Pergi Haji di Zaman Dulu: Biar Repot, Tetap Banyak Peminat

Selasa, 08 Juni 2021 - 09:18 WIB
loading...
Pergi Haji di Zaman Dulu: Biar Repot, Tetap Banyak Peminat
Calon jamaah haji zaman dulu naik kapal demi ke Tanah Suci/Foto YouTube
A A A
SEJAK ratusan tahun silam, orang Nusantara, termasuk di dalamnya Indonesia, telah melakukan perjalanan ibadah haji . Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah orang Nusantara yang berhaji berkisar antara 10% dan 20% dari seluruh jamaah haji.



Peneliti asal Belanda, Martin van Bruinessen, dalam artikelnya "Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji" menyebutkan pada dasawarsa 1920-an sekitar 40% dari seluruh haji berasal dari Indonesia.

Kala itu, cukup banyak orang Indonesia yang menetap di Makkah. Mereka umumnya sedang menuntut ilmu agama. Sekurang-kurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah, setelah bahasa Arab.

Pada saat itu, tidak mudah bagi orang Nusantara untuk berhaji. Perjalanan ke Tanah Suci memerlukan waktu yang lama. Semua dilakukan dalam perjalanan laut yang membahayakan.

Pada artikel yang sama Martin mengatakan, sebelum ada kapal api, perjalanan haji dilakukan dengan perahu layar, yang sangat tergantung kepada musim. Kemudian para haji juga menumpang pada kapal dagang.

Dengan menggunakan transportasi itu berarti mereka terpaksa sering pindah kapal.



Martin menyebutkan perkiraan rute mereka. Perjalanan membawa calon haji melalui berbagai pelabuhan di Nusantara ke Aceh. Inilah mengapa pelabuhan terakhir di Indonesia itu oleh berjuluk Serambi Makkah. Dari ini para calon haji menunggu kapal untuk mengarungi lautan menuju India.

Sesampai di India para calon haji ini kemudian mencari kapal yang bisa membawa mereka ke Hadramaut, Yaman atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih.

“Dan para haji berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Tidak jarang perahu yang mereka tumpangi karam dan penumpangnya tenggelam atau terdampar di pantai tak dikenal," tulis Martin.

Ada haji yang semua harta bendanya dirampok bajak laut atau, malah, awak perahu sendiri. Musafir yang sudah sampai ke tanah Arab pun belum aman juga, karena di sana suku-suku Badui sering merampok rombongan yang menuju Makkah.

Tidak jarang juga wabah penyakit melanda jemaah haji, di perjalanan maupun di tanah Arab. Naik haji, pada zaman itu, memang bukan persoalan enteng.

Dalam catatan sejarah haji abad 18 yang ditulis oleh Johan Eisenberger dalam disertasinya yang berjudul Indie and de Bedevaart naar Mekka, dituliskan ada sekelompok orang yang tiba ke Batavia usai menunaikan ibadah haji di Makkah.

Dalam disertasi itu, dilaporkan 10 orang jemaah haji telah kembali ke Hindia-Belanda dan tiba di Batavia pada 21 April 1716.

Berhaji pada zaman dahulu merupakan ibadah istimewa karena disertai perjuangan dengan perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Sebuah perjalanan antara hidup dan mati.



Saat Indonesia mulai dijajah Belanda, jumlah jemaah haji semakin bertambah. Pemerintah Hindia-Belanda pun ikut serta memberangkatkan jemaah haji ke Tanah Suci.

Namun saat itu Pemerintah Hindia-Belanda mengurangi jumlah kuota calon jamaah haji sebab mereka khawatir akan muncul pemberontakan.

Selain itu, Belanda khawatir akan dampak politis dari ibadah haji. Sebab kepulangan orang yang telah melaksanakan haji akan mudah diterima, yakni sebagai orang suci khususnya di Jawa dan akan lebih didengarkan oleh penduduk awam.

Puluhan ribu jemaah pun diberangkatkan dengan menggunakan kapal-kapal besar. Waktu yang dibutuhkan agar sampai ke Makkah itu berbulan-bulan.

Pada saat itu Nederland, Rotterdamsche, dan Blue Funnel Line merupakan tiga perusahaan jasa pelayaran yang mengangkut jemaah haji dari Indonesia.



Kemudian setelah Indonesia merdeka, pengurusan keberangkatan haji dialihkan pada Pemerintah Indonesia, tepatnya sejak 1948 dan pemerintah pun menyiapkan kapal yang dikhususkan untuk para jemaah. Yaitu ditangani oleh PT Arafat. Namun akhirnya perusahaan tersebut tidak bertahan lama karena bangkrut, dan pemerintah menyediakan pesawat terbang pada 1966.

Puncaknya pada 1979, angkutan haji laut harus terhenti seiring dinyatakan pailitnya PT Arafat oleh Kementerian Perhubungan melalui Surat Keputusan Nomor SK-72/OT.001/Phb-79. Langkah ini ditetapkan karena kala itu PT Arafat sudah tidak dapat bersaing lagi dengan penyedia layanan berhaji menggunakan moda pesawat terbang.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2852 seconds (0.1#10.140)