Cara Aneh Abu Nawas Memasak, Baginda Jadi Kelaparan
loading...
A
A
A
“Memang benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu."
Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.” “Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis.
Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang ke rumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawab Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, "aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang ke rumahnya senin depan.
Hari Senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah digelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing.
Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi ke belakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, lalu menyalakan api jauh di bawah pohon.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.” Baginda pun diam, dan duduk kembali.
Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar," kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut Abu Nawas.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu zuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas di bagian belakang rumah, diikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu?" tanya Baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Jangan sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu menyelesaikan masalahmu."
Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku, niscaya kamu menang dengan izin Allah.” “Terima kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis.
Lantas keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan hari ini?”
“Kabar baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan patik silahkan baginda datang ke rumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawab Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, "aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan undangan untuk datang ke rumahnya senin depan.
Hari Senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di permadani yang sebelumnya telah digelar oleh tuan rumah sesuai dengan pangkat dan kedudukan masing-masing.
Setelah semuanya terkumpul, Abu Nawas mohon kepada sultan untuk pergi ke belakang rumah, ia kemudian menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, lalu menyalakan api jauh di bawah pohon.
Tunggu punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah nasinya atau belum?” gerutu Sultan.
Rupanya gerutuan Sultan di dengar oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah Alam.” Baginda pun diam, dan duduk kembali.
Namun ketika matahari telah sampai ke ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul di hadapan para tamu. Perut baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar," kata Baginda.
“Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut Abu Nawas.
Baginda masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu zuhur sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar lagi, ia pun menyusul Abu Nawas di bagian belakang rumah, diikuti tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya.
“Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu?" tanya Baginda Sultan.
Abu Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.