Kadang Hati Memang Lebih Tersentuh dengan Syair Ketimbang Al-Qur'an

Selasa, 01 Juni 2021 - 10:31 WIB
loading...
A A A
“Untunglah aku tidak mendapat ujian seberat itu. Dan jika saja Allah mengujiku seperti itu, aku sendiri belum mengerti bagaimana aku harus menentukan sikap,” sergah Abul Hasan.

“Adakah kau bisa berpuisi?” tanya Syaikh Yusuf.

“Ya, aku bisa, kendati tidak begitu pandai,” jawab Abul Hasan.

“Coba, segera lantunkan!” Syaikh Yusuf mendesak.

Engkau pasang penyekat antara Aku
Padahal jika saja bulat tekadmu
Engkau 'kan robohkan penghalang itu
Aku usahakan bertemu denganmu
Namun ucapanmu hanyalah 'andaikan'
Alangkah rapuhnya sebuah ucapan
Jika yang keluar itu hanya andaikan



Ketika mendengar puisi ini, Syaikh Yusuf segera menutup mushafnya, dan setelah Abul Hasan melihat wajahnya, ternyata kedua belah pipi Syaikh Yusuf telah dipenuhi cucuran air mata. Sebuah tangis yang betul-betul mengundang iba, sehingga jubahnya basah kuyup karenanya.

“Wahai Saudaraku, dalam puisi itu kau memperolok penduduk Ray yang telah menuduhku sebagai seorang Zindig (kafir). Padahal sejak pagi tadi sampai sekarang ini aku telah berusaha membaca mushaf (Al-Qur'an) secara sungguh-sungguh, dengan harapan hatiku akan mendapat intuisi (wijdan). Ternyata, sampai saat ini, aku belum dapatkan juga, dan air mataku juga masih terasa kesat. Namun, setelah kau bacakan puisi itu, Saudaraku, seakan kiamat telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupanku.”

Demikianlah, syair tersebutlah yang menjadi penyebab tangis Syaikh Yusuf tadi, yang ketika itu lubuk hatinya dipenuhi tanda tanya, mengapa ketika dibacakan Al-Qur'an hatinya belum juga mencair dan merasa nikmat yang dibuktikan dengan aliran air mata. Tetapi anehnya, setelah mendengar sebuah syair—yang tidak akan dicatat sebagai ibadah ketika membacanya—hatinya begitu cepat tanggap dan tersentuh perasaannya? Syaikh Yusuf menangisi kebimbangannya itu.
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2822 seconds (0.1#10.140)