Cucu Umar bin Khatab yang Zuhud dan Mirip Dengannya
loading...
A
A
A
ANAK Umar bin Khattab banyak, akan tetapi yang paling mirip dengannya adalah Abdullah. Abdullah bin Umar juga memiliki banyak anak, bahkan lebih banyak daripada anak ayahnya, dan yang paling mirip dengan Abdullah adalah Salim .
Mari kita lanjutkan kisah kehidupan Ibnu Abdullah, cucu al-Faruq, Umar bin Khattab, yang serupa dengan kakeknya dalam perwujudan fisik, akhlak, agama, dan kewibawaannya.
Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rezeki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.
Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak akan apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.
Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di depan Ka’bah dengan khusyu. Lidahnya bergerak membaca Al-Quran dengan tartil dan khusyuk. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai tawaf dan salat dua rakaat, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan zikirnya.
Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,
Khalifah: “Assalamu’alaika wa rahmatullah wahai Abu Umar.”
Salim: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Khalifah: “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya: “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”
Salim: “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika salat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadis ini dan itu, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan ada pula yang meminta untuk didoakan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim, lalu berkata:
Khalifah: “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim: “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah: “Tentunya dari kebutuhan dunia.”
Salim: “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada yang memilikinya (Allah), bagaimana saya meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturunan al-Khaththab, alangkah kayanya kalian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi kalian sekeluarga.”
Tahun sebelumnya, al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdullah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.
Al-Walid mengucapkan salam dan doa, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.
Al-Walid: “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-hari?”
Salim: “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”
Al-Walid: “Hanya roti dan zaitun?”
Salim: “Benar.”
Al-Walid: “Apakah kamu berselera memakan itu?”
Salim: “Jika kebetulan aku tidak berselera, maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”
Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, al-Faruq Umar bin Khaththab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.
Beliau pernah menemui Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan di belenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim: “Bangkitlah, dan tebaslah lehernya!”
Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,
Salim: “Apakah Anda muslim?”
Tahanan: “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”
Salim: “Apakah Anda shalat subuh?”
Tahanan: “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat subuh? Adakah seorang muslim yang tidak mengerjakan shalat subuh?”
Salim: “Saya bertanya, apakah Anda shalat subuh hari ini?”
Tahanan: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada Anda. Saya katakan, ‘Ya.’ Silakan Anda melaksanakan perintah zalim itu, jika tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”
Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat subuh. Saya mendenganr Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa shalat subuh, dia berada dalam naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena dia membantu pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.” Hajjaj pun diam tak mampu berbicara.
Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi ke Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya, Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin mendengar cerita orang tersebut sehingga bertanya mendesak, “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim?” Orang itu menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”
Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas…!”
Ketika khilafah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz, khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdillah:
“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengujiku agar berkanan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya minta agar Anda mengirimkan kepada saya buku-buku tentang Umar bin Khaththab, perilaku dan keputusan-keputusanya sebagai khalifah. Saya ingin sekali mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah memelihara saya untuk ini. Wassalam.”
Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdillah mengirim surat balasan:
”Telah sampai kepadaku surat Anda yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khaththab. Yang perlu Anda perhatikan dan ingat selalu adalah bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khaththab dan tidak didampingi orang-orang seperti mendampingi Umar bin Khaththab. Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar menginginkannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantu Anda bersama para pejabat yang mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. Apabila nafsu Anda mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ingatlah apa yang dialami oleh para penguasa sebelum Anda.
Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara karena baunya dan terkena penyakit karena busuknya. Wassalamu’alaika warahmatullahi wabarakatuh.”
Kehidupan Salim bin Abdillah bin Umar bin Khaththab penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunai dan godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau makan makanan keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar, bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha membantu menyelesaikan masalah kaum muslimin.
Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang untuk mengantar jenazah dan menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu berada di Madinah turut menghadiri pemakaman beliau.
Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar jenazah Salim bin Abdullah, timbul rasa iri di hatinya sehingga di bergumam, “Nanti akan terbukti betapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata, “Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal dengan tahun empat ribu.
Mari kita lanjutkan kisah kehidupan Ibnu Abdullah, cucu al-Faruq, Umar bin Khattab, yang serupa dengan kakeknya dalam perwujudan fisik, akhlak, agama, dan kewibawaannya.
Salim bertempat tinggal di kota Thaibah Madinah al-Munawarah. Ketika itu kota tersebut dalam kondisi makmur dan kaya raya. Rezeki dan kenikmatan melimpah ruah dan belum pernah disaksikan yang seperti itu sebelumnya. Rezeki datang dari segala penjuru, para khalifah Bani Umayah membanjirinya dengan kekayaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun hal itu tidaklah membuat Salim terpikat dengan harta seperti yang lain, dan tidak pula menggandrungi keindahan-keindahan yang sementara dan fana. Sebaliknya dia senantiasa berzuhud atas apa yang ada di tangan manusia demi mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berpaling dari hal-hal yang fana untuk menggapai kenikmatan yang abadi.
Tak terhitung seringnya khalifah Bani Umayah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan bagi beliau dan bagi yang lainnya, namun beliau tetap berpegang pada kezuhudannya, tidak tamak akan apa yang ada di tangan orang lain dan memandang rendah dunia beserta isinya.
Tahun itu, khalifah Sulaiman berkunjung ke Makkah untuk berhaji. Pada saat melakukan thawaf, beliau melihat Salim bin Abdullah bersimpuh di depan Ka’bah dengan khusyu. Lidahnya bergerak membaca Al-Quran dengan tartil dan khusyuk. Sementara air matanya meleleh di kedua pipinya. Seakan ada lautan air mata di balik kedua matanya.
Usai tawaf dan salat dua rakaat, khalifah berusaha menghampiri Salim. Orang-orang memberinya tempat, sehingga dia bisa duduk bersimpuh hingga menyentuh kaki Salim. Namun Salim tidak menghiraukannya karena asyik dengan bacaan dan zikirnya.
Diam-diam khalifah memperhatikan Salim sambil menunggu beliau berhenti sejenak dari bacaan dan tangisnya. Ketika ada peluang, khalifah segera menyapa,
Khalifah: “Assalamu’alaika wa rahmatullah wahai Abu Umar.”
Salim: “Wa’alaikassalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Khalifah: “Katakanlah apa yang menjadi kebutuhan Anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya.”
Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga khalifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, khalifah mengulangi permintaannya: “Saya ingin Anda mengatakan kebutuhan Anda agar saya bisa memenuhinya.”
Salim: “Demi Allah, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin, aku sedang berada di rumah-Nya, tetapi meminta kepada selain Dia?”
Khalifah terdiam malu, tapi dia tak beranjak dari tempat duduknya. Ketika salat usai, Salim bangkit hendak pulang. Orang-orang memburunya untuk bertanya tentang hadis ini dan itu, dan ada yang meminta fatwa tentang urusan agama, dan ada pula yang meminta untuk didoakan. Khalifah Sulaiman termasuk di antara kerumunan itu. Begitu mengetahui hal tersebut, orang-orang menepi untuk memberinya jalan. Khalifah akhirnya bisa mendekati Salim, lalu berkata:
Khalifah: “Sekarang kita sudah berada di luar masjid, maka katakanlah kebutuhan Anda agar saya dapat membantu Anda.”
Salim: “Dari kebutuhan dunia atau akhirat?”
Khalifah: “Tentunya dari kebutuhan dunia.”
Salim: “Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada yang memilikinya (Allah), bagaimana saya meminta kepada yang bukan pemiliknya?”
Khalifah malu mendengar kata-kata Salim. Dia berlalu sambil bergumam, “Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan takwa wahai keturunan al-Khaththab, alangkah kayanya kalian dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi kalian sekeluarga.”
Tahun sebelumnya, al-Walid bin Abdul Malik juga menunaikan ibadah haji. Ketika orang-orang telah turun dari Arafah, khalifah menjumpai Salim bin Abdullah di Muzdalifah. Ketika itu Ibnu Abdillah mengenakan pakaian ihram.
Al-Walid mengucapkan salam dan doa, khalifah memandangi tubuh Salim yang terbuka, tampak begitu sehat dan kekar bagaikan sebuah bangunan yang kokoh.
Al-Walid: “Bentuk tubuh Anda bagus sekali, wahai Abu Umar, apakah makanan Anda sehari-hari?”
Salim: “Roti dan Zaitun dan terkadang daging jika saya mendapatkannya.”
Al-Walid: “Hanya roti dan zaitun?”
Salim: “Benar.”
Al-Walid: “Apakah kamu berselera memakan itu?”
Salim: “Jika kebetulan aku tidak berselera, maka aku tinggalkan hingga lapar hingga saya berselera terhadapnya.”
Salim tak hanya mirip dengan kakeknya, al-Faruq Umar bin Khaththab, dalam bentuk fisik dan kezuhudan terhadap dunia yang fana, namun juga dalam keberaniannya menyampaikan kalimat yang benar meski berat resikonya.
Beliau pernah menemui Hajjaj bin Yusuf untuk membicarakan tentang kebutuhan kaum muslimin. Hajjaj menyambutnya dengan baik, dipersilakan duduk di sisinya dan dihormati secara berlebihan. Beberapa saat kemudian beberapa orang dibawa ke hadapan Hajjaj, pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat dan semua dalam keadaan di belenggu. Hajjaj menoleh kepada Salim bin Abdullah dan menjelaskan, “Mereka adalah pembuat onar di muka bumi, menghalalkan darah yang telah Allah haramkan.”
Dia mengambil pedang dan menyerahkannya kepada Salim sekaligus memberi isyarat kepada orang pertama, dia berkata kepada Salim: “Bangkitlah, dan tebaslah lehernya!”
Pedang itu diterima oleh Salim, beliau menghampiri orang yang dimaksud. Seluruh mata menghadap kepadanya untuk melihat apa yang hendak beliau lakukan. Salim berdiri di depan orang tersebut lalu bertanya,
Salim: “Apakah Anda muslim?”
Tahanan: “Benar saya muslim. Tapi apa perlunya Anda bertanya demikian? Lakukan saja apa yang diperintahkan kepada Anda!”
Salim: “Apakah Anda shalat subuh?”
Tahanan: “Sudah saya katakan bahwa saya muslim. Mengapa Anda bertanya apakah saya shalat subuh? Adakah seorang muslim yang tidak mengerjakan shalat subuh?”
Salim: “Saya bertanya, apakah Anda shalat subuh hari ini?”
Tahanan: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepada Anda. Saya katakan, ‘Ya.’ Silakan Anda melaksanakan perintah zalim itu, jika tidak tentulah dia akan marah kepada Anda.”
Salim bin Abdullah kembali ke hadapan Hajjaj. Sambil melemparkan pedang yang digenggamnya dia berkata, “Orang ini mengaku sebagai seorang muslim dan berkata bahwa hari ini sudah shalat subuh. Saya mendenganr Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa shalat subuh, dia berada dalam naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” maka saya tidak akan membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Hajjaj marah mendengarnya dan berkata, “Kami akan membunuhnya bukan karena meninggalkan shalat, melainkan karena dia membantu pembunuhan atas khalifah Utsman bin Affan.” Salim berkata, “Padahal ada orang yang lebih berhak untuk menuntut darah Utsman bin Affan daripada engkau.” Hajjaj pun diam tak mampu berbicara.
Di antara yang menyaksikan kejadian itu pergi ke Madinah dan menceritakan semua yang dilihatnya tentang Salim kepada ayahnya, Abdullah bin Umar. Ibnu Umar tak sabar ingin mendengar cerita orang tersebut sehingga bertanya mendesak, “Lalu apa yang dilakukan oleh Salim?” Orang itu menjelaskan, “Dia melakukan ini dan itu.”
Alangkah gembiranya Abdullah bin Umar. Beliau berkata, “Bagus! Bagus! Cerdas…cerdas…!”
Ketika khilafah beralih ke tangan Umar bin Abdul Aziz, khalifah baru itu segera mengirim surat kepada Salim bin Abdillah:
“Amma ba’du, Saya telah menerima ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengurusi permasalahan umat tanpa diminta atau dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan saya. Maka dengan ini saya memohon pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengujiku agar berkanan menolongku. Jika surat ini sampai ke tangan Anda, saya minta agar Anda mengirimkan kepada saya buku-buku tentang Umar bin Khaththab, perilaku dan keputusan-keputusanya sebagai khalifah. Saya ingin sekali mengikuti jejak beliau dan berjalan mengikuti jalan beliau, semoga Allah memelihara saya untuk ini. Wassalam.”
Setelah membaca surat tersebut, Salim bin Abdillah mengirim surat balasan:
”Telah sampai kepadaku surat Anda yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji Anda dengan kewajiban mengurus kaum muslimin tanpa Anda minta dan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan Anda. Dan Anda menginginkan jalan yang telah dilalui Umar bin Khaththab. Yang perlu Anda perhatikan dan ingat selalu adalah bahwa Anda tidak hidup pada zaman Umar bin Khaththab dan tidak didampingi orang-orang seperti mendampingi Umar bin Khaththab. Tetapi ketahuilah, bila Anda mempunyai niat untuk berbuat baik dan benar-benar menginginkannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membantu Anda bersama para pejabat yang mendampingi Anda. Hal itu akan datang di luar perhitungan Anda, sebab pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya didasarkan pada niatnya. Bila berkurang niatnya pada kebaikan, maka akan berkurang pula pertolongan-Nya. Apabila nafsu Anda mengajak kepada sesuatu yang tak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ingatlah apa yang dialami oleh para penguasa sebelum Anda.
Maka perhatikanlah betapa rusaknya mata mereka karena hanya digunakan untuk melihat kenikmatan, perut mereka pecah karena terlalu kenyang dengan syahwat. Bayangkanlah seandainya jenazah mereka diletakkan di samping rumah dan tidak dimasukkan ke liang lahat. Tentulah kita akan sengsara karena baunya dan terkena penyakit karena busuknya. Wassalamu’alaika warahmatullahi wabarakatuh.”
Kehidupan Salim bin Abdillah bin Umar bin Khaththab penuh dengan taqwa, akrab dengan hidayah, menjauhi kesenangan dunai dan godaannya, memperlakukannya sesuai dengan jalan yang diridhai Allah. Beliau makan makanan keras dan mengenakan pakaian dari bahan yang kasar, bergabung dengan pasukan muslimin untuk menghadapi Romawi, dan selalu berusaha membantu menyelesaikan masalah kaum muslimin.
Ketika ajal menjemputnya pada tahun 106 H, duka cita menyelimuti kota Madinah. Semua orang datang untuk mengantar jenazah dan menyaksikan pemakamannya. Termasuk Hisyam bin Abdul Malik yang ketika itu berada di Madinah turut menghadiri pemakaman beliau.
Takjub dengan banyaknya lautan manusia yang mengantar jenazah Salim bin Abdullah, timbul rasa iri di hatinya sehingga di bergumam, “Nanti akan terbukti betapa banyak manusia yang akan menghadiri pemakaman tatkala khalifah muslimin wafat di negeri mereka.” Kemudian dia berkata, “Kirimkanlah empat ribu pemuda ke perbatasan.” Maka tahun tersebut dikenal dengan tahun empat ribu.
(mhy)