Konspirasi Abu Nawas Melakukan Pembunuhan Menteri Zalim
loading...
A
A
A
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). (
)
Ada seorang menteri yang terkenal buruk perangainya. Menteri ini sangat ditakuti warga. Itu sebabnya ia menjadi jahat. Jika melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, tidak pernah mau membayar.
Tentang kisah menteri bejat ini sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan tinggal daerah tempat menteri itu tinggal. Abu Nawas bertekat takkan meninggalkan daerah itu sebelum bisa membunuh menteri itu.
Berangkatlah Abu Nawas ke tempat menteri itu tinggal. Ia sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas.
Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk membunuh orang-orang yang dianggap bersalah kepada menteri. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
Abu Nawas menjadi yakin bahwa berita yang sampai ke telinganya bukan hoaks. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas perbuatan tak berperikemanusian ini,” tekad Abu Nawas.
Pada hari itu Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa, ketika ia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang menggiring lembu yang gemuk. “Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada pemuda itu. “Apakah lembu itu akan dijual?”
“Tidak,” jawab si pemuda, “Ini lembu warisan bapak hamba,” jelas sang pemuda.
“Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.”
Pemuda itu terdiam. Rupanya dia mulai termakan rayuan. Ia tampak berpikir. “Betul juga kata Tuan,” jawabnya, kemudian. “Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” sambut Abu Nawas setuju.
Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas. Kemudian Abu Nawas menjelaskan bahwa sebenarnya yang akan membeli lembu itu adalah menteri zalim. "Berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. Setuju?” Tanya Abu Nawas.
“Setuju!” jawab si pemuda spontan.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan Anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”
Ada seorang menteri yang terkenal buruk perangainya. Menteri ini sangat ditakuti warga. Itu sebabnya ia menjadi jahat. Jika melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, tidak pernah mau membayar.
Tentang kisah menteri bejat ini sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan tinggal daerah tempat menteri itu tinggal. Abu Nawas bertekat takkan meninggalkan daerah itu sebelum bisa membunuh menteri itu.
Berangkatlah Abu Nawas ke tempat menteri itu tinggal. Ia sengaja menyewa rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas. Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas.
Di dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan untuk membunuh orang-orang yang dianggap bersalah kepada menteri. Cara menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
Abu Nawas menjadi yakin bahwa berita yang sampai ke telinganya bukan hoaks. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas perbuatan tak berperikemanusian ini,” tekad Abu Nawas.
Pada hari itu Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa, ketika ia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang menggiring lembu yang gemuk. “Hai orang muda,” kata Abu Nawas, kepada pemuda itu. “Apakah lembu itu akan dijual?”
“Tidak,” jawab si pemuda, “Ini lembu warisan bapak hamba,” jelas sang pemuda.
“Lebih baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi banyak.”
Pemuda itu terdiam. Rupanya dia mulai termakan rayuan. Ia tampak berpikir. “Betul juga kata Tuan,” jawabnya, kemudian. “Namun untuk menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu akan lebih baik,” sambut Abu Nawas setuju.
Sementara anak muda itu pulang, Abu Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,” kata Abu Nawas. Kemudian Abu Nawas menjelaskan bahwa sebenarnya yang akan membeli lembu itu adalah menteri zalim. "Berikan harga yang pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan melaksanakannnya. Setuju?” Tanya Abu Nawas.
“Setuju!” jawab si pemuda spontan.
“Giringlah lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”
“Hai menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan Anda beli dengan harga yang pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”