Inilah Mengapa Muhammadiyah Anggap Sangat Penting Penentuan Waktu Fajar

Sabtu, 13 Maret 2021 - 18:08 WIB
loading...
Inilah Mengapa Muhammadiyah Anggap Sangat Penting Penentuan Waktu Fajar
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar/Foto/muhammadiyah.or.id
A A A
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memutuskan waktu terbitnya fajar adalah dip atau ketinggian matahari berada di -18 derajat di bawah ufuk. Keputusan ini menjadi koreksi dari yang sebelumnya -20 derajat. Maknanya, waktu subuh yang selama ini dipakai terlalu pagi sekitar 8 menit.



Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar , menjelaskan penentuan waktu terbitnya fajar merupakan persoalan yang sangat penting. Hal tersebut lantaran berkaitan dengan empat jenis ibadah yang meliputi: penentuan awal salat subuh , akhir salat witir , awal ibadah puasa , dan akhir wukuf di Arafah .

Penentuan awal subuh harus akurat berdasarkan penelaahan teks al-Quran dan Hadis , maupun realitas objektif di alam raya," ujarnya dalam Pengajian daring PP Muhammadiyah pada Jumat malam (12/03).

Keputusan waktu terbitnya fajar ini diambil Muhammadiyah pada Musyawarah Nasional Tarjih ke-13 tahun 2020. “Mengapa Majelis Tarjih mengangkat persoalan ini karena banyaknya pertanyaan, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai belahan dunia. Misalnya di Maroko sejumlah pemuda dengan sengaja menyantap makanan di bulan Ramadhan pada saat azan subuh berkumandang sebagai sikap protes bahwa jadwal resmi masih terlalu pagi,” tutur Syamsul.



Di Indonesia sendiri, masalah awal waktu subuh baru bergulir saat kedatangan seorang pendakwah asal Timur Tengah. Dai tersebut heran dengan kondisi subuh yang masih gelap namun azan telah berkumandang. Akhirnya masalah ini melahirkan perdebatan di kalangan para ahli dan keresahan di hati masyarakat.

Menurut Syamsul, pandangan Muhammadiyah ini didukung dengan pandangan mayoritas para ulama ahli astronomi sejauh yang bisa diakses Majelis Tarjih. Selain itu, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu Subuh pada ketinggian matahari -18 derajat seperti Malaysia, Turki, Inggris, Prancis, Australia, dan Nigeria.

Mengutip penjelasan dari Kitab Al Muntaqa karangan Al Baji, Prof Syamsul Anwar memaparkan bahwa, yang disebut dengan fajar itu ada dua. Pertama ada fajar kadzib yang pancarannya memanjang ke atas, yang tidak ada kaitannya dengan hukum salat serta puasa. Dan yang kedua adalah shodiq, yang pancarannya melintang dan digunakan untuk menentukan hukum salat dan puasa.

Pembahasan mengenai penentuan secara tepat terbit fajar bukan hanya dilakukan di Indonesia, melainkan di berbagai Negara Islam di dunia juga telah banyak yang mengkajinya. Bahkan dilakukan sejak akhir abad yang lalu, meskipun sampai sekarang terus bergulir.

Selain itu, di Mesir sejak tahun 1984, Institute Geofisika Mesir sudah melakukan penelitian sampai tahun 2017 diajuhkan satu usulan untuk perubahan jam terbit fajar, akan tetapi mufti Mesir belum berkenan.

Dalam keterangannya, Syamsul menyebut di Mesir saat ini masih mengacu pada 19,5° kedalam matahari di bawah ufuk.

“Dari berbagai kajian dan pendapat, kemudian Munas Tarjih memutuskan 18° itu. Bahan-bahan yang menjadi pertimbangan antara lain, hasil-hasil perhitungan para astronom muslim sepanjang sejarah,” tuturnya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2910 seconds (0.1#10.140)