Dahsyatnya Al-Qur'an (2): Satu Sumber Qadim, Beda Medium

Jum'at, 09 Juli 2021 - 15:22 WIB
loading...
Dahsyatnya Al-Quran (2): Satu Sumber Qadim, Beda Medium
Muhammad Maruf Assyahid, jurnalis yang juga alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah. Foto/Ist
A A A
Muhammad Ma'ruf Assyahid
Jurnalis-Sufi,
Alumnus Ponpes Baitul Mustaqim Lampung Tengah,
Jamaah Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (SAW) setidaknya mendapatkan wahyu dalam tiga cara yaitu: (1) melalui mimpi; (2) di balik tabir; (3) melalui perantara malaikat Jibril. Dalam sebuah riwayat Nabi mengatakan bila bunyi lonceng adalah cara paling sulit ia menerjemahkan wahyu yang diberikan Allah Ta'ala.

Bagaimana proses transmisi wahyu ini diuraikan dengan mudah oleh Maulana Khalid. Menurut beliau, bahwa materi substansi tersebut adalah "kalam nafsi", yang tidak bisa dikatakan dalam bahasa apapun di dunia --Arab, Persia atau Inggris--.

Substansi ini kalam nafsi itu tidak akan berubah meskipun turun diterjemahkan dalam bahasa yang berbeda-beda. Kata-kata yang mengekspresikan makna ini disebut "kalam lafzi". Jadi, kalam nafsi seseorang adalah murni, tidak berubah, berbeda yang ada di pemiliknya seperti pengetahuan, kehendak, penegasan, dan lain-lain, dan kalam lafzi adalah sekelompok huruf yang mengekspresikan kalam nafsi dan kumpulan huruf yang keluar dari mulut orang yang mengucapkannya dan yang sampai ke telinga.

Demikian juga, firman Allah adalah firman abadi, kekal, tidak berdiam diri dan tidak diciptakan ada bersama dengan pribadi-Nya. Ini adalah sifat yang berbeda dari sifat adh-Dhatiyya dan dari sifat ath-Thubutiyya dari Allah Ta’ala, seperti Pengetahuan dan Kehendak.

Menurut saya, penjelasan dari Maulana Khalid ini ada hubungannya dengan sebuah hadist shahih yang berbunyi: "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dengan 7 huruf. Karena itu, bacalah dengan cara yang paling mmudah bagi kalian." (HR. Bukhari 4992 & Muslim 1936).

Ada ragam tafsir untuk hadist ini, ada yang mengatakan bahwa tujuh huruf tersebut adalah dialek bahasa Arab, sehingga pantaslah Nabi tidak pernah mempersoalkan perbedaan bacaaan Qur'an di antara sahabat, dan disebutkan dalam hadist lain, toleransi membaca Qur'an itu sangatlah luas, yaitu asalkan ayat yang bermakna batil tidak menjadi haq, dan sebaliknya. Maka itu, marilah kita lepaskan perbedaan-perbedaan kecil terkait qiraat Qur'an, Islam harus bersatu dan bersaudara, sebagaimana baginda Nabi Muhammad SAW mewasiatkan kepada kita, agar tidak tercerai berai dengan berpegang pada Qur'an dan hadist. Caranya agar bisa bersatu meski beda bacaan atau bahkan tafsir, fokuslah pada isi/substansi, bukan bungkus.

Namun, saya sendiri ingin menambahkan —kendati hal ini tidak disebutkan oleh Rasulullah SAW — bahwa makna tujuh huruf tersebut adalah tujuh level maknawi yang terkandung dalam setiap ayat Al-Qur'an. Levelnya sama dengan Allah menciptakan bumi dan langit sebanyak tujuh lapis seperti difirmankan dalam Surat Al Mulk ayat ketiga; "Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?"

Begitupula, level ganjaran baik surga dan neraka di akhirat yang menurut Qur'an sebanyak tujuh tingkatan yaitu Firdaus, Naim, Makwa, Adnan, Khuldi, Darus Salam dan Daruj Jalal. Dan tujuh tingkatan neraka; Jahannam, Luza, Hathamah, Sair, Saqru, Jahim dan Hawiyah.

Informasi mengenai termasuk tingkatan-tingkatan neraka dan para calon penghuninya banyak sekali ditemukan di Quran. Antara lain yang diungkap dalam Surat al-Hijr berikut ini, "Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (para pengikut setan) semuanya. Ia (Jahannam) mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka," (QS. al-Hijr: 43-44).

Sementara masih ada perbedaan mengenai jumlah surga, antara tujuh dan delapan, yang menurut saya tidak perlu dipersoalkan sebab ada hadist shahih yang jelas mengatakan bahwa Arsy’ atau singgasana Allah itu ada di surga teratas, atau Firdaus, sehingga dapat dipahami tujuh yang tersisa adalah buat manusia. Gambaran lumayan jelas mengenai lapis-lapis, bumi, langit, surga dan neraka dapat ditemukan pada suhuf Nabi Idris, sebab dialah nabi yang diundang langsung oleh Allah SWT untuk menyaksikan semua hal tersebut, dan beliau adalah nabi yang pertama-tama di ajari menulis.

Menurut saya, maknanya adalah bahwa ada tujuh tingkat makna dalam setiap ayat yang disesuaikan dengan kemampuan maqam-maqam atau kesadaran ilahiah (kualitas ketaqwaan) setiap mukmin yang disimbolkan dengan hidup di alam masing-masing di tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, dan juga balasan yang akan diterimanya kelak.

Simpulan ini sesuai dengan hadist yang menyebutkan bahwa penafsiran setiap ayat itu bisa saja berbeda-beda antara setiap mufassir, atau pembacanya dan itu tidak perlu dipermasalahkan. Batasannya adalah jangan sampai makna ayat batil menjadi ayat hal dan sebaliknya. Ruang penafsiran, sekali lagi sangat berbeda, karena bahkan sejak awal diterima Nabi saja, ada ruang penafsiran oleh beliau kendati kita harus yakin bahwa pemaknaan beliau tidak akan salah, mengingat ada Jibril yang senantiasa mendampingi setiap turunnya wahyu.

(Bersambung)!

(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1846 seconds (0.1#10.140)