Nahi Munkar, Gus Baha: Jangan Timbulkan Kerusakan Baru
loading...
A
A
A
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha mengingatkan, kewajiban nahi munkar atau mencegah kemungkaran harus didasari pertimbangan matang sehingga dapat menghindari lahirnya kemungkaran yang lebih besar sebagai akibat dari tindakan atau usaha kita dalam menolak kemungkaran yang awal.
Menangani kemungkaran hendaknya dengan cara yang baik, yang ma’ruf, dan tidak menimbulkan kerusakan baru. "Tidak seperti ekstremis,” ujar ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an ini seperti diunggah kanal Santri Gayeng di jaringan YouTube.
Gus Baha menjelaskan bahwa dalam fiqih terdapat kaidah dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil-masaalih, artinya kurang lebih adalah menghindarkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengejar kemaslahatan. "Ini merupakan prinsip yang perlu kita pegang pertama kali," pesannya.
Bayangkan, Gus Baha memberikan ilustrasi, jika kita berjalan bersama anak istri, atau berjalan sendiri tapi di rumah punya keluarga yang harus kita nafkahi. Kemudian melihat orang mabuk-mabukan di tengah jalan. Sementara kita tahu orang mabuk itu adalah seorang muslim. Kita juga tahu, orangtua pemabuk itu adalah orang yang saleh.
Dosa pemabuk ini semula hanyalah dosa mabuk. "Namun, jika kemudian kita mengingatkan di tempat saat dia sedang mabuk, sehingga terjadi perkelahian dan kita terbunuh, madharatnya malah justru akan lebih besar daripada dosa mabuk. Yaitu dosa membunuh bagi orang itu. Selain itu, madharat yang terjadi adalah kesedihan dari orangtuanya yang sebenarnya saleh. Sudah mabuk, ditambah terjadi perkelahian dan sampai membunuh," tutur Gus Baha.
Menurut Gus Baha, jika kita berkelahi dan kemudian terbunuh, misalnya, kita juga akan jadi orang yang disalahkan oleh syariat. Kenapa? Karena yang tadinya jadi tulang punggung keluarga, malah nafkah keluarga justru akan terbengkalai.
"Dengan ilustrasi ini terlihat, melakukan nahi munkar juga berpotensi menimbulkan risiko, yang tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga kepada orang tua si pemabuk itu dan keluarga kita," katanya. "Jika situasinya demikian, kita wajib tidak nahi munkar, " ujar Gus Baha sembari mengingatkan bahwa wajib tidak nahi munkar berbeda dengan tidak wajib nahi munkar.
Menurut Gus Baha, Imam Nawawi dan hampir semua ulama berpendapat, bahwa nahi munkar itu wajib. "Sekali lagi, wajib. Kecuali, jika dengan nahi munkar menyebabkan terjadinya madharat yang lebih besar," tegas Gus Baha, dengan menyebut istilah madharat yang a’dhama minhu.
Dia juga mengingatkan, jangan pernah kita menyebut bahwa nahi munkar itu bisa gugur, atau tidak wajib. Bagaimanapun, nahi munkar itu tetap lah wajib dan menjadi tugas seorang Muslim.
Lalu, kapan waktu yang tepat untuk melawan kemungkaran? Menurut Gus Baha, kita perlu memiliki jadwal tersendiri, dengan rute dan perhitungan sendiri. Yakni, misalkan, ketika seorang pemabuk yang kita temui ini sudah sadar, kita kunjungi rumahnya, dan kemudian kita ajak bicara baik-baik. Atau bicarakan secara baik-baik kepada orangtuanya.
Karena bagaimana pun, dalam mempraktikkan ilmu fiqih, tidak bisa asal serampangan. Ilmu fiqih punya hitung-hitungan yang disesuaikan dengan situasi tertentu.
Tiga Tingkatan
Sementara itu, Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan pola amar ma’ruf nahi munkar itu terbagi menjadi lima tingkatan.
Pertama yaitu at-ta'rif yang berarti memperkenalkan atau memberi tahu. Pada tingkatan ini seseorang yang punya ilmu memberitahukan mana yang halal dan haram kepada saudaranya. Mempekenalkan bahwa Al-Qur'an dan hadis adalah pedoman hidup, dan memperkenalkan ulama yang mengajarkannya.
Sedangkan yang kedua yaitu al-wa'dzu bil kalamil latif, yakni menasihati dengan ucapan yang lemah lembut.
Ketiga yaitu as-sabbu wat ta'nif, yakni memaki atau mencela dengan keras. Tetapi perlu dicatat, tindakan ini tidak boleh menggunakan kata-kata yang keji, kotor, tidak senonoh dan tidak sopan.
Pola keempat yaitu al-man'u bil qahr atau mencegah dengan langsung. Seperti mengambil barang yang dicuri dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Dan terakhir yaitu at-takhwif wat tahdid bid dharb yakni dengan cara menakut-nakuti atau diancam dengan pukulan.
Landasan
Imam Ghazali juga mengatakan orang yang berhisbah (menjalankan amar ma’ruf nahi munkar) harus dilandasi dengan tiga hal.
Pertama, ilmu. Orang yang berhisbah itu tahu perkara-perkara obyek berhisbah, batas-batas hisbah, beberapa situasi kondisi dilakukannya hisbah dan beberapa larangan hisbah agar orang tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama dalam berhisbah.
Kedua, wara’ atau wira’i (bersikap hati-hati). Sifat wara’ atau wira’i bisa membuat orang yang berhisbah terkendali untuk tidak melakukan hal-hal yang berseberangan dengan ilmunya. Tidak semua orang yang berilmu itu mengamalkan ilmunya. Bahkan terkadang orang yang berhisbah itu mengetahui kalau ia melampaui batas-batas hisbah yang diperbolehkan agama, namun dia sengaja melakukannya hanya untuk mendapatkan sesuatu keinginannya.
Di samping itu, orang yang berhisbah harus memiliki sifat wara’ agar ucapan dan nasihatnya diterima dan didengar. Mengapa? Kalau berhisbah tanpa didasari sifat wara’, maka ia akan menjadi bahan tertawaan, bahkan ditentang.
Ketiga, budi pekerti yang baik. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) harus dibarengi dengan budi pekerti yang bagus, sikap yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Budi pekerti yang baik merupakan inti dari berhisbah.
Menangani kemungkaran hendaknya dengan cara yang baik, yang ma’ruf, dan tidak menimbulkan kerusakan baru. "Tidak seperti ekstremis,” ujar ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an ini seperti diunggah kanal Santri Gayeng di jaringan YouTube.
Gus Baha menjelaskan bahwa dalam fiqih terdapat kaidah dar’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil-masaalih, artinya kurang lebih adalah menghindarkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengejar kemaslahatan. "Ini merupakan prinsip yang perlu kita pegang pertama kali," pesannya.
Bayangkan, Gus Baha memberikan ilustrasi, jika kita berjalan bersama anak istri, atau berjalan sendiri tapi di rumah punya keluarga yang harus kita nafkahi. Kemudian melihat orang mabuk-mabukan di tengah jalan. Sementara kita tahu orang mabuk itu adalah seorang muslim. Kita juga tahu, orangtua pemabuk itu adalah orang yang saleh.
Dosa pemabuk ini semula hanyalah dosa mabuk. "Namun, jika kemudian kita mengingatkan di tempat saat dia sedang mabuk, sehingga terjadi perkelahian dan kita terbunuh, madharatnya malah justru akan lebih besar daripada dosa mabuk. Yaitu dosa membunuh bagi orang itu. Selain itu, madharat yang terjadi adalah kesedihan dari orangtuanya yang sebenarnya saleh. Sudah mabuk, ditambah terjadi perkelahian dan sampai membunuh," tutur Gus Baha.
Menurut Gus Baha, jika kita berkelahi dan kemudian terbunuh, misalnya, kita juga akan jadi orang yang disalahkan oleh syariat. Kenapa? Karena yang tadinya jadi tulang punggung keluarga, malah nafkah keluarga justru akan terbengkalai.
"Dengan ilustrasi ini terlihat, melakukan nahi munkar juga berpotensi menimbulkan risiko, yang tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga kepada orang tua si pemabuk itu dan keluarga kita," katanya. "Jika situasinya demikian, kita wajib tidak nahi munkar, " ujar Gus Baha sembari mengingatkan bahwa wajib tidak nahi munkar berbeda dengan tidak wajib nahi munkar.
Menurut Gus Baha, Imam Nawawi dan hampir semua ulama berpendapat, bahwa nahi munkar itu wajib. "Sekali lagi, wajib. Kecuali, jika dengan nahi munkar menyebabkan terjadinya madharat yang lebih besar," tegas Gus Baha, dengan menyebut istilah madharat yang a’dhama minhu.
Dia juga mengingatkan, jangan pernah kita menyebut bahwa nahi munkar itu bisa gugur, atau tidak wajib. Bagaimanapun, nahi munkar itu tetap lah wajib dan menjadi tugas seorang Muslim.
Lalu, kapan waktu yang tepat untuk melawan kemungkaran? Menurut Gus Baha, kita perlu memiliki jadwal tersendiri, dengan rute dan perhitungan sendiri. Yakni, misalkan, ketika seorang pemabuk yang kita temui ini sudah sadar, kita kunjungi rumahnya, dan kemudian kita ajak bicara baik-baik. Atau bicarakan secara baik-baik kepada orangtuanya.
Karena bagaimana pun, dalam mempraktikkan ilmu fiqih, tidak bisa asal serampangan. Ilmu fiqih punya hitung-hitungan yang disesuaikan dengan situasi tertentu.
Tiga Tingkatan
Sementara itu, Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan pola amar ma’ruf nahi munkar itu terbagi menjadi lima tingkatan.
Pertama yaitu at-ta'rif yang berarti memperkenalkan atau memberi tahu. Pada tingkatan ini seseorang yang punya ilmu memberitahukan mana yang halal dan haram kepada saudaranya. Mempekenalkan bahwa Al-Qur'an dan hadis adalah pedoman hidup, dan memperkenalkan ulama yang mengajarkannya.
Sedangkan yang kedua yaitu al-wa'dzu bil kalamil latif, yakni menasihati dengan ucapan yang lemah lembut.
Ketiga yaitu as-sabbu wat ta'nif, yakni memaki atau mencela dengan keras. Tetapi perlu dicatat, tindakan ini tidak boleh menggunakan kata-kata yang keji, kotor, tidak senonoh dan tidak sopan.
Pola keempat yaitu al-man'u bil qahr atau mencegah dengan langsung. Seperti mengambil barang yang dicuri dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Dan terakhir yaitu at-takhwif wat tahdid bid dharb yakni dengan cara menakut-nakuti atau diancam dengan pukulan.
Landasan
Imam Ghazali juga mengatakan orang yang berhisbah (menjalankan amar ma’ruf nahi munkar) harus dilandasi dengan tiga hal.
Pertama, ilmu. Orang yang berhisbah itu tahu perkara-perkara obyek berhisbah, batas-batas hisbah, beberapa situasi kondisi dilakukannya hisbah dan beberapa larangan hisbah agar orang tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama dalam berhisbah.
Kedua, wara’ atau wira’i (bersikap hati-hati). Sifat wara’ atau wira’i bisa membuat orang yang berhisbah terkendali untuk tidak melakukan hal-hal yang berseberangan dengan ilmunya. Tidak semua orang yang berilmu itu mengamalkan ilmunya. Bahkan terkadang orang yang berhisbah itu mengetahui kalau ia melampaui batas-batas hisbah yang diperbolehkan agama, namun dia sengaja melakukannya hanya untuk mendapatkan sesuatu keinginannya.
Di samping itu, orang yang berhisbah harus memiliki sifat wara’ agar ucapan dan nasihatnya diterima dan didengar. Mengapa? Kalau berhisbah tanpa didasari sifat wara’, maka ia akan menjadi bahan tertawaan, bahkan ditentang.
Ketiga, budi pekerti yang baik. Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar) harus dibarengi dengan budi pekerti yang bagus, sikap yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Budi pekerti yang baik merupakan inti dari berhisbah.
(mhy)