Kadang Hati Memang Lebih Tersentuh dengan Syair Ketimbang Al-Qur'an
loading...
A
A
A
Tuhan, di Firdaus Mu, aku bukan penghuni
Namun tak mampu aku membara di Jahimi
Berikan aku taubat, dosaku Kauampuni
Sungguh Engkau pemberi ampun dosa yang keji
Banyak dosa dosaku, bagai pasir lautan
Maaf aku harapkan, pada Mu Yang Penyayang
Umurku kan berkurang, tiap hari berlangsung
Dosaku malah tambah, bagaimana kutanggung
Tuhanku, hamba Mu yang ahli dosa datang menghadap
Mengakui dosa dosa seraya meratap
Jika Engkau ampuni, maka itulah wewenang Mu
Jika Engkau tolak, kepada siapa lagi ku berharap
Syair menyentuh di atas adalah karya Abu Nawas , seorang pujangga Arab yang bernama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami. Buku Ijinkan Kalbumu Berbisik Lagi karya Ahmad Ibnu Nizal (2011)memaparkan bahwadalam menggapai kedekatan kepada Tuhan, para kekasih Allah seringkali harus menggunakan media yang dianggap efektif, seperti lagu dan syair ketuhanan. Jadi, mediator yang paling berkesan, kadangkala bukanlah Al Qur'an ataupun pidato dan nasihat-nasihat yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali , kendati sebuah hati telah dipenuhi oleh cinta Allah (hubb lillah), belum tentu pemicunya mesti dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Seringkali, pemicu yang lebih manjur adalah dengan melantunkan sebuah syair atau mendendangkan lagu. Hal ini karena syair atau lagu itu sengaja digubah dengan rima yang serasi ataupun cengkok-cengkok syahdu dan bahasa yang sangat menyentuh perasaan.
Adapun kalimat yang ada dalam Al-Qur'an, kendati mengandung i'jaz yang manusia tidak akan mampu untuk menandinginya, namun kebanyakan susunannya keluar dari uslub kalimat yang dibiasakan oleh kebanyakan orang. "Singkat kata, itulah pengaruh sebuah syair dalam mendekatkan diri kepada Allah," tutur Ahmad Ibnu Nizal.
Abul Hasan ad Darraj mengisahkan sebagai berikut:
Pada suatu hari, aku berangkat dari Baghdad bertandang ke kota Ray menuju rumah Syaikh Yusuf bin Husein ar Razy yang merupakan seorang ulama terkenal, yang selama ini aku belum pernah sekalipun melihat sosok tubuhnya ataupun mendengar fatwa-fatwanya secara langsung. Setelah sampai di kota Ray, aku pun segera bertanya pada masyarakat kota itu mengenai keberadaan beliau. Betapa mengherankan, orang orang mengatakan:
“Untuk apa kamu bertandang dan mengunjungi seorang Zindig?” begitu ucap mereka.
“Dari informasi masyarakat itu,” kata Abul Hasan, “Dadaku terasa sesak sekali sehingga segera saja aku berkehendak kembali ke Baghdad. Tetapi hati kecilku memberontak, sebab perjalanan yang telah aku tempuh memang begitu jauh, akankah aku harus kembali tanpa membawa hasil apa-apa?
Selanjutnya, perjalanan aku teruskan saja sembari bertanya di sepanjang jalan mengenai keberadaan Syaikh Yusuf bin Husein. Pada akhirnya, aku pun dapat menemukan alamatnya dengan jelas sehingga aku berhasil memasuki halaman rumahnya.
Setelah aku mengucapkan salam beberapa kali, ternyata rumah itu dalam keadaan kosong sehingga aku segera mencari informasi pada tetangga sebelah rumah itu. Mereka mengatakan bahwa ia sekarang sedang berada di masjid. Aku pun menuju masjid yang dimaksud.
Benar saja ia berada di masjid itu dalam keadaan sedang duduk di mihrab menghadap seorang lelaki yang membawa sebuah mushaf, sedangkan Syaikh Yusuf bin Husein asyik membaca mushaf itu.
Pandanganku segera aku arahkan ke sosok tubuhnya. Ternyata ia merupakan seorang yang begitu tampan, dengan janggut yang sangat indah. Aku ucapkan salam kepadanya, dan segera mendapat jawaban yang memuaskan.
“Anda berasal dari mana?” begitu Syaikh Yusuf bin Husein memulai pembicaraan.
“Dari Baghdad, Tuan,” sahut Abul Hasan.
“Apa yang mendorong dirimu berpayah-payah datang ke sini?” sambung Syaikh Yusuf.
“Hanya untuk berkunjung dan mengucapkan salam kepada Tuan,” tukas Abul Hasan.
“Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mengatakan kepadamu: Segeralah kau pergi dari hadapan Yusuf bin Husein! Jika kau mau menuruti perintahku, kau akan aku beri hadiah sebuah rumah lengkap dengan pelayannya.' Adakah tawaran itu bisa menghentikan langkahmu untuk mendatangiku?” begitu ucap Syaikh Yusuf seakan menanggung beban yang begitu berat.
Namun tak mampu aku membara di Jahimi
Berikan aku taubat, dosaku Kauampuni
Sungguh Engkau pemberi ampun dosa yang keji
Banyak dosa dosaku, bagai pasir lautan
Maaf aku harapkan, pada Mu Yang Penyayang
Umurku kan berkurang, tiap hari berlangsung
Dosaku malah tambah, bagaimana kutanggung
Tuhanku, hamba Mu yang ahli dosa datang menghadap
Mengakui dosa dosa seraya meratap
Jika Engkau ampuni, maka itulah wewenang Mu
Jika Engkau tolak, kepada siapa lagi ku berharap
Syair menyentuh di atas adalah karya Abu Nawas , seorang pujangga Arab yang bernama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami. Buku Ijinkan Kalbumu Berbisik Lagi karya Ahmad Ibnu Nizal (2011)memaparkan bahwadalam menggapai kedekatan kepada Tuhan, para kekasih Allah seringkali harus menggunakan media yang dianggap efektif, seperti lagu dan syair ketuhanan. Jadi, mediator yang paling berkesan, kadangkala bukanlah Al Qur'an ataupun pidato dan nasihat-nasihat yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali , kendati sebuah hati telah dipenuhi oleh cinta Allah (hubb lillah), belum tentu pemicunya mesti dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Seringkali, pemicu yang lebih manjur adalah dengan melantunkan sebuah syair atau mendendangkan lagu. Hal ini karena syair atau lagu itu sengaja digubah dengan rima yang serasi ataupun cengkok-cengkok syahdu dan bahasa yang sangat menyentuh perasaan.
Adapun kalimat yang ada dalam Al-Qur'an, kendati mengandung i'jaz yang manusia tidak akan mampu untuk menandinginya, namun kebanyakan susunannya keluar dari uslub kalimat yang dibiasakan oleh kebanyakan orang. "Singkat kata, itulah pengaruh sebuah syair dalam mendekatkan diri kepada Allah," tutur Ahmad Ibnu Nizal.
Abul Hasan ad Darraj mengisahkan sebagai berikut:
Pada suatu hari, aku berangkat dari Baghdad bertandang ke kota Ray menuju rumah Syaikh Yusuf bin Husein ar Razy yang merupakan seorang ulama terkenal, yang selama ini aku belum pernah sekalipun melihat sosok tubuhnya ataupun mendengar fatwa-fatwanya secara langsung. Setelah sampai di kota Ray, aku pun segera bertanya pada masyarakat kota itu mengenai keberadaan beliau. Betapa mengherankan, orang orang mengatakan:
“Untuk apa kamu bertandang dan mengunjungi seorang Zindig?” begitu ucap mereka.
“Dari informasi masyarakat itu,” kata Abul Hasan, “Dadaku terasa sesak sekali sehingga segera saja aku berkehendak kembali ke Baghdad. Tetapi hati kecilku memberontak, sebab perjalanan yang telah aku tempuh memang begitu jauh, akankah aku harus kembali tanpa membawa hasil apa-apa?
Selanjutnya, perjalanan aku teruskan saja sembari bertanya di sepanjang jalan mengenai keberadaan Syaikh Yusuf bin Husein. Pada akhirnya, aku pun dapat menemukan alamatnya dengan jelas sehingga aku berhasil memasuki halaman rumahnya.
Setelah aku mengucapkan salam beberapa kali, ternyata rumah itu dalam keadaan kosong sehingga aku segera mencari informasi pada tetangga sebelah rumah itu. Mereka mengatakan bahwa ia sekarang sedang berada di masjid. Aku pun menuju masjid yang dimaksud.
Benar saja ia berada di masjid itu dalam keadaan sedang duduk di mihrab menghadap seorang lelaki yang membawa sebuah mushaf, sedangkan Syaikh Yusuf bin Husein asyik membaca mushaf itu.
Pandanganku segera aku arahkan ke sosok tubuhnya. Ternyata ia merupakan seorang yang begitu tampan, dengan janggut yang sangat indah. Aku ucapkan salam kepadanya, dan segera mendapat jawaban yang memuaskan.
“Anda berasal dari mana?” begitu Syaikh Yusuf bin Husein memulai pembicaraan.
“Dari Baghdad, Tuan,” sahut Abul Hasan.
“Apa yang mendorong dirimu berpayah-payah datang ke sini?” sambung Syaikh Yusuf.
“Hanya untuk berkunjung dan mengucapkan salam kepada Tuan,” tukas Abul Hasan.
“Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mengatakan kepadamu: Segeralah kau pergi dari hadapan Yusuf bin Husein! Jika kau mau menuruti perintahku, kau akan aku beri hadiah sebuah rumah lengkap dengan pelayannya.' Adakah tawaran itu bisa menghentikan langkahmu untuk mendatangiku?” begitu ucap Syaikh Yusuf seakan menanggung beban yang begitu berat.