Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan dan Niatnya (1)

Selasa, 30 Maret 2021 - 08:23 WIB
loading...
Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan dan Niatnya (1)
Bulan Ramadhan akan menyapa kita sebentar lagi. Bulan ini merupakan bulan yang di dalamnya Allah melipatgandakan segala kebaikan. Foto/Ist
A A A
Bulan Ramadhan adalah bulan terbaik sepanjang tahun, bulan penuh keberkahan, bulan yang di dalamnya Allah melipatgandakan segala kebaikan. Kata puasa berasal dari kata "shaum" atau "shiyam" yang berarti menahan.

Di dalam Al-Qur'an, kata "shaum" menunjukkan makna lebih umum ketimbang "shaum" yang justru sering digunakan untuk menunjukkan makna yang lebih khusus, yaitu berpuasa dengan menahan makan dan minum. Ramadhan adalah bulan yang didalamnya ummat Islam diwajibkan untuk berpuasa, sebaimana pesan Allah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.



Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan
Pengajar Rumah Fiqih Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir dalam bukunya "Bekal Ramadhan & Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan" mengungkap sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan. Menukil Imam At-Thobari dalam Jami' Al-Bayan menuliskan bahwa Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata: "Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم datang ke Makkah, maka puasa yang dilakukan oleh beliau adalah puasa Asyuro dan puasa tiga hari setiap bulannya. Hingga akhirnya Allah mewajibkan puasa Ramadhan dengan menurunkan ayat di atas (Al-Baqarah: 183)

Kemudian Allah menurunkan ayat berikutnya: "(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Al-Baqarah: 184)

Kata Ustaz Muhammad Saiyid, pada awalnya siapa saja yang ingin berpuasa maka ia boleh berpuasa. Dan siapa saja yang ingin berbuka maka dia boleh berbuka dan cukup menggantinya dengan memberi makan orang miskin. Namun pada akhirnya Allah mewajibkan kepada seluruh yang ummat yang sehat dan tidak dalam perjalanan untuk berpuasa, tidak ada pilihan untuk berbuka.

Dan untuk mereka yang sudah lanjut usia tetap diberikan keringanan boleh berbuka dengan syarat tetap memberikan makan fakir miskin, maka turunlah ayat yang artinya: "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."

Al-Qurthubi menjelaskan, bahwa Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib berkata: "Bahwa (pada awalnya) para sahabat Rasulullah ketika berpuasa tidak makan ketika ia tertidur sebelum berbuka hingga esoknya mereka lanjut berpuasa lagi tanpa makan."

Sahabat Nabi Pernah Pingsan
Qais bin Shirmah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu pernah berpuasa, dimana siang harinya beliau habiskan untuk mengurus pohon kurma. Ketika waktu berbuka sudah hampir tiba ia datang kepada istrinya seraya menanyakan apakah ada makanan? Namun, istrinya menjawab tidak ada, akan tetapi istrinya berusaha mencarikannya.

Ketika menunggu istrinya mencari makan tidak sengaja Qais ini tertidur, karena capek dari bekerja siang hari tadi. Mengetahui suaminya tertidur, maka istrinya berucap: "Celakahlah engkau!".

Esok harinya, Qais tetap berpuasa walau tanpa berbuka, karena tidak boleh makan ketika bangun dari tidur. Tapi di pertengahan hari berikutnya Qais malah pingsan. Lalu cerita ini sampai kepada Nabi, maka turunlah ayat yang artinya: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu."

Para sahabat pun semua bergembira, lalu turun kelengkapan ayat berikutnya: "Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu Fajar."

Niat Puasa Ramadhan
Semua ulama sepakat, tanpa niat puasa Ramadhan, maka puasa Ramadhan menjadi tidak sah. Imam An-Nawawi menjelaskan, secara bahasa, niat (النية) dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu atau bertekad untuk mendapatkannya.

Menurut Mazhab Syafi'i yang dianut-mayoritas oleh muslim Indonesia, niat puasa Ramadhan berbarengan dengan terbitnya fajar tidak sah. Mazhab Syafiiyah menganjurkan niat puasa Ramadhan dilakukan pada malam hari, boleh pula pada waktu sahur sebelum Shubuh.

Yang tidak boleh jika niat dilakukan setelah terbitnya fajar. Berbeda dengan puasa sunnah yang niatnya boleh dilakukan saat pagi.

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ الشَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Nawaitu Shouma Ghodin ‘an Adaa-i Fardhis Syahri Romadhoona Hadzihis Sanati Lillaahi Ta'aala

BagiMazhab Hanbali (Hanabilah), siapa yang hatinya terbersit keinginan bahwa besok akan berpuasa, maka itu sudah dianggap niat.

Artinya:
Aku niat puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta'ala.

(Bersambung)!

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2870 seconds (0.1#10.140)