاللَّيْلِ، فَصَلَّى فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَسَمِعَ الْمُسْلِمُونَ قِرَاءَتَهُ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ … [رواه أحمد].

Artinya: “Dari ‘Āisyah (diriwayatkan) ia berkata: Kami mempunyai sehelai tikar yang kami bentangkan di siang hari dan kami jadikan dinding di malamnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam shalat pada suatu malam di tempat yang didindingi tikar itu, seketika kaum muslimin mendengar bacaannya dan mereka pun shalat dengan mengikuti shalatnya Nabi (dari balik tabir) …” [H.R. Aḥmad].

Hal ini juga terjadi pada masa sahabat yang dilakukan oleh Anas bin Malik, peristiwa ini digambarkan dalam riwayat berikut,

عَنْ صَالِحِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ: رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى الْجُمُعَةَ فِي بُيُوتِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفِ، فَصَلَّى بِهِمْ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ، وَبَيْنَ بُيُوتِ حُمَيْدٍ وَالْمَسْجِدِ الطَّرِيقُ [رواه الشافعي].

Artinya: “Dari Shālih bin Ibrāhīm (diriwayatkan) ia berkata: Aku melihat Anas bin Mālik shalat Jum‘at di rumah Humaid bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, maka ia shalat bersama mereka mengikuti shalat imam yang berada di masjid, sedangkan di antara rumah-rumah Humaid dan masjid adalah jalan” [H.R. asy-Syāfi‘ī].

Dari kedua riwayat tersebut dapat dipahami bahwa shalat Jum‘at dapat dilakukan di luar masjid dengan tetap mengikuti induk shalat dan pada kesatuan tempat. Oleh karena itu shalat Jum‘at yang dilaksanakan mengikuti induk jamaah, meskipun terhalang dinding, ruang, jalan atau sungai, selama masih terkoneksi atau terhubung dengan jamaah induknya, maka shalat Jum‘atnya tetap sah. Dalam kondisi tertentu untuk membantu ketertiban shalat Jum‘at berjamaah dapat pula digunakan alat penghubung antara imam dan makmum berupa media layar yang menampilkan gambar seperti LCD/LED dan media lain dalam bentuk suara seperti loud speaker atau lainnya.



Kesatuan tempat antara imam shalat Jum‘at beserta makmumnya merupakan bagian dari syarat sah shalat Jum‘at. Hal ini dilakukan secara hakiki (nyata), bukan dalam bentuk lainnya, yakni seorang imam shalat di bagian depan dan makmum shalat di sudut lainnya di dalam masjid atau seorang shalat di luar masjid dengan tetap mengikuti imam di dalam masjid, maka sah shalat Jum‘atnya. (lihat al-Hāwī al-Kabīr II/343, al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh II/1299).

Penataan Shaf Shalat Jum‘at

Imam shalat Jum‘at hendaklah memperhatikan makmum sebelum memulai shalat dengan memastikan kesiapan makmum dalam mengikuti shalat berjamaah seperti lurus dan rapatnya shaf serta penuhnya shaf depan lebih dahulu baru kemudian shaf berikutnya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah hadis-hadis berikut.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ، قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ فَيَقُولُ: تَرَاصُّوا، وَاعْتَدِلُوا [رواه أحمد].

Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan) ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam menghadapkan wajahnya kepada kami sebelum bertakbir, lalu beliau berkata: Luruskan dan rapatkan” [H.R. Aḥmad].

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam juga bersabda mengenai kerapatan shaf dan kewajiban memenuhi shaf yang ada.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتِمُّوا الصَّفَّ الْأَوَّلَ وَالَّذِي يَلِيهِ، فَإِنْ كَانَ نَقْصٌ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْآخِرِ [رواه أحمد].

Artinya: “Dari Anas (diriwayatkan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Penuhilah shaf pertama kemudian shaf berikutnya, jika ada kurang maka jadikanlah pada shaf akhir” [H.R. Aḥmad].

Makmum yang berjumlah lebih dari satu posisinya berada di belakang imam, berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berikut ini.

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى الْمَغْرِبَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَنَهَانِى فَجَعَلَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ ثُمَّ جَاءَ صَاحِبٌ لِى فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ [رواه أبو داود].

Artinya: “Dari Jābir bin ‘Abdullāh ia berkata, [diriwayatkan] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam berdiri untuk melakukan shalat maghrib, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya. Setelah itu datang seorang temanku, lalu kami berdiri (bershaf) di belakang Nabi” [H.R. Abū Dāwūd].

Makmum Mengetahui Kondisi Imam Shalat Jum‘at

Dalam shalat berjamaah seorang makmum dituntut juga mengetahui beberapa hal tentang kondisi imam, seperti batal atau tidaknya imam, mengetahui dan mengikuti gerakan shalat imam juga seorang makmum tidak mendahului imam. Para ulama mengharuskan adanya keselarasan gerak antara imam dan makmum adalah berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا [رواه البخاري].

Artinya: “Dari Abū Hurairah (diriwayatkan) ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti, apabila imam takbir maka makmum ikut bertakbir dan apabila imam rukuk maka makmum pun ikut rukuk” [H.R. al-Bukhārī].

Hadis ini dipahami sebagai dalil keharusan mengikuti gerakan shalat imam seperti gerakan rukun shalat maupun intiqāl (perpindahan). Makmum wajib mengikuti gerakan imam dengan cara melihat langsung gerakan imam, melihat gerakan makmum yang ada di belakang imam atau memperhatikan suara imam (lihat TJA Jilid 2 halaman 92). Sebagian ulama juga memahami bahwa hadis ini tidak sekedar keharusan mengikuti imam tetapi juga keharusan adanya kesatuan tempat antara imam dan makmum. Artinya, imam dan makmum harus berada pada satu tempat, posisi makmum tidak boleh berada di depan posisi imam, karena yang demikian menjadikan tidak sah shalatnya, demikian pandangan dari mazhab Syafii (lihat Syarḥ Ibnu Baṭal 3/389).

Kesatuan tempat serta ketersambungan imam dan makmum menjadi penting dalam shalat berjamaah termasuk pada shalat Jum‘at. Oleh karena itu seorang laki-laki atau perempuan, kuat atau lemah, sendiri maupun banyak tidak diperbolehkan melaksanakan shalat dari rumah sementara imam shalat berada di masjid. Pelaksanaan seperti ini juga tidak boleh dilakukan baik pada shalat fardu, sunah, Jum‘at maupun shalat lainnya, baik rumahnya berada di depan maupun belakang dari posisi imam shalat, karena pada prinsipnya shalat berjamaah dilakukan pada kesatuan tempat seperti di masjid dan ketersambungan imam dan makmum (lihat Fatawā Lajnah ad-Dāimah lil-Buḥuṡ ‘Alamiyyah wal-Iftā’, 10/206).



Problematika Shalat Jum‘at Online

Dari uraian tentang hukum dan tata cara sholat Jum‘at di atas, dapat diketahui bahwa sholat Jum‘at yang dilakukan secara online ternyata mengandung beberapa problematika, di antaranya adalah,

Pertama, sholat Jum‘at adalah ibadah yang bersifat ta‘abbudī dan termasuk dalam kelompok ibadah yang khās (khusus) atau maḥḍah, sehingga perincian-perinciannya telah ditetapkan oleh nas al-Qur’an dan Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam. Oleh sebab itu dalam shalat Jum‘at tidak diperkenankan adanya kreasi selain apa yang telah dituntunkan. Meng-online-kan shalat Jum‘at termasuk kreasi yang sejatinya tidak diperkenankan. Ini berbeda dengan akad nikah misalnya, yang merupakan bentuk ibadah muamalat, sehingga memungkinkan adanya kreasi seperti akad nikah dengan bahasa selain bahasa Arab, akad nikah melalui surat atau pun akad nikah secara online.

Kedua, sholat Jum‘at online tidak sesuai dengan tuntunan sholat Jum‘at, khususnya tentang kesatuan tempat secara hakiki (nyata), bukan virtual, ketersambungan jamaah, posisi imam dan makmum serta beberapa keutamaan shalat jamaah. Dalam shalat Jum‘at online, tentu kesatuan tempat secara hakiki (nyata) tidak tercapai, karena jamaah shalat Jum‘at online bisa berada di mana pun sesuai dengan keberadaan masing-masing jamaah. Ketersambungan jamaah juga tidak bisa dicapai karena jamaah ada di berbilang tempat dan lokasi. Demikian pula posisi imam dan makmum menjadi tidak jelas siapa yang di depan dan siapa yang di belakang serta tidak berlaku lagi ketentuan lurusnya shaf shalat.

Ketiga, rukhsah untuk ditinggalkannya sholat Jum‘at adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini, selain memang sudah diterangkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam pada penjelasan di atas, mengambil shalat Zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih mudah. Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menuntunkan bahwa ketika memilih di antara dua perkara, maka dipilihlah yang paling mudah dilakukan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا [رواه البخاري].

Artinya: “Dari ‘Āisyah radhiyallahu anha (diriwayatkan) bahwa ia berkata, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam memilih di antara dua perkara kecuali beliau mengambil yang paling mudah di antara keduanya, selama tidak ada dosa” [H.R. al-Bukhārī].

Shalat Jum‘at secara online sudah tentu menggunakan serangkaian perangkat untuk bisa dilaksanakan, baik perangkat untuk online berupa paket data internet, perangkat keras berupa laptop misalnya, perangkat lunak yang dalam hal ini menggunakan aplikasi telekonferensi video Zoom Clouds Meeting, maupun kebutuhan listrik untuk menghidupkan perangkat-perangkat tersebut. Oleh sebab itu, shalat Jum‘at online sangat bergantung pada ketersediaan perangkat-perangkat tersebut. Seandainya perangkat-perangkat yang digunakan mengalami masalah, apakah karena ada gangguan suplai listrik, gangguan sinyal dan lain sebagainya, maka pelaksanaan shalat menjadi terganggu atau bahkan batal dilaksanakan. Hal ini tentu menyulitkan bagi jamaah shalat Jum‘at online tersebut.

Kemajuan teknologi harus diakui sebagai berkah yang besar. Di bidang medis, kemajuan teknologi mampu menyelamatkan puluhan juta manusia untuk bertahan hidup. Di bidang komunikasi, orang dapat bertemu dan berkomunikasi di ruang virtual (maya). Tetapi teknologi jangan sampai melakukan mekanisasi terhadap kehidupan manusia, sehingga hidup manusia di bawah kendali mesin-mesin yang menyebabkan ruang pribadi dan ruang spiritual manusia menjadi kehilangan makna. Tidak semua kehidupan manusia dapat dimasuki oleh kemajuan teknologi.

Pada bidang ibadah, kemajuan teknologi harus dibatasi, karena ibadah merupakan komunikasi manusia dengan Tuhan secara langsung. Seandainya kemajuan teknologi masuk dalam bidang ibadah, misalnya azan, mengimami shalat atau berkhutbah dilakukan oleh robot, maka proses ibadah menjadi bukan lagi proses manusiawi, tetapi proses mekanisasi. Artinya, satu dimensi kehidupan manusia yang sangat penting sudah tergerus oleh mesin-mesin yang diciptakan manusia sendiri. Jadi, penerimaan kemajuan teknologi dalam bidang ibadah tetap harus dibatasi, termasuk dalam ibadah shalat Jum‘at ini, shalat dilakukan sebagaimana adanya.

Keempat, sungguh pun shalat Jum‘at online adalah masalah ijtihādī, namun secara realitas telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Oleh sebab itu, sesuatu hal yang menimbulkan kontroversi sebaiknya ditinggalkan, sebagaimana kaidah fikihiah berikut ini,

الخُرُوجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.

Artinya: “Keluar dari khilaf (kontroversi) itu disukai.”

Adapun jalan keluar yang paling ideal dari sebuah kontroversi adalah kembali kepada nas, yaitu rukhsah shalat Jum‘at yang tidak dapat dilaksanakan adalah diganti dengan shalat Zuhur. Hal ini mengacu pada al-Qur’an surah an-Nisā’: 59,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS: an-Nisā’: 59)

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpandangan bahwa,

Shalat Jum‘at adalah ibadah maḥḍah yang wajib dilaksanakan sesuai ketentuan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam. Segala sesuatu dalam ibadah maḥḍah yang dilakukan di luar tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam tidak dapat dibenarkan. Shalat Jum‘at hukumnya wajib dikerjakan, sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang mengakibatkan tidak dapat terlaksananya shalat Jum‘at, maka kewajiban shalat Jum‘at menjadi gugur dan diganti dengan shalat Zuhur. Dalam keadaan darurat karena pandemi Covid-19 ini, jika hendak mendirikan shalat Jum‘at, maka dapat dilaksanakan secara terbatas di rumah atau tempat lainnya selain masjid atau dapat melaksanakan shalat Jum‘at di masjid secara bergantian (gelombang) dengan tetap menjaga protokol kesehatan secara sangat ketat.

Praktik shalat Jum‘at secara online, walaupun itu persoalan ijtihādī, namun ada ketentuan shalat Jum‘at yang tidak dapat tercapai dalam praktik shalat Jum‘at secara online, yaitu adanya kesatuan tempat secara hakiki (nyata), ketersambungan jamaah, pengaturan posisi imam dan makmum yang sesuai dengan ketentuan shalat jamaah (makmum berada di belakang imam) serta keutamaan-keutamaan shalat Jum‘at. Di samping itu, shalat Jum‘at yang dilakukan secara online justru lebih memberi kesulitan baru karena mengharuskan ketersediaan serangkaian perangkat online daripada menggantinya dengan shalat Zuhur.

Sejauh penelusuran terhadap berbagai literatur, Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan dalil atau alasan yang kuat untuk mengganti shalat Jum‘at dengan shalat Jum‘at secara online. Oleh karena itu, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pendapat yang berbeda, Majelis Tarjih dan Tajdid belum dapat menerima pelaksanaan sholat Jum‘at secara online

Dikutip dari Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan penyesuaian
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1774 seconds (0.1#10.140)