Begini Puasa Orang-Orang Terdahulu, Sebelum Islam Datang

Senin, 26 April 2021 - 18:29 WIB
loading...
Begini Puasa Orang-Orang...
Ilustrasi/Dok, SINDOnews
A A A
PUASA telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba'alal ladzina min qablikum (sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu).



Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian.

MQuraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran menjelaskan salat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. "Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama," katanya.

Lalu, bagaimana puasanya orang-orang terdahulu sebelum kita?

Mengutip pendapat Abu Ja‘far, al-Thabari (w. 310) dalam Tafsîr-nya menyatakan bahwa para ulama tafsir sendiri berbeda pendapat mengenai maksud “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.”

Sebagian ada yang menyatakan, penekanan tasybîh atau perumpamaan di sana adalah kewajiban puasanya.

Sedangkan yang lain menekankan orang-orang yang berpuasanya. Kendati demikian, kedua perbedaan ini tetap bermuara pada maksud orang-orang terdahulu beserta cara, waktu, dan lama puasa mereka.



Ustadz M. Tatam Wijaya dalam tulisannya berjudul "Bagaimana Puasa Umat Sebelum Nabi Muhammad?" yang dipublikasikan laman Nahdlatul Ulama, mengatakan jika penekanannya adalah orang-orang berpuasa yang sama dengan kita, jelas maksudnya adalah kaum Nasrani. "Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan di mana waktu dan lamanya sama seperti puasa yang difardhukan kepada kita," ujarnya.

Hal itu seperti yang dikutip al-Thabari dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari al-Suddi. Ia menyatakan, “Maksud orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur (dari waktu isya hingga waktu isya lagi), juga tidak boleh bergaul suami-istri.

Rupanya, hal itu cukup memberatkan bagi kaum Nasrani (termasuk bagi kaum Muslimin pada awal menjalankan puasa Ramadhan).

Melihat kondisi itu, akhirnya kaum Nasrani sepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim, hingga mereka mengalihkannya ke pertengahan musim panas dan musim dingin.

Mereka mengatakan, ‘Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari.’

Dengan begitu, puasa mereka menjadi 50 hari. Tradisi Nasrani itu juga --tidak makan-minum dan tak bergaul suami istri-- masih terus dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais ibn Shirmah dan Umar ibn al-Khathab. Maka Allah pun membolehkan mereka makan, minum, bergaul suami-istri, hingga waktu fajar.”

Ada pula yang berpendapat bahwa maksud orang-orang terdahulu di sana adalah Ahli Kitab, dalam hal ini adalah kaum Yahudi, sebagaimana dalam riwayat Mujahid dan Qatadah.

Dalam riwayatnya, Qatadah mengungkapkan, “Puasa Ramadhan telah diwajibkan kepada seluruh manusia, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka. Sebelum menurunkan kewajiban Ramadhan, Allah menurunkan kewajiban puasa tiga hari setiap bulannya.”

Namun demikian, status wajib puasa tiga hari ini ditolak oleh sahabat yang lain.



Menurut mereka, puasa tiga hari yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu bukan wajib, melainkan sunnah. Pasalnya, tidak ada riwayat kuat yang dijadikan hujjah bahwa ada puasa wajib sebelum puasa Ramadhan yang diberikan kepada umat Islam.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3127 seconds (0.1#10.140)